Direktur Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan

Rezim Jokowi Membunuh New Power

Jum'at, 24/05/2019 05:02 WIB
Presiden Joko Widodo (Foto: CNBC)

Presiden Joko Widodo (Foto: CNBC)

Jakarta, law-justice.co - Rezim Jokowi kemarin mengumumkan akan men shutdown Facebook,  WhatsApp,  dan berbagai media sosial untuk mengendalikan komunikasi kaum perjuangan saat ini. Disekitar Sarinah Square sudah beberapa hari sejak demo ke Bawaslu FB dan WA memang terhenti. 

Namun, kemarin,  di manapun kita berada,  khususnya Jabodetabek,  terasa effect kebijakan pemerintah ini pada lemot (lambatnya)  Facebook,  WA,Telegram,  dll.

Pengendalian model jadul  alias jaman otoriter dengan merazia orang2 luar Jakarta yang mau ikutan demo,  dampaknya kecil bagi bangsa kita. Namun,  mematikan dunia maya,  akan berdampak besar,  sebab 150 juta,  sedikitnya manusia kita sudah menjadi bagian hidup dan kehidupan dunia maya.

Lalu apa kaitannya dengan New Power?
Tulisan saya beberapa waktu lalu sudah membahas pandangan Henry Timms dan Jeremy Heimans tengang New Power. New Power adalah power atau kekuatan yang dikaitkan dengan ciri-ciri baru a.l.

1) Loyalitas orang2 pada brand/merk menurun drastis. Di masa lalu,  penyuka Cocacola akan setia sekali dengan merk itu. Namun sekarang lebih mengalir.

2)  tidak begitu senang dengan afiliasi yang ketat. Biasanya orang2 ini tidak mau terikat dengan organisasi atau institusi secara berlebihan. 

3)  partisipasi ketimbang mobilisasi. Beberapa gerakan besar dunia seperti #BlackLiveMatter,   #me too, di Amerika dan #2019GantiPresiden di sini, dilakukan lebih berbasis partisipasi ketimbang mobilisasi.

4) sensitive terhadap klaim sepihak. Atau tepatnya terbiasa diminta persetujuan. Hal ini ciri baru masyarakat kita karena semua bahasa internet/apps selalui opt-in question; do you allow...to access.. 

5. Desentralisasi dalam pengambilan keputusan dan pengorganisasian. 

Ciri-ciri masyarakat baru maupun pendekatan baru dalam mengelola institusi ini tumbuh pesat di masa kini karena adanya teknologi informasi (Internet of Thing`s dan Big Data).

Dalam dunia bisnis,  masyarakat baru ini telah menghasilkan bisnis besar, yang di masa lalu sangat tergantung pada modal,  kini tergantung pada gagasan. Uber dan Gojek misalnya muncul dibidang transportasi dengan mengetengahkan partisipasi modal bersama. Lebih dahsyat lagi Air BnB di bisnis penginapan salah satu terbesar di dunia,  selain partisipasi modal bersama (pemilik rumah/kamar sebagai partisipan) juga memutuskan keuntungan yang adil.

Gojek,  Uber dan Air BnB adalah fenomena baru dalam skala raksasa. Sebaliknya,  jutaan fenomena baru lainnya dilakukan anak2 muda yang baru mulai berbisnis dan emak-emak UMKM yang berusaha jualan online.

Keuntungan negara selama ini dengan adanya ciri masyarakat baru,  tidak perlu bekerja keras meciptakan lapangan kerja. Selama pemerintahan Jokowi,  sektor formal hanya berhasil mencetak 500 ribu lapangan kerja baru pertahun dari jumlah pencari kerja 2,5 juta jiwa pertahunnya.

Masyarakat baru,  meski tidak dibantu negara,  berusaha keras masuk dalam dunia usaha berbasis IT ini.

Masyarakat era New Power dan model kelembagaannya adalah sebuah keniscayaan masa depan dunia. Jokowi sendiri dengan bangga menggertak Prabowo terkait arti Unicorn pada debat capres. Bahkan,  Jokowi sudah mengklaim berhasil menuntaskan infrastructure langit dan sinyal telekomunikasi 4 G di seluruh Indonesia. Hanya tetap saja faktanya Jokowi kesulitan membuat satu kata dengan perbuatan. Saat ini rezim Jokowi semakin nyata,  bukan saja alergi terhadap demokrasi,  melainkan seperti 6 negara ini (Sri Lanka,  Bangladesh,  Turki,  Sudan,  Vietnam,  Iran dan China) ikut2an menghancurkan kebebasan media sosial.

Penutup
Seberapa kuat rezim Jokowi menghancurkan kebebasan masyarakat dalam dunia media sosial akan jadi pertanyaan besar. Di Cina, pemerintah mereka berhasil mengganti kebebasan (subtitusi)  dengan lapangan pekerjaan yang layak dan kesejahteraan. Sebaliknya,  kita semakin jauh terpuruk. Ekonomi berbasis import dan ekploitasi habis2an sumberdaya ekstraktif dan minimnya lapangan kerja, akan membawa bangsa ini ke arah negara gagal. 

Namun,  situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan terjadi. Kesempatan bisnis triliunan lenyap dengan kebijakan anti medsos ini. Baik pada industri parawisata,  perhotelan,  makanan dll yang kini terganggu.

Kesempatan masyarakat mencari ilmu dan informasi juga berkurang. 

Jika untuk mengurangi pengaruh medsos dalam kekuatan oposisi itu hanya menyelesaikan masalah hilir atau derevatif. Jika dimaksudkan untuk pengendalian "hate speech",  tentu caranya juga harus edukatif. Saat ini berbagai elemen masyarakat mengkritik. Aliansi Jurnalistik AJI, misalnya, meminta kebebasan dalam media sosial tidak boleh dikebiri.

Kita lihat saja seberapa lama pembungkaman ini dilalukan?

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar