Komarudin Hidayat:

Benarkah Agama Sumber Kekerasan?

Jum'at, 26/04/2019 09:03 WIB
Komaruddin Hidayat (Medcomid)

Komaruddin Hidayat (Medcomid)

law-justice.co - Hari-hari ini muncul opini sangat kuat bahwa agama menjadi sumber keresahan dan kekerasan di berbagai belahan dunia. Betulkah demikian? Adalah Karen Amstrong, mantan biarawati yang sekarang paling aktif melakukan kajian sejarah agama-agama dan sangat produktif menulis buku tebal-tebal, yang secara tegas menyatakan “tidak”. Ini bisa dibaca dalam karyanya Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014), yang sudah dialihbahasakan dan diterbitkan oleh Mizan (2016).

Menurut sejarawan militer, dalam setiap peperangan terdapat banyak faktor yang terlibat di dalamnya, seperti faktor sosial, material, dan ideologis yang saling berhubungan. Dari semua itu alasan utamanya adalah berebut sumber daya yang langka. Begitupun terorisme, tak bisa disederhanakan sebagai kekerasan agama, meskipun sentimen agama terlibat di dalamnya.

Adalah  mereka yang sudah terbentuk alam pikirnya dengan paham sekuler yang anti agama, maka agama lalu dijadikan kambing hitam, lalu dilepaskan ke padang gurun politik. Mereka mengklaim bahwa monoteisme sangat tidak toleran dan agama tak mengenal kompromi. Mereka lupa bahwa bahwa perang dunia yang menciptakan trauma sejarah itu tidak dipicu oleh agama.

Dulu pernah kerajaan Islam berjaya, melampaui kekuasaan Barat. Tetapi semua negara yang hanya mengandalkan pertanian pada akhirnya akan kehabisan sumber daya intrinsik yang terbatas,  yang akan menghambat laju inovasi. Hanya bangsa dan negara industri yang jauh lebih berpeluang membuat kemajuan melampaui kebutuhan zamannya. Mungkin ini yang menyebabkan kejayaan ilmu pengetahuan di dunia Islam terhenti, atau jauh ketinggalan dari Barat. Di sini faktor sains dan militer sangat berperan, bukannya masalah agama.

Perlawanan agama muncul dengan kehadiran modernitas yang menguasai hampir seluruh lini kehidupan, lalu agama terpinggirkan. Ini dirasakan baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam. Kekuatan agama ingin mengembalikan romantisisme masa lalu, yang kemudian disebut sebagai kebangkitan fundamentalisme. Istilah kembali ke fundamen ini dicetuskan oleh Protestan Amerika tahun 1920, yang kemudian dilekatkan pada semua gerakan keagamaan yang anti modernitas. Gerakan fundamentalisme ini awalnya hanya sedikit yang melakukan kekerasan. Gerakan ini dipicu oleh rasa takut dan terancam terhadap kekuatan sekuler yang akan menghancurkan kekuatan agama. Semacam paranoid. Komunitas Yahudi selalu mengenang pengalaman sangat pahit dari kekuasaan Hitler yang mau menghabisi mereka.

Dalam sejarah Islam,  kejatuhan Dinasti Usmani yang berpusat di Turki juga meninggalkan tragedi berkelanjutan bagi dunia Islam di hadapan kekuatan Barat yang agressif.  Inggris dan sekutunya dengan seenaknya membagi dunia Islam menjadi negara-negara kecil berdasarkan kesukuan dan kebangsaan, suatu pengalaman baru yang dipaksakan, jauh di luar jangkauan tradisi dan nalar ummat Islam. Mereka terkondisikan menghadapi dua kekuatan sekaligus. Yaitu berhadapan dengan Barat yang agressif untuk menguasai sumber daya alam dan merusak tradisi mereka, dalam waktu yang sama juga dihadapkan pada persaingan militer dengan negara-negara tetangganya yang dahulu satu rumpun agama dan kekuasaan di bawah Turki Usmani.

Kisah tragis yang diciptakan Barat juga menimpa India yang kemudian melahirkan pecahan Pakistan dan Bangladesh. Dalam berbagai konflik itu sesungguhnya agama posisinya pinggiran, bahkan dimanipulasi, seperti yang dilakukan Amerika masuk ke Afganistan untuk menghadang pengaruh Rusia dengan mengerahkan tentara Pakistan dan umat Islam lain dengan dalih agama, bagaikan David melawan Goliat. Sebuah jihad suci melawan kekuatan anti Tuhan.

Jadi, kata Amstrong, agama itu bagaikan cuaca yang bisa berubah-ubah. Atau metafora kambing hitam sebagai penebus dosa manusia yang oleh Yesus lalu dilepas ke kota. Setiap kali ada keributan, lalu rame-rame menunjuk biangnya adalah “kambing hitam” agama untuk disembelih. Gejala ini juga bisa dimaklumi, mengingat ketika terjadi perebutan kekuasaan, misalnya Pilkada atau Pemilu, isu, simbol dan sentimen agama sangat manjur sebagai sarana bertahan atau melancarkan serangan terhadap lawannya.

Komaruddin Hidayat adalah Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akademisi dan juga seorang penulis kolom. 

Sumber: KAHA Virtual University

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar