Wisnu Pratama, Peneliti

Parahnya Kredibilitas Lembaga Survei, Tarik Quick Count Mu

Senin, 22/04/2019 05:01 WIB
Ilustrasi (Okezone)

Ilustrasi (Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Saya menulis ini usai menelaah rilis laporan QC Pilpres 2019 Indikator Politik Indonesia (INDIKATOR) dan menonton jumpa pers Persepi di televisi.

Catatan pertama: Rilis tidak memuat data TPS-TPS yang dijadikan sampel. Jadi rilis ini hanya memuat hasil hitung cepat sahaja, disertai penjelasan metodologi. Adalah bagus kalau INDIKATOR dan lembaga survai lainnya (LSI, Indobarometer, Litbang Kompas, CSIS dan lain2 nya juga menyajikan DATA tersebut. Agar bisa dicek bersama kebenarannya.

Kedua. INDIKATOR kali ini tidak menampilkan grafik stabilitas suara yang bersifat full information. Saya tak tahu lembaga survai lainnya tetapi saya kira sama saja. Pada Pilpres 2014 lalu disajikan grafik stabilitas suara yang komplit dengan informasi distribusi suara per-1% data-masuk. Dengan penyajian full information publik bisa menguji kebenaran grafik secara matematis.

Sekadar diketahui, pada uji validitas yang saya lakukan untuk grafik stabilitas Pilpres 2014 lalu, saya menemukan kesalahan matematis fatal. Yaitu, INDIKATOR memanipulasi perolehan suara pada antara data-masuk 17% ke 18%. Dampaknya: suara Prabowo menjadi turun melebihi dari yang diizinkan secara matematis. Pada Pilpres kali ini INDIKATOR tidak lagi menyajikan grafik serupa. Yang ada adalah grafik dalam bentuk PDF yang tidak memungkinkan pengecekan atau uji matematis atas data-masuk dan kesesuaiannya dengan distribusi suara para Paslon.

Ketiga. Dari 3.000 TPS yang dijadikan sampel, INDIKATOR hanya melakukan pengecekan aktivitas (spotchecker) terhadap 10% TPS. Itu berarti tidak ada jaminan sama sekali apakah data-masuk benar-benar data sebenar-benarnya dari keseluruhan 3000 TPS. Saya menduga begitu juga yang dilakukan lembaga survai lainnya.

Keempat. Ketidakkonsistenan klaim kualitas penyelenggaraan Quick Count. Dalam penjelasan pengantar, INDIKATOR menyatakan dari 3.000 TPS yang direncanakan, sebanyak 25 TPS tidak bisa dijangkau dalam durasi yang ditentukan, yang berada di wilayah Kalimantan dan Papua. TETAPI dalam seksi laporan Analisis Wilayah, baik Kalimantan maupun Papua dilaporkan dengan menggunakan 100% data-masuk. Artinya, data dari Kalimantan dan Papua mencapai 100%. Adapun daerah yang dinyatakan dalam analisis belum lengkap data-masuknya adalah Jambi. Jambi berada di SUMATERA. Benarkan begitu? Mohon konfirmasi dari INDIKATOR.

Kelima. Apabila benar ada data dari Papua yang tidak atau belum masuk pada durasi yang ditentukan, itu berarti pangkal grafik stabilitas Pilpres 2019 versi INDIKATOR adalah klaim kosong. Secara logika waktu, kawasan timur adalah jajaran pengisi pertama pangkal grafik. Versi INDIKATOR dengan grafiknya tersebut, pangkal grafik bernilai hampir 80%. Data dalam tabel penjelasan menunjukkan capaian pada kisaran itu pada daerah waktu yang sama adalah data Papua. Bagaimana mungkin data Papua tidak bisa hadir sementara hasilnya bisa ditampilkan?

Keenam. Jika di-konek-kan dengan situasi riil di Papua, di mana ada ratusan TPS yang batal melakukan pemungutan suara karena keterlambatan logistik, di mana pemungutan suaranya baru dilakukan pada keesokan hari, lalu dari mana asal data yang disajikan INDIKATOR? Ini pertanyaan kami juga untuk lembaga survai lainnya.

Ketujuh. Apabila, demi menjaga kredibilitas lembaga dan terutama sekali demi sains yang tak bisa dibohongi, INDIKATOR mesti menarik klaim pada pangkal grafik mereka, maka ibarat gedung megah yang ditarik pondasinya, GRAFIK STABILITAS SUARA itu RUNTUH. Tidak bisa dijadikan rujukan. RUNTUH. Hal serupa akan terjadi pada lembaga survai lain yang ikut serta dalam acara Persepi.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar