Kasus First Travel Tak Kunjung Dilimpahkan ke Pengadilan

Sabtu, 11/11/2017 10:17 WIB
Foto: dream.co.id

Foto: dream.co.id

law-justice.co - ‎Kasus dugaan penipuan oleh biro perjalanan umrah PT‎ Anugrah Karya Wisata atau First Travel yang gagal memberangkat lebih dari 46 ribu jemaah dengan total dana yang digelapkan lebih dari Rp 1 triliun pada 28 Maret 2017, tidak kunjung dibawa atau dilimpahkan ke pengadilan. 

Padahal, Bareskrim Polri yang menangani kasus ini sudah menetapkan tiga tersangka pada Agustus lalu, yakni Direktur Utama First Travel Andika Surachman, Direktur First Travel Anniesa Desvitasari Hasibuan serta Komisaris Keuangan First Travel Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki. Ketiganya juga sudah ditahan oleh Bareskrim. 

Adapun pasal yang disangkakan kepada ketiga tersangka itu yakni pasal 378 dan atau 372 KUHP dan pasal 3 dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi III DPR pada 12 Oktober 2017 menyatakan kasus ini akan masuk ke tahap persidangan. Lalu pada 27 Oktober 2017, Bareskrim Polri sudah melimpahkan berkas tahap 1 ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Kini berkas tersebut dikembalikan oleh Korps Adhyaksa ini ke Bareskrim untuk dilengkapi atau P19.

"Sementara masih melengkapi petunjuk jaksa dalam P19," ungkap Kepala Unit 5 Subdirektorat Kejahatan Wilayah Dittiipidum Bareskrim Polri, AKBP Bambang Wijanarko kepada law-justice.co, Jumat (10/11/2017). 

Ia belum dapat memastikan kapan berkas tersebut dilimpahkan kembali ke Kejagung. Sementara saat ini pihaknya tetap melakukan penyidikan lanjutan dengan memeriksa saksi-saksi. "Sidik lanjutan beberapa saksi," katanya. 

Saksi-saksi yang sudah diperiksa Bareskrim diantara penyanyi Syahrini yang diduga dibiayai umrah bersama keluarganya oleh First Travel sekaligus sebagai ajang promosi paket umrah. Lalu ada juga penyanyi Vicky Shu yang diketahui beberapa kali menjadi model biro umrah ini, dan beberapa saksi lainnya atas 13 laporan yang diterima Bareskrim. 

Pada 21 Juli 2017 lalu, Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memerintahkan First Travel untuk menghentikan penjualan paket promonya. Perintah itu diterbitkan karena ada indikasi investasi ilegal dan penghimpunan dana masyarakat tanpa izin.

Izin Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) untuk First Travel pun dicabut karena Kementerian Agama (Kemenag) menilainya telah terbukti melanggar Pasal 65 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU 13/2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah haji.

Kemenag pun memerintahkan kepada First Travel untuk mengembalikan seluruh biaya jemaah umrah yang telah mendaftar atau melimpahkan seluruh jemaah tersebut kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) lain tanpa menambah biaya apapun.

Anggota Komisi VIII DPR, John Kenedy Azis tidak berprasangka buruk pada Bareskrim Polri. Justru ia mensupport pihak kepolisian dapat menuntaskan permasalahan First Travel ini sampai tuntas dan sampai ke akar-akarnya. 
"Semoga keadilan dari kasus first travel ini untuk jamaah yang belum terberangkatkan ke tanah suci betul-betul dirasakannya," harap John Kenedy.

Dengan transaksi yang begitu besar yang mencapai hingga Rp 1 triliun, menurutnya ada dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebab itu, John yang sering di bawah kendali operasi (BKO) oleh Fraksi Partai Golkar ke Komisi III DPR ini meminta agar kasus ini dilimpahkan ke pengadilan.

"Cepat dilimpahkan iyaaa, tapi yang lebih penting adalah kualitas penyidikannya, sehingga dengan demikian penegakan hukumnya dapat dirasakan oleh korban dari Firs travel ini," katanya.

Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad mengatakan, kasus first travel sudah terang perkara yakni ada penipuan, penggelapan dan TPPU. "Dengan terangnya kasus tersebut, maka sudah seharusnya polisi segera melimpahkan ke kejaksaan," ujar Suparji.

Selain itu, lanjut Suparji, kasus ini juga menjadi perhatian publik sehingga penanganannya lebih cepat dan cermat agar juga segera dilimpahkan ke pengadilan. "Mungkin saja belum dilimpahkan perkara ini karena bukti yang belum cukup atau masih menggali kemungkinan pelaku yang lain," katanya.

Sementara itu, Pakar hukum pidana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Alfitra, mengatakan, proses polisi ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinamakan prapenuntutan dalam KUHAP pasal 110,14,138 mengatur jika jaksa menggap belum memenuhi syarat formil, maka harus dipenuhi tujuannya supaya tersangka/terdakwa apa yang diatur dalam pasal 191 (1,2) dibebaskan atau dilepaskan. 

Namun, lanjut Alfitra, berkas perkara kasus ini sudah lengkap hanya perlu dilengkapi. Kasus ini juga tidak akan dihentikan atau SP3. "Itu tadi kata polisi sudah lengkap, tapi JPU artinya syarat forminya jangan dilangar. Dan ini sudah menjadi kosumsi publik tidak akan di SP3 kan," kata Alfitra.

Publik Pesimis

Pengamat hukum pidana Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta, Hery Firmansyah mengatakan belum dilimpahkannya kasus ini ke pengadilan membuat publik menjadi pesimis dalam penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. 

"Logika hukumnya, jika sudah terpenuhi semua minimal dua alat bukti dan rangkain sprindik, SPDP, sudah tinggal melihat proses pelimpahan berkas perkara dan tanggungjawab ke jaksa," kata Hery Firmansyah. 

Hery menambahkan, korban juga sudah banyak yang melaporkan kasus penipuan paket umrah dengan waktu cepat ini. Sehingga, alasan bahwa kasus ini sulit pembuktiannya menurutnya agak susah dicerna dengan akal sehat. 

"Intinya proses ini harus cepat dan tepat dilakukan agar keadilan bagi korban dapat terpenuhi‎," pungkasnya. 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar