Saut Situmorang:

Keberhasilan KPK Hanya Menghibur Hati Rakyat

Kamis, 18/04/2019 10:51 WIB
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (law-justice.co/ Winna Wijaya)

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (law-justice.co/ Winna Wijaya)

law-justice.co - Tidak semua orang tahu, Thony Saut Situmorang ternyata  gemar bermain musik. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, memilih saxophone untuk menyalurkan hobinya. Jika ia ingin memainkan saxophone-nya, Saut selalu datang pagi-pagi ke kantor, supaya tidak menggangu yang lain, demikian bocoran dari Djoko, seorang ajudannya.

“Saya sekarang lagi bosen main yang instrumen murni, artinya yang saxophone. Sekarang saya main saxophone tetapi dengan elektronik [digital],” tuturnya, saat di temui law-justice.co di ruang perpustakaan KPK, bulan Maret silam.

Pria 60 tahun ini, semangat jika bicara tentang hobinya itu. Menurutnya, tingkat kesulitan meniup alat itu kadarnya sama dari masing-masing instrumen. Namun terasa lebih menantang apabila menggunakan digital audio system, sebab di dalamnya terdapat animasi grafis disertai perangkat record yang automatic. “Jadi dua minggu itu saja kerjaan saya di rumah,” ujarnya tertawa.

Lelaki pengagum Kenneth Bruce Gorelick alias Kenny G,  ini mulai sering memainkan saxophone sejak tahun 1998 tatkala bertugas sebagai Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura.

Tapi sebelumnya ia sudah sempat memelajari instrumen itu saat menjabat sebagai Direktur Monitoring dan Surveillance di Badan Intelijen Negara [BIN] pada tahun 1987. Kebetulan lokasi penempatan berada di kota kelahirannya, di Medan. Ketika itu bertepatan dengan kematian ibunya, mayoritas keluarga Batak Saut mengajaknya untuk memainkan saxophone.

Saat memelajari instrumen tersebut Saut sama sekali tidak tertarik dengan teori yang diajarkan oleh kawan-kawannya. Ia lebih cocok menerapkan play by ear. Sehingga untuk kelancaran permainan, secara otodidak ia melatih kemampuannya sendiri.

“Saya suka Kenny G. Tingkat kesulitan dia kan musiknya sangat tinggi. Bahkan saya pernah coba saxophone yang pernah dipakai Kenny G, saya coba kan itu ada mouthpieces-nya tertentu. Berbeda mulut walau alatnya sama kan tentu suaranya ngga sama.

Orang yang Kenny G punya belum tentu suaranya mirip dengan Kenny G. Tapi dengan digital audio yang ada, bisa sama,” jelas Saut. “Lagu yang paling saya suka itu going home,” imbuhnya.

KPK ada untuk menghibur hati rakyat

Tidak lama lagi, tugas Saut Situmorang di KPK akan berakhir. Selama menjalani pekerjaannya di KPK, kasus korupsi diyakini Saut selalu berada di balik ragam transaksi yang terjadi di berbagai negara.

Pengalamannya terlibat dalam Badan Intelijen Negara [BIN] membuatnya yakin dapat memberikan solusi terhadap penyelesaian kasus korupsi di Indonesia. Tatkala di BIN, ia memelajari bidang kejahatan transnational crime. Yang mana kasus kejahatan itu meliputi pencucian uang, penyelundupan barang, terorisme, illegal logginghuman trafficking, dan sebagainya.

“Itu isu kejahatan negara di belakangnya ada korupsi, di situ saya mulai tertarik,” kata Saut. “Bahkan orang jahat yang datang masuk ke Indonesia, bisa tiba-tiba dia dapat paspor. Paspor itu harus ada KTP, nah KTP-nya palsu. KTP-nya juga nyogok. Terus kemudian bikin paspor harus ada ijazah, ijazahnya juga palsu, kementerian enggak ngecek itu,” lanjutnya lagi.

Dalam pandangannya, transnational crime akan sangat rumit diselesaikan. Bahkan di Indonesia sendiri ia yakini bakalan susah. Negara lain yang belum maju memang belum berhasil merampungkan persoalan tersebut. Berkaca pada Malaysia dan Thailand, dua negara yang segala aspeknya berbeda, juga diketahui belum berhasil menangani itu.

Adanya kejahatan transnational crime baru disadari oleh masyarakat ketika terdapat peristiwa the September attacks tahun 2001. Terjadi serangkaian serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York dan Washington DC.

Pada hari itu 19 pembajak dari kelompok militan Islam, al-Qaeda, membajak empat pesawat jet penumpang. Mereka sengaja menabrakkan dua pesawat ke menara kembar World Trade Center [WTC] di New York. Serangan tergolong aksi teror yang dipimpin Osama bin Laden.

“Saya di Singapura mendalami itu. Ada gerakan seperti itu. Bagaimana terorisme internasional membangun jaringannya lewat bisnis, dan lain-lain. Selalu kan masuknya melanggar hukum, dia harus bisa main mata dengan penegak hukum, termasuk izin tinggal,” terang Saut.

Internal KPK sendiri mulai menerapkan pemahaman “bisnis proses”, sehingga terjadi penyaringan yang betul-betul sesuai. Hal itu menjadi rekomendasi dalam perekrutan pegawai kementerian dan lembaga.

“Ada ketentuan pun enggak dijalanin, apalagi kalau enggak ada ketentuannya. Dari situ makanya saya melihat kejahatan antarnegara ini jadi lebih sulit ketika kita tidak komitmen dengan standar internasional, seperti piagam PBB antikorupsi,” ujarnya.

Yang paling sulit juga termasuk adanya orang yang memperdagangkan pengaruh. Menurut Saut hal itu bisa diselesaikan dengan memperbaiki Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi [UU Tipikor] serta lebih menguatkan lagi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Aturan tersebut harus bisa menyasar orang yang memperdagangkan pengaruhnya. Karena selama ini, menurutnya, hal itu belum dapat ditangani oleh KPK.

Meski begitu, secara keseluruhan penanganan kasus di KPK menurut Saut tidak memiliki kendala. Sebab acuannya jelas berkaitan substansi dan materi. Tatkala sebuah kasus telah memenuhi dua alat bukti yang cukup dan sesuai KUHAP, dan telah melalui proses mulai dari pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, maka itu semua sudah cukup. “Menjadi sangat sulit kalau Anda punya konflik kepentingan di dalamnya,” cetusnya. 

 “Saya bilang, semua orang yang kerja di KPK itu sebaiknya hanya dirinya dan Tuhan saja. Seperti saya kemari saya dengan Tuhan saja [yang tahu]. Enggak dengan istri saya. Istri saya bisa saja bilang ‘Pak kok lama banget ini hari Minggu. Ini kita belum libur sudah 31 Desember ini Natal sudah lewat.’ Itu saya dengan istri bisa berantem.”

Saut selalu menekankan sasaran kompleksitas dalam penanganan sebuah kasus korupsi. Maka fokus terhadap besar-kecilnya jumlah uang harus dikesampingkan lebih dulu, namun harus melihat jauh ke dalam berkaitan akibat-akibat yang dimunculkan dari korupsi tersebut. Ia mencontohkan ketika terjadi kasus korupsi senilai 30 juta rupiah, pelaku beranggapan bahwa nilai itu tak seberapa sehingga tidak perlu diusut oleh KPK.

 Namun harus diakui, bahwa penanganan kompleksitas itu sangatlah rumit. Keterkaitan antarlembaga terkadang masih belum bisa menyinkronkan implementasi. “Kita benahin di perizinan, nanti ekspor-impornya enggak benar. Atau kita perbaikin bagaimana menata lingkungan supaya ikan paus enggak mati dan plastik enggak dibuang sembarangan, tapi semua industri buang ke kali sampai kesedot di danau, danaunya bikin orang sakit. Kementeriannya selalu bilang supaya bersih, tapi kementerian yang lain membiarkan itu limbah dibuang sembarangan. Penegakan hukum enggak jalan, jadi memang harus sama-sama,” keluh Saut.

Saat ini pegawai KPK terdiri dari 20 ribu orang. Dan penindakan kasusnya dilakukan mulai dari Aceh hingga Papua. Namun hingga sekarang baru ada sembilan koordinator wilayah membawahi beberapa provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Menurut Saut, hal itu masih jauh dari ideal apabila Indonesia betul-betul ingin memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebab secara penindakan masih sangat terbatas sekali sumber daya manusianya. Jumlah penyidik KPK saja masih kurang dari 100 orang. Kemudian tataran deputi juga masih sedikit. “Idealnya tergantung pendekatan. Kalau pendekatan teori kita pengin 100 kasus per tahun, ngapain kita bawa orang banyak.”

 “Ini kayak kita menghibur hati aja sama rakyat Indonesia. Bahwa KPK ada. Bahwa korupsi diberantas. Tetapi basically kita enggak membawa dampak jera,” keluh Saut.

Transparency International Indonesia merilis Corruption Perceptions Index [CPI] atau Indeks Persepsi Korupsi [IPK] Indonesia pada tahun 2018. IPK Indonesia naik 7 peringkat ke posisi 89 dari 180 negara. Angka tersebut naik satu poin dibanding tahun 2016 dan 2017 yang mana skor IPK Indonesia masih 37. Penilaian itu dipengaruhi beberapa indikator antara lain World Economic Forum, International Country Risk Guide, dan sebagainya.

Selama hampir empat tahun menjabat sebagai wakil ketua, Saut merasa target yang tercapai masih jauh dari ekspektasi. Terutama soal IPK ia menargetkan Indonesia mendapat skor 45. Namun kenyataannya kalah dengan Malaysia. “Orang asing juga tahu ini KPK Indonesia hanya menghibur hati saja. Buktinya, `IPK` kita enggak naik-naik. Malaysia aja nggak bisa kita kejar. Malaysia 50 kan IPK-nya? Saya enggak mau dikatakan keren atau apalah.  Apanya yang keren kalau kayak gini?”

Namun, ada beberapa hal  yang menurut Saut sudah tercapai, yakni keinginannya agar KPK punya big data sudah terlaksana. Kemudian mindset intelijen perlahan mulai berjalan dalam struktur formil. Namun sayangnya untuk membawa efek jera kepada masyarakat, nampaknya masih belum berhasil. Itu semua terkendala sumber daya manusia yang minim sekali. Serta keterbatasan ruang di Gedung KPK, sementara tenaga yang dibutuhkan jumlahnya tidak sedikit.

“Sambil itu kita juga lakukan pencegahannya. Gak dicegah aja, terus. Yang pernah diambil ini kan semua pernah ketemu KPK. Pasti semua pernah bicara antikorupsi. Enggak lama kemudian, ditangkap.”

“Kita enggak bisa jaga orang-orang baik ini. Emang gampang masuk DPR? Itu orang pilihan, tapi kemudian kejeblos. Bupati, Gubernur, tapi kenapa kejebur? Karena KPK belum intens menjaga orang baik ini,” jelas Saut.

Berencana habiskan masa tua dengan beternak

Pada 21 Desember 2019 nanti pimpinan KPK yang menjabat sejak akhir 2015,  genap empat tahun melakoni masa jabatannya. Artinya mereka semua akan mengakhiri kerja sebagai pimpinan.

Begitu pula dengan Saut. Ia pun dari sekarang telah menentukan kegiatan yang hendak ia jadikan sebagai rutinitas berikutnya. “Saya mau memelihara ayam kampung saja…hahaha...” ujarnya tertawa.

“Bertani dan berternak itu filosofinya kalau Anda enggak kerja, ya Anda enggak dapat. Di lain-lain kan kita bisa ngarepin temen. Nah, kalau pertanian-peternakan, Anda kalau enggak hati-hati, ya ayam kena penyakit.”

Ia mengaku pernah berkebun saat sebelum bekerja di kedutaan Singapura. Atas saran kakaknya, ia membeli tanah di Pekanbaru Riau kisaran tahun 1995-1997. “Kamu beli tanah ngga nih biar pensiunnya ngga melarat Lu. Pegawai negeri kan Lu,” kata Saut menirukan gaya bicara kakaknya.

 “Saya anggap enggak ada larangan pegawai negeri jadi kaya. Yang enggak boleh itu korupsi, abuse, dan melanggar hukum. Jadi jangan salah.”

Saut yang pernah empat kali mencalonkan sebagai pemimpin KPK itu sebelumnya pernah dipermasalahkan karena memiliki jip Rubicon bernomor polisi B-54-UT. Ia mengaku kawan-kawan di Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melarangnya agar tak dibawa ke kantor.

Tapi ia mengklaim bahwa mobil itu dibeli karena diberi jaminan uang muka oleh orangtuanya. Sedang pelunasan per bulannya ia tanggung sendiri. “Makanya [saat itu] saya jual mobilnya, saya buat beli tanah di Kalimantan.”

Saut berniat beternak ayam karena secara pangsa pasar lebih menguntungkan, selain itu rasanya pun juga digemari masyarakat. Tapi juga menarik untuk beternak entok. Karena menurutnya daging entok lebih enak ketimbang ayam, namun sayangnya gampang tertular penyakit.

Setelah peternakan berjalan, langkah selanjutnya ia ingin membuka restoran khusus ayam dan bebek peking. Restoran yang diperuntukkan komunitas, sehingga aktivitasnya bisa digunakan untuk diskusi organisasi atau lembaga agar membicarakan soal antikorupsi.

“Restoran yang enggak cari untung. Itu juga kalau istri setuju. Paling kebanyakan amalnya, hahaha…,” tutupnya.

 

 

(Winna Wijaya\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar