Kisah YM dan IP, Dua Korban TPPO dengan Modus Pernikahan

Rabu, 17/07/2019 09:08 WIB
YM dan IP saat memberika keterangan kepada media di Jakarta (law-justice.co/Januardi Husin)

YM dan IP saat memberika keterangan kepada media di Jakarta (law-justice.co/Januardi Husin)

law-justice.co - YM (28) dan IP (14), berhasil dipulangkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dari Tiongkok, pada Sabtu (13/7/2019) lalu. Keduanya adalah Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus pernikahan.  

Tidak terbayangkan oleh YM dan IP, perempuan asal Dusun Tapang Sebeloh, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, bahwa nasib mereka bakal seperti ini. Diiming-imingi menikah dengan laki-laki mapan asal Tiongkok, tapi malah disiksa dan dipekerjakan tanpa dibayar. Keduanya sadar, lalu mengusahakan diri untuk pulang ke Indonesia.

YM bercerita, ia pertama kali mendapat tawaran untuk menikah dengan orang Tiongkok pada bulan Juli 2018. Di Desa Balai karangan, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, ia diperkenalkan kepada seorang mak comblang, sebutan kepada orang-orang yang mencari perempuan untuk dinikahkan dengan laki-laki asal Tiongkok.

Berbagai tawaran menggiurkan keluar dari mulut mak comblang untuk meyakinkan YM. Walaupun menikah dengan orang asing, hidupnya dijamin bakal sejahtera. YM juga dijanjikan boleh pulang ke Indonesia, kapanpun ia mau.

“Dijanjikan, katanya menikah dengan orang sana tu hidupnya enak. Dijanjikan juga dibelikan rumah dan uang mahar Rp 20 juta. Akan terjamin masa depan dan keluarga. Tiap bulan bisa kirim keluarga Rp 5 juta,” tutur YM kepada wartawan saat menggelar konferensi pers di sekretariat SBMI, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (16/7/2019).  

Demi meyakinkan omongannya, comblang datang menemui keluarga YM dan memberikan uang tunai Rp 12 juta. YM pun dibuat percaya dan diterbangkan ke Jakarta.

Setibanya di Jakarta, YM dipertemukan dengan calon suaminya, orang asli Tiongkok yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Seminggu kemudian, pada tanggal 21 juli 2018, YM diterbangkan ke Tiongkok.

“Saya tidak tahu itu daerah mana. Namanya apa saya tidak dikasih tahu. Saya kaget karena di sana saya tinggalnya juga di kampung. Sama seperti kita di sini. Tidak seperti yang dijanjikan,” ujar YM.

YM tinggal serumah dengan keluarga suaminya, di sebuah perkampungan di Tiongkok. Jauh panggang dari api. Alih-alih diperlakukan sebagai istri yang sejahtera, selama di sana YM malah dipaksa untuk bekerja tanpa menerima upah sepeserpun.

Oleh suami dan mertuanya, ia harus bekerja membuat sebuah karangan bunga, mulai pukul 07.00 pagi sampai pukul 08.00 malam waktu setempat.  

Jika melakukan satu kesalahan kecil, ia kerap menerima siksaan. Dipukul, ditendang, tidak diberi makan, sampai dipaksa tidur di luar rumah.

“Kita bukan diperistrikan, tapi diperbudak. Enggak pernah saya hidup seperti itu. Saya kerja tapi uangnya untuk mereka. Mereka itu kejam, saya diperlakukan seperti robot,” kata YM, sambil terisak.

Hal serupa juga menimpa IP, remaja 14 tahun yang juga tergiur untuk menikah dengan orang Tiongkok. IP juga dijanjikan bakal mendapat suami yang mapan, sehingga mampu untuk membantu penghidupan orang tuanya. Setiap enam bulan sekali, IP dijanjikan boleh pulang menjenguk keluarganya di kampung.

“Saya pun ketemu dengan calon suami, dan dikasih uang Rp 3 juta,” kenang IP.

Sebelum berangkat ke Tiongkok, IP diinapkan selama dua pekan di Jakarta. Para agen dan comblang butuh waktu untuk memalsukan identitas IP, karena perempuan itu masih dikatergorikan sebagai anak-anak.

“Mereka sempat minta KK (Kartu Keluarga). Katanya mau mengubah umur. Saya dipaksa berbohong,” kata IP.

Usia IP pun diubah dari 14 tahun menjadi 20 tahun. Agar tidak protes, IP diiming-imingin uang tunai Rp 15 juta.

Sesampainya di Tiongkok, apa yang dialami oleh IP tidak jauh berbeda dengan YM. IP tidak benar-benar diperistrikan, melainkan dipekerjakan tanpa diupah, dilarang untuk berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia, serta kerap menerima siksaan.


Kartu Tanda penduduk milik IP (14 tahun), yang berhasil dipalsukan oleh agen dan comblang (Foto: SBMI)

Insaf bahwa mereka telah menjadi korban TPPO berkedok pernikahan, YM dan IP menghubungi SBMI secara diam-diam. Butun waktu tiga bulan untuk memulangkan kedua perempuan itu ke tanah air. Saat ini, YM dan IP tidak sabar untuk pulang ke kampung halaman. Keduanya akan dipulangkan ke Kalimantan Barat secepatnya.

“Saya sudah lama tidak berkomunikasi dengan keluarga,” kata YM.

Kasus Lama yang Terus Terulang

Berdasarkan data SBMI, sejauh ini ada 26 orang korban TPPO modus pernikahan yang melapor ke mereka. Korban terbanyak berasal dari Kalimantan Barat, yakni 14 orang. Sisanya dari Jawa Barat (7 orang), Tangerang (2 orang), dan Jawa Timur (1 orang), Jawa Tengah (1 orang), dan DKI Jakarta (1 orang).

Dari jumlah tersebut, tujuh orang korban berhasil dipulangkan ke Indonesia dan dua korban lainnya berhasil dicegah berangkat sebelum terbang ke Tiongkok.

“Kami masih punya empat orang lagi dari Kalimantan Barat yang minta dipulangkan,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto.

TPPO bermodus pernikahan dengan orang Tiongkok adalah kasus lama yang belum terselesaikan hingga saat ini. Terutama di Kalimantan Barat, bisnis ini sangat menggiurkan para agen dan mak comblang.

Berdasarkan penelusuran SBMI, Hariyanto mengatakan, para pelaku mendapat keuntungan ratusan juta setiap ada perempuan yang berhasil diterbangkan ke Tiongkok.

“Pengantin laki-laki mengeluarkan uang sampai dengan Rp 400 juta untuk mendapatkan calon istri. Dikasih kepada calon korban maksimal Rp 20 juta. Sisanya masih banyak, itu dibagi-bagi ke agen dan mak comblang. Jadi ini adalah bisnis yang menggiurkan,” kata Haryanto.

Angka Rp 400 juta tergolong kecil bagi laki-laki Tiongkok yang ingin mendapatkan istri. Pasalnya, ucap Hariyanto, di negeri sendiri mereka harus merogoh kocek sampai dengan Rp 2 miliar jika ingin mendapatkan perempun untuk diperistri.

“Tiongkok memberlakukan kebijakan 1 anak. Di sana, kebanyakan anak laki-laki. Jadi timpang. Ketika mau menikah, orang-orang Tiongkok yang tidak mampu harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 2 miliar. Itulah mengapa mereka mencari pasangan dari luar negeri,” ucapnya.

Laki-laki Tiongkok menyukai perempuan asal Kalimantan Barat, karena memiliki paras yang mirip dengan orang China daratan. Selain di Indonesia, negara-negara lainnya yang sering menjadi sasaran adalah Vietanam, Kamboja, dan Ukraina.

Haryanto menegaskan, praktik mencari istri dengan cara seperti itu masuk dalam kategori TPPO. Pasalnya, banyak proses administrasi yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Pernikahan antar warga negara yang sah tidak bisa dilakukan secara instan.

“Secara dokumen, mereka sebetulnya tidak dinikahkan. Banyak dokumen palsu. Selain itu, kalau memang niat cari istri, mereka harusnya bisa memperlakukan perempuan dengan baik,” ucap dia.

SBMI mendesak kepolisian meringkus jaringan TPPO berkedok pernikahan. Kasus ini tidak akan selesai jika pelakunya dibiarkan terus beroperasi. Selain itu, pemerintah daerah harus aktif mengedukasi masyarakat bahwa praktik seperti itu adalah pernikahan yang tidak sah menurut Undang-undang yang berlaku.

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar