Siti Musdah Mulia:

Tidak Ada yang Patut Dipertentangkan Antara Islam dan Feminisme

Minggu, 05/05/2019 08:32 WIB
Siti Musdah Mulia (law-justice.co/ Januardi Husin)

Siti Musdah Mulia (law-justice.co/ Januardi Husin)

law-justice.co - Prof. Dr. Siti Musdah Mulia adalah seorang feminis yang unik. Ia berbicara tentang kesetaraan gender dengan cara berbeda. Jika mengikuti kajian feminisme ala Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini, rasanya seperti datang ke sebuah majelis pengajian.

Dengan fasih, ia mengutip banyak sekali ayat-ayat Al-Quran atau Hadits Nabi Muhammad yang menyerukan tentang pentingnya kesetaraan bagi umat manusia, terutama antara laki-laki dan perempuan.

Sekilas, potongan ayat-ayat itu seperti sebuah pembenaran. Tidak ada bedanya dengan orang-orang yang menggunakan firman Tuhan demi kepentingan politik dan ekonomi. 

Tapi lama-kelamaan Anda akan insaf, apa yang disampaikan oleh Musdah adalah sebuah pencerahan. Sebab ia tidak hanya mahir berbahasa Arab, namun juga paham tentang konteks peristiwa mengapa ayat tersebut diturunkan. Termasuk latar belakang kondisi sosial bangsa Arab. Itulah yang disebutnya sebagai konteks makro dan mikro turunnya firman Tuhan kepada manusia.

Semua penjelasan yang relevan itu Musdah sampaikan dengan sangat tegas dan detail. Jika tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kajian keislaman, Anda akan sering mengerutkan dahi ketika mendengar penjelasannya. Ia tidak segan menggunakan istilah-istilah dalam Ushul Fiqih (ilmu tentang penetapan hukum Islam), seperti Asbabun Nuzul, Mantiq, atau Istinbath.

Bulan lalu, di kediamannya di kawasan Menteng, Musdah Mulia menerima kedatangan law-justice.co dengan ramah. Dalam kesempatan itu, ia menjawab lepas berbagai pertanyaan yang diajukan dan berbincang seperti dengan orang yang telah lama dikenalnya.

Salah satu yang menarik dari seorang Musdah, ia konsisten membicarakan isu feminisme dan Islam sejak akhir tahun 1990-an. Berani bersuara dan bersikap tanpa ragu memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Menentang segala bentuk penindasan dan diskriminasi.

“Apa triknya? Tidak banyak orang yang berani dengan lantang memperjuangkan isu-isu minoritas,” demikian salah satu pertanyaan yang diajukan kepadanya.

“Saya sudah selesai dengan segala hal yang menyangkut diri pribadi. Saya tidak mau terbelenggu dengan jabatan tertentu,” tegasMusdah.

Hanya dengan begitu, lanjutnya, seseorang bisa dengan leluasa melakukan apa yang diinginkan tanpa ada rasa takut. Keyakinan itu melekat pada semua prinsip hidup lainnya yang dipercaya oleh Musdah.

Perempuan 61 tahun itu tidak ingin mengamini sesuatu yang salah, walaupun diyakini benar oleh sebagian besar orang. Musdah menekankan, ia tidak akan terbawa arus begitu saja, apalagi atas nama mayoritas.

Misalnya, dalam berdakwah, ia akan menolak pengajian yang hanya menginginkan fatwa “halal-haram”. Bagi Musdah, pengajian “halal-haram” sama sekali tidak mencerahkan. Walaupun ia sadar, hal-hal seperti itu yang digandrungi oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia.

Musdah memilih untuk tidak meladeni keinginan masyarakat yang seperti itu. Ia punya prinsip, kajian tentang Islam harus dibarengani dengan pemikiran yang kritis dan logis. Jika Anda melakukan sebuah ritual keagamaan, kata Musdah, Anda harusnya sadar bahwa ritual itu hanya jalan untuk menuju esensi dari sebuah agama, yaitu Akhlakul Karimah(akhlak yang baik atau terpuji).

Menurut Musdah, pemahaman tentang Islam yang kritis dan logis itu tidak akan bisa diperoleh jika datang ke pengajian yang hanya mementingkan fatwa halal-haram. Musdah melihat, itu salah satu kesalahan fatal dari sistem pendidikan agama di Indonesia. Orang-orang yang belajar agama, baik formal maupun non formal, terlalu dijejali dengan fatwa ulama tanpa dibekali kemampuan untuk melakukan kajian ulang. 

Ia sadar, melakukan kajian ulang tentang hukum Islam itu tidak gampang. Syarat utamanya, harus fasih dan mahir berbahasa Arab. Selain itu juga harus punya kemampuan analisis dengan metodologi filsafat ilmu, agar runut dan sistematis dalam mengambil kesimpulan.

Tapi, setidaknya, orang-orang yang paham akan hal itu memberi sedikit gambaran tentang konteks turunnya ayat yang menjadi acuan hukum Islam. Bukan sekedar berhasa Arab, lalu mengambil kesimpulan tentang halal-haram.

Musdah tidak senang dengan cara-cara praktis seperti itu karena berdampak buruk. Itulah mengapa, saat ini banyak orang yang mendadak menjadi “ulama-ulama’an” atau “ustadz-ustadz’an”.

“Saya prihatin, di media sosial, siapa saja bisa berkomentar tentang apa saja. Orang pintar seperti Quraish Shihab dan Gus Dur saja dikafir-kafirkan,” kata Musdah dengan nada kesal.

Islam dan Feminisme yang Sejalan

Kemampuan dalam kajian keislaman itu yang membuat Musdah berbeda dengan kebanyakan aktivis feminisme lainnya. Dulu, ia sering bertanya tentang relevansi Islam dan feminisme kepada sahabatnya, almarhum Nurcholish Madjid. Cendikiawan muslim yang sering disapa Cak Nur itu hanya menjawab, “Musdah, itu bagian kamu.”

Karena itu, Musdah semakin giat mempelajari tentang Islam dan feminisme. Caranya, ia mengumpulkan semua dalil yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, lalu dikaji satu persatu.

Hal pertama yang dilakukan Musdah adalah mencari mana ayat yang turun duluan, mana yang belakangan. Itu akan mempermudahnya saat menemukan dalil yang tampak kontradiktif. Setelah itu, Musdah mengkaji semua hal berkaitan dengan ayat tersebut. Mulai dari tafsir secara bahasa, memahami konteks makro dan mikro, sampai dengan melakukan kajian secara kritis.

Hasilnya, Musdah berkesimpulan, tidak ada yang patut dipertentangkan antara Islam dan feminisme. Nilai-nilai keislaman, hampir seluruhnya sejalan dengan prinsip kesetaraan gender.

Grafis: law-justice.co/ Christopher AA Mait

Logika berpikir Musdah sederhana. Ia mengingatkan kembali tentang ajaran pokok dalam Islam, yakni tauhid atau meng-Esa-kan Tuhan. Jika seluruh umat muslim percaya bahwa hanya ada satu Tuhan, berarti, selain Tuhan hanyalah makhluk yang setara satu sama lain.

Ia menegaskan, tidak boleh ada orang yang mengaku punya derajat seperti Tuhan dengan cara merendahkan manusia lainnya. Itu sama saja dengan mengingkari ke-Tauhid-an. Selain itu, tidak boleh ada anggapan tentang manusia kedua (second human). Itu akan menjadi cikal bakal penindasan, diskriminasi, dan perlakuan yang tidak adil kepada sesama manusia.

Begitupun sebaliknya, tidak boleh ada orang yang mempertuhankan sesama manusia. Konsep Tauhid, kata Musdah, menegaskan bahwa rakyat tidak boleh mempertuhankan raja atau pemimpinnya, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasannya, dan istri tidak boleh mempertuhankan suaminya.

Dengan kata lain, tidak boleh ada orang yang dianggap selalu benar tanpa syarat. Tidak boleh ada yang ditakuti melebihi ketakutan kepada Tuhan.

“Tidak boleh ada eksploitasi. Tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk kekerasan seksual. Tidak boleh ada penghinaan. Tidak boleh ada perundungan. Setiap orang harus menghormati martabat manusia,” ujarnya.

Musdah menerangkan, Islam lahir sebagai pembaharu atas ketidaksetaraan. Nabi Muhammad adalah orang yang membawa perombakan kultur di masyarakat Arab saat itu, yang sangat tidak mengkui kesetaraan perempuan dan laki-laki.

Musdah menelaah tiga isu dalam Islam yang sering disebut sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Yaitu tentang mahar (mas kawin), poligami, dan mawaris (harta warisan).

Masyarakat Arab sebelum Islam datang, kata Musdah, memperlakukan perempuan seperti benda yang diperjualbelikan. Ketika terjadi pernikahan, mahar sepenuhnya diberikan kepada keluarga perempuan. Tapi Islam mengubah konsep mahar, menjadi hak mutlak hanya untuk istri. Itu menegaskan bahwa perempuan harus punya hak properti. Mahar tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh orang tua atau suaminya.

Dalam isu poligami, Musdah menerangkan, orang-orang harus paham bahwa poligami adalah tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Laki-laki bisa punya istri tanpa dibatasi jumlahnya. Lalu kemudian Islam membatasinya hanya boleh memiliki maksimal 4 istri, dengan syarat yang berat, yaitu harus mampu berlaku adil.

“Orang sering luput dengan potongan terakhir ayat itu, yang menegaskan bahwa memiliki satu istri jauh lebih baik baik dan bisa menghindari kita dari perlakuan yang tidak adil,” ujar Musdah. 

Begitu pula dengan isu mawaris atau harta warisan. Masyarakat sebelum Islam sama sekali tidak memberikan jatah harta warisan untuk perempuan. Bahkan, ujar Musdah, perempuan sering dijadikan bagian dari harta warisan ketika sang suami meninggal. Kemudian Islam datang dan merombak aturan tentang mawaris. Perempuan mendapatkan hak waris, walaupun jumlahnya lebih sedikit ketimbang laki-laki.

“Mengingat kaum perempuan pada masa itu belum memiliki akses dalam aktifitas ekonomi. Namun, spirit yang dibangun Islam adalah pengakuan terhadap eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh, bermartabat, setara, dan sederajat dengan saudara mereka yang laki-laki,” jelas Musdah.

Mengacu pada semua kajiannya itu, Musdah merasa heran dengan pihak-pihak yang menentang feminisme atas nama Islam, atau sebaliknya, menganggap Islam sebagai bagian yang mendiskreditkan perempuan.

“Apalagi sekarang ada gerakan Uninstall Feminisme.Hal seperti itu bisa merusak sendi-sendi demokrasi, karena demokrasi itu menghormati kesetaraan,” tegasnya.

Bagi Musdah, feminisme itu beragam. Tidak bisa digeneralisasikan. Feminisme lahir dalam setiap konteks kehidupan sosial masyarakat yang menindas dan anti kesetaraan. Dengan begitu, keliru jika orang menganggap feminisme berasal dari dunia barat.

Islam pun beragam dalam hal tafsir. Selama ini, tafsiran tentang dalil yang berkaitan tentang perempuan tidak semuanya diketahui oleh masyarakat, terutama di Indonesia. Musdah mengaku, ketika ia memunculkan tafsiran-tafsiran itu, banyak ulama besar di Indonesia yang turut membenarkan.  

“Mereka tidak membantah. Walaupun mereka bilang, belum saatnya itu dimunculkan,” kata Musdah. “Terus kapan? Tunggu kiamat?”

 

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar