Zainal C Airlangga, Penulis

Stigma Radikal dalam Bermasyarakat untuk Siapa?

Jum'at, 28/06/2019 02:00 WIB
Ilustrasi Radikalisme (Lampung Post)

Ilustrasi Radikalisme (Lampung Post)

Jakarta, law-justice.co - Dalam kamus politik Indonesia kontemporer, ‘radikalisme’ adalah satu dari sekian istilah yang paling sering disalahpahami dan disalahgunakan. Terminologi yang sebetulnya telah lama digunakan di Indonesia ini kembali marak setelah kasus terorisme di Surabaya, Sidoarjo, dan Riau pada Mei 2018 ini. Media-media, pejabat negara, dan berbagai kalangan mengalamatkan kekerasan yang dilakukan para pelaku teror kepada satu sebab: radikalisme.

Pada konteks politik, Encyclopedia Britannica mengartikan paham ini sebagai gerakan yang ingin mengubah tatanan sosial masyarakat secara ekstrem. Karena berasal dari kata bahasa Latin “radix” yang artinya “akar”, maka radikalisme memang mencita-citakan sebuah perubahan yang fundamental dan mengakar dalam masyarakat, termasuk dalam konteks tatanan nilai-nilainya.

Jika hal itu berhubungan dengan entitas negara, maka radikalisme memang berhubungan dengan mengganti konteks fundamental negara itu sendiri, misalnya sistem negara, dasar negara, bentuk negara, dan lain sebagainya.

Namun, konteks kata radikalisme yang punya pertalian panjang sejak diperkenalkan pertama kali oleh Charles James Fox pada tahun 1797, mengalami pergeseran makna beberapa dekade terakhir.

Clark McCauley dan Sophia Moskalenko dalam tulisannya untuk American Psychological Association menyebutkan bahwa tragedi 11 September 2001 atau 9/11 adalah awal ketika kata radikalisasi diasosiasikan dengan kelompok terorisme. Menurut keduanya, saat itu aparat kemananan Amerika Serikat (AS) kesulitan untuk melihat penyebab mengapa gerakan-gerakan terorisme dapat terjadi. Maka kata radikalisasi dan radikalisme kemudian mendapatkan pemaknaan baru dan diidentikan dengan kelompok teroris tersebut.

Yang jelas, konstruksi yang terjadi pasca 9/11 memang pada akhirnya membuat radikalisme dimaknai secara sempit sebagai gerakan teorisme yang terjadi karena faktor identitas dalam hal ini agama walaupun paham ini tidak hanya berbasis pada agama khususnya Islam saja, namun juga pada agama-agama lain dan identitas sosial lainnya.

Di Indonesia, narasi atau bahkan stigmatisasi radikalisme mencuat di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, isu radikalisme beserta turunannya seperti isu khilafah ini menjadi komoditas di masa Pemilu 2019 yang dialamatkan kepada oposisi. Isu ini tumbuh bersamaan tudingan komunisme atau PKI yang menyerang petahana.

Sejauh ini, sejumlah pihak memang menyebut paham radikal meningkat di Indonesia. Salah satu studi yang menunjukkan adanya peningkataan radikalisasi di tanah air adalah studi yang dilakukan oleh UIN Syarid Hidayatullah dan United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 2017. Kemudian, Setara Institute dalam laporannya menuding 10 kampus PTN terpapar paham radikal.

Badan Intelijen Negara (BIN) juga tahun lalu mengumumkan bahwa ada sekitar 41 dari 100 masjid yang berada di lingkungan pemerintah, terpapar paham radikalisme. Sementara itu BNPT dalam beberapa kesempatan menyampaikan temuannya terkait penyebaran dan ancaman radikalisme. Yang lebih mengagetkan, baru-baru ini Menhan Ryamizard Ryacudu dan mantan Kepala BIN Hendropriyono menyebut 3 persen anggota TNI terpapar radikalisme.

Sontak, temuan-temuan adanya radikalisme tersebut mendatangkan tanggapan dari berbagai pihak. Dewan Masjid Indonesia (DMI), misalnya, membantah soal masjid-masjid yang terpapar radikalisme. Wakil Ketua Umum DMI, Syafruddin menyebut masjid itu tempat suci, sehingga tidak mungkin bernuansa negatif. Beberapa pimpinan kampus bahkan ragu atas riset soal radikalisme di kampus dan mendesak lembaga seperti BIN serta BNPT untuk menjelaskan metodologinya.

Sementara, kubu oposisi pemerintah menganggap pernyataan BIN yang diungkapkan ke hadapan publik tersebut tidak pada tempatnya. Duo Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon dan Fahri Hamzah sama-sama menyebut pernyataan yang dikeluarkan BIN tersebut tidak seharusnya dipublikasikan. Fadli misalnya, menilai kerja intelijen harusnya silent atau dalam diam, bukan lantas memicu kegaduhan publik.

Publikasi yang dilakukan oleh BIN atau lembaga pemerintah lainnya memang bisa dimaknai sebagai cara lembaga tersebut mendapatkan legitimasi dan dukungan melawan radikalisme. Hal ini juga bisa menjadi jalan untuk menggalang kesadaran di masyarakat.

Namun, hal ini juga bisa saja berdampak politis. Protes Fahri dan Fadli misalnya, jelas menunjukkan bahwa ada kerugian politis yang bisa diderita oposisi dari pernyataan BIN, apalagi jika menggunakan logika us vs them tersebut. Isu radikalisme pada titik ini memang terlihat sebagai “serangan” politik kepada oposisi, sama seperti isu komunisme yang digunakan untuk menyerang koalisi Jokowi.

Terlebih, soal konsepsi yang diadopsi tentang hakikat radikal dan radikalisme tak pernah dijelaskan ke publik secara utuh dan objektif. Begitu pula mengenai tolak ukur atau parameter seseorang telah terpapar radikalisme. Berkelindan dengan itu, telunjuk ‘penghakiman’ radikal telanjur ditujukan kepada mereka yang memiliki ketaatan tinggi pada agama yang disertai cara berpenampilannya: misalnya jenggot dan celana cingkrang.

Radikalisme, Sebuah Phantom Enemy?

Seiring kontroversi tindakan keras pemerintah terhadap HTI (dibubarkan tahun 2017), istilah "radikalisme" memang makin populer dalam nomenklatur politik di Indonesia. Sayangnya, paham atau sikap ekstrem dalam pembaruan sosial dan politik ini acap dipakai keliru terutama narasi "radikalisme" kini lebih sering disematkan pada gerakan Islam politik. Padahal, pemikiran radikal dapat diamini oleh individu maupun kelompok apa pun yang menentang pemerintah atau menginginkan perubahan sistem kekuasaan secara progresif.  

Indikasi radikalisme yang secara sederhana sebatas diukur melalui status di media sosial—pengawasan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi—setidaknya sudah menjerat enam dosen dari tiga perguruan tinggi. Terbaru, setelah dialami oleh profesor Suteki dari Universitas Diponegoro, dua dosen Fakultas Teknik dari Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) pun menerima nasib sama: dibebastugaskan oleh rektorat.

Pandangan mereka dinilai penguasa telah mendukung HTI dan khilafah. Bahkan, yang terkesan berlebihan dan merongrong kebebasan insan kampus adalah terkait rencana Kemenristekdikti yang akan mengawasi medsos dosen dan mahasiswa demi "menangkal penyebaran radikalisme di perguruan tinggi.

Yang patut diluruskan, klaim "radikalisme” yang menjalar di publik jangan sampai dijadikan stigmatisasi atau serupa ‘phantom enemy (musuh bayangan) yang diproduksi penguasa guna menyngkirkan llawan-lawan politik. Sebab, berkaca pada rezim terdahulu, ada saja cara penguasa menciptakan ‘phantom enemy’ ataupun stigma sebagai pembenaran politik untuk ‘menggebuk’ oposisi. Umumnya, dalih yang dipakai adalah ‘demi menjaga stabilitas’.

Ketika Seokarno berkuasa, misalnya, ia punya cara hebat membuat orang yang berbeda dengannya jatuh, dengan sebutan kontra-revolusioner. Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan tertangkap. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau dalam kata yang dominan waktu itu diganyang. Kata kontra-revolusioner sama artinya dengan musuh Republik, pengkhianat tanah air, penentang Revolusi, dan segala usaha yang sedang digerakkan oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi yang tak bisa dibantah.

Sementara di bawah Orde Baru, stigma untuk memberangus lawan politik digunakan istilah ‘eka-eki’ (ekstrem kiri, komunis/PKI) dan (ekstrem kanan, Islam radikal/Darul Islam). Dengan kata itu, orang langsung tak dapat bergerak dan tak mungkin bicara. Ancaman dipenjarakan dan dibunuh, menjadi sesuatu yang mengerikan bagi pengeritik pemerintah. Seperti pada masa sebelumnya, sebutan PKI dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media massa, yang di kobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma.

Di masa pemerintahan Jokowi, kini muncul narasi-narasi seperti radikalisme, intoleran, anti-Pancasila, anti-NKRI. Narasi-narasi tersebut sepanjang memiliki konsepsi, parameter, dan metodelogi yang bisa dibuktikan validitasnya tentu saja tidak menjadi soal dan harus kita dukung. Yang menjadi kekhawatiran, narasi-narasi tersebut (seoalah) berkembang menjadi stigma yang ditujukan kepada kelompok tertentu. Jangan sampai isu radikalisme serupa hantu yang tidak hanya menakutkan bagi semua pihak, tetapi juga sulit dibuktikan secara ilmiah.

Di titik ini, perlu ada dialog antara penguasa dengan publik termasuk pihak oposisi. Pemerintah tak lantas alergi terhadap kritik, memang sepatutnya pejabat publik dikritik bahkan dicaci. Sebaliknya, oposisi tak melulu mencari noktah dan ogah mengakui keberhasilan pemerintah, terlebih menggunakan hoax sebagai alat propaganda. Semua harus dewasa dan benar-benar memahami saripati demokrasi.


Sumber: Nusantara News

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar