BI Yakin Devaluasi Yuan Cina Takkan Gerus Ekspor RI

Senin, 12/08/2019 13:36 WIB
Ilustrasi devaluasi yuan Cina. (Foto: Infobank.com)

Ilustrasi devaluasi yuan Cina. (Foto: Infobank.com)

Jakarta, law-justice.co - Bank Indonesia (BI) optimistis pelemahan kurs mata uang yuan Cina takkan kian menggerus kinerja ekspor Indonesia. Sebab menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody budi Waluyo di tengah diskusi di Gedung BI pada Senin (12/8/2019), pelemahan musykil terjadi selama ada upaya menjaga volume permintaan, termasuk perluasan pasar ekspor.

Ia mengatakan, secara jangka pendek, mata uang yuan yang terdevaluasi tidak akan berpengaruh terhadap perdagangan ke mancanegara dari Indonesia.

Seperti dilansir dari Antara, dia menyebutkan faktor yang akan sangat berpengaruh adalah jika terjadi pelemahan permintaan atau penurunan kualitas barang ekspor Indonesia.

"Kita tidak terpengaruh banyak dari sisi (devaluasi) yuan, karena porsi kita bukan ditentukan dari sisi nilai tukar. Transaksi ekspor dalam jangka pendek tidak terkait banyak dengan devaluasi yuan, tapi lebih ke permintaan dan kualitas," jelas Dody di Jakarta pada Senin (12/8/2019).

Pemerintah Indonesia tengah berupaya menggenjot ekspor dengan perluasan pasar termasuk melalui upaya peningkatan perdagangan bilateral.

Kontraksi kinerja ekspor selama kuartal II 2019 telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada kuartal II 2019 pertumbuhan ekspor tercatat minus 1,81 persen (yoy), padahal pada kuartal II 2018 ekspor masih tumbuh 7,65 persen (yoy).

Terkait dampak pelemahan yuan yang berpotensi meningkatkan risiko di pasar keuangan dan bisa menggerus nilai tukar rupiah, Dody mengatakan BI akan selalu bersiaga di pasar untuk memastikan nilai rupiah tetap sejalan dengan fundamentalnya.

Seperti dilansir dari Antara, BI tetap akan melakukan intervensi di pasar spot dan pasar valas berjangka atau domestik NDF.

"Kami juga akan menjaga likuiditas pada tingkat yang memadai dan memastikan mekanisme pasar berjalan," ujar dia.

Dody meyakini mata uang China tidak akan terus melemah.

Pasalnya, pelemahan yuan yang semakin dalam akan berdampak negatif pada permintaan domestik negara tersebut.

"Negara-negara perlu juga untuk memberikan topangan pada permintaan domestik, risiko curency war (perang mata uang) tidak besar terlebih di tengah permintaan global yang memang sedang melemah," ujar Dody.

Dugaan devaluasi yuan sebelumnya sudah dibantah Bank Sentral Cina, People`s Bank of Cina (PBoC).

Mereka menyebut volatilitas nilai tukar yuan secara drastis beberapa waktu belakangan merupakan reaksi pasar menanggapi rencana kenaikan tarif impor yang digaungkan Amerika Serikat (AS).

Komentar Beijing ini merespon tuduhan manipulasi mata uang yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump kepada Cina, setelah mata uang Cina bergerak di 6,9 hingga tujuh yuan per dolar AS dalam satu pekan terakhir.

Adapun Cina merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Namun posisi Indonesia selalu defisit karena serbuan barang impor konsumsi dari Cina.

Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia mengalami defisit perdagangan terhadap Cina hingga 8,48 miliar dolar AS pada periode Januari-Mei 2019. Angka itu meningkat dari defisit Januari-Mei 2018 yang sebesar 8,11 miliar dolar AS.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar