Auditor BPKP Akui Terima Tiga Juta Rupiah

Jum'at, 10/11/2017 16:49 WIB
Foto: bpkp.go.id

Foto: bpkp.go.id

law-justice.co - Tubuh Mahmud Toha Siregar kerap bergoyang ke kanan dan kiri saat jalannya sidang lanjutan kasus mega korupsi KTP-el berlangsung. PNS sekaligus auditor pada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu kadang terlihat sesekali menoleh ke wajah mantan bosnya, Irman Bastari. 

Iman Bastari merupakan mantan Deputi Bidang Administrasi Sekretariat Wakil Presiden yang juga mantan Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan‎. Keduanya menjadi saksi atas terdakwa Andi Narogong alias Andi Agustinus dalam sidang yang berlangsung di PN Tipikor, Jumat (10/11/2017), di Jakarta. 

Mahmud mengamini pertanyaan jaksa saat dirinya dicecar jaksa KPK dalam sidang perihal adanya uang transfer yang diberikan pada dirinya. "Saya kenal dengan Sugiharto dan Drajat Wisnu. Saya pernah terima uang dalam transfer, Rp 3 juta," ungkap Mahmud. Meski begitu, ia kemudian mengembalikan uang tersebut pada komisi anti suap. 

Pemberi uang itu adalah Drajat Wisnu yang duduk sebagai panitia lelang proyek KTP-el yang bernilai Rp 5,9 triliun di Kemendagri. Toha mengaku tak ada maksud tertentu saat Wisnu memberikan uang itu.  Uang itu kemudian dianggap Mahmud fulus transport. Dan sama sekali tidak ada kaitannya terhadap audit BPKP. 

Berbeda halnya dengan sang bos, Irman Bastari, dalam sidang kali ini dirinya mengakui sama sekali tak menerima uang dari tim Fatmawati yang dinahkodai Andi Narogong. "Tugas saya hanya menyarankan agar menjaga dan tidak main-main dengan pendampingan. Dan ada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar," jelas Irman.

Pada sidang sebelumnya terdapat nama Mayus Bangun selain Irman dan Sugiharto. Mayus diketahui pernah menghadiri pertemuan di ruko Fatmawati milik Andi Narogong. Peserta yang hadir kemudian disebut sebagai Tim Fatmawati.

Dalam sidang, Toha juga membeberkan  dirinya pernah hadir di Kemendagri saat berlangsungngnya proses review terhadap proyek KTP-el. Saat itu tugasnya meneliti sekaligus menjawab bila ada pertanyaan dan tanggapan dari peserta lelang proyek itu. Singkat kata, proses tersebut atau yang dikenal aanwijzing ialah penjelasan mengenai tender itu.

Keberadaan tim Fatmawati dibuat oleh sejumlah terdakwa korupsi KTP-el untuk kelancaran proses lelang hingga pelaksanaan pengadaan KTP-el. Tujuannya, agar seluruh perusahaan 'abal-abal' yang dibuat mereka memenangkan pro yek KTP-el. 

Sebagaimana diketahui,  PNRI menang tender proyek itu dengan menggandeng  Astra Graphia dan  Murakabi Sejahtera. Konsorsium itu diketahui milik sanak famili Setya Novanto dan rekan-rekannya yang kini duduk sebagai pesakitan. 

Dalam modus operandinya, Tim Fatmawati sengaja membuat harga pasar yang dinaikkan dari tiap item produk yang berkaitan dengan proyek KTP-el. Tujuannya agar harga awal produk lebih mahal dari harga sebenarnya. 

Selain itu, tim ini juga menyamakan produk-produk tertentu agar jadi dasar penetapan secara spesifikasi teknis demi kepentingan proyek KTP-el. 

Kerugian negara dalam proyek KTP-el, mengacu pada hitung-hitungan dua lembaga negara yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). Ketua BPK Harry Azhar Azis tak mempermasalahkan perbedaan tersebut. "Itu terserah pengadilan, karena pemutus terakhir di pengadilan," terang politisi Partai Golkar itu, Jumat (10/3/2017), kemarin,  di Jakarta. 

Diketahui, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar MA Tahun 2016 sebagai pedoman pelaksaan tugas bagi pengadilan yang diumumkan pada November 2016 kemarin. MA menyatakan, instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara yakni BPK.

BPK dan BPKP memiliki angka yang berbeda ihwal hitungan kerugian negara dalam proyek e-KTP tersebut.  BPK mengeluarkan angka Rp 2,5 triliun, sementara BPKP lebih kecil yakni Rp2,3 triliun.

 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar