Deponering Kasus Agus dan Saut, Prasetyo: Nanti Jaksa Bisa Bercerita Lebih Banyak

Kamis, 09/11/2017 19:03 WIB
Foto: tengokberita.com

Foto: tengokberita.com

law-justice.co - Akan melihat kasusnya terlebih dulu, begitu yang dikatakan Jaksa Agung M Prasetyo ketika disinggung, apakah tak akan melakukan deponering terhadap kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang saat ini tengah berurusan dengan Bareskrim Polri. "Setelah melihat kasus dan berkasnya seperti apa, nanti jaksa bisa bercerita lebih banyak," ucapnya, Rabu (8/11) malam.

Setiap orang, lanjutnya lagi,  memiliki hak melaporkan dan dilaporkan serta harus taat pada proses hukum. Menyoal pelapor adalah pihak-pihak yang beperkara, Prasetyo mengatakan belum memiliki kapasitas menilai itu. 

Kejagung mengaku telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang dan Agus Rahardjo. Atas penanganan ini, Prasetyo mengklaim akan bersikap objektif.

"Jaksa akan obyektif, profesional dan proporsional," kata Politikus Nasdem ini.

SPDP dua pimpinan KPK ini resmi dilayangkan dari Bareskrim Polri dan petanda telah dimulainya penyidikan atas kasus yang dilaporkan Sandy Kurniawan terhadap Saut dan Agus. Prasetyo mengklaim apa yang telah disampaikan itu apa adanya. Dan pihak Kejaksaan sudah menerima SPDP itu. 

"Hanya tentunya baru sebatas surat pemberitahuan dimulainya penyidikan," ujarnya.

Tunjuk Dua Jaksa Peneliti

Dalam menangani kasus ini, pihak Kejagung pun telah mengerahkan dua jaksa peneliti, yang selanjutnya disampaikan ke pihak kepolisian. "Kita menunjuk jaksa yang menangani kasus itu supaya nanti kalau mau berkoordinasi, ya penyidik Polri bisa langsung menghubungi ke jaksa peneliti, begitu prosesnya," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M. Rum di Jakarta.

Polri telah menerbitkan surat perintah penyidikan Nomor: SP. Sidik/1728/XI/2017/Dit Tipidum tanggal 7 November 2017. Kedua pimpinan KPK dilaporkan melanggar Pasal 263 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 421 KUHP terkait tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat dan menggunakan surat palsu atau penyalahgunaan wewenang.

Fredrich Yunadi selaku kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto mengaku bahwa penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri telah mengeluarkan SPDP dengan terlapor Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sejak Selasa (7/11).

Kedua petinggi KPK tersebut dituduh telah melakukan tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat dan menggunakan surat palsu dan atau penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP dan atau Pasal 421 KUHP.

KPK Percaya Bareskrim

KPK percaya Bareskrim Polri akan bersikap profesional terkait adanya laporan terhadap dua pimpinan KPK atas dugaan memalsukan surat. "Ini kan bukan terjadi kali ini saja, jadi kami pastikan KPK akan menghadapi hal tersebut dan kami percaya polisi akan profesional dalam menanganinya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta.

Dia pun mengingatkan ketentuan dalam Pasal 25 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur proses penyidikan, penuntutan dan persidangan kasus tindak pidana korupsi itu didahulukan dibanding dengan perkara yang lain.

"Kalau itu terkait dengan pelaksanaan tugas di KPK, misalnya dalam kasus penanganan perkara, tentu kami perlu ingat pasal 25 Undang-Undang Tipikor. Jadi, saya kira baik KPK, Polri atau pun Kejaksaan memahami ketentuan di Pasal 25 Undang-undang Tipikor tersebut," katanya.

Dia menyebut, surat pemintaan perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto yang dikirim ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, sah secara hukum. 

Hal tersebut sebagai respons pelaporan seorang warga bernama Sandy Kurniawan ke Bareskrim Polri terhadap dua pimpinan KPK atas dugaan memalsukan surat permintaan pencegahan ke luar negeri itu.

"Aturan pertama, yaitu Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK Pasal 12 ayat 1 huruf b memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri," katanya.

Undang-Undang Imigrasi Nomor 6 Tahun 2011, katanya, diatur dalam Bab IX Pencegahan dan Penangkalan Pasal 91 sampai dengan Pasal 103. "Pasal 91 ayat (2) Menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan perintah Ketua KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," tegas dia.

Pelaksanaan pencegahan dan penangkalan Undang-undang Imigrasi Nomor 6 Tahun 2011, lanjut dia diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Pasal 226 ayat (2) Menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan perintah Ketua KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

"Aturan selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi: PUT Nomor 64/PUU-IX/2011-Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia," Febri melanjutkan.

Putusan MK itu, menurut Febri, tidak mengurangi kewenangan KPK yang diatur di Pasal 12 ayat (1) huruf b UU 30 Tahun 2001 tentang KPK untuk memerintahkan instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri dalam tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. "Pasal 12 ayat (1) huruf b tidak mengatur apakah seseorang itu harus tersangka, terdakwa atau tidak. Ini merupakan ketentuan yang bersifat khusus," tuturnya.

Inti dari putusan tentang jangka waktu pencegahan itu tertuang di Pasal 97, yakni pencekalan lebih dari setahun batal demi hukum. "MK membatalkan ketentuan boleh memperpanjang cekal tanpa batas dan MK putuskan bahwa cekal hanya enam bulan dan hanya boleh diperpanjang sekali lagi maksimal enam bulan. Dengan demikian cekal hanya maksimum 12 bulan saja. Lebih dari 12 bulan dinyatakan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945," katanya.

Menurut dia, pada putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan oleh Setya Novanto juga sudah menegaskan bahwa Hakim Tunggal Cepi Iskandar tidak mengabulkan petitum keempat yaitu permintaan pemohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto yang dilakukan KPK. Febri menegaskan, penetapan tersebut merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan.

Oleh karena itu dapat disimpulkan,  pelaksanaan pencegahan seseorang ke luar negeri adalah tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang apalagi pemalsuan surat. 

"Tindakan ini bahkan penting untuk memperlancar penanganan kasus korupsi, terutama untuk memastikan saat saksi atau tersangka dipanggil maka mereka sedang tidak berada di luar negeri," kata Febri.

Dalam penanganan kasus korupsi proyek KTP-el, KPK sudah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap sembilan orang dengan ragam waktu sesuai kebutuhan penanganan perkara itu. 

Sembilan orang itu, yakni Vidi Gunawan adik dari Andi Narogong, Dedi Prijono kakak dari Andi Nargong, Made Oka Masagung pengusaha sekaligus mantan bos PT Gunung Agung, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo keponakan Setya Novanto yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera.

Selanjutnya, Esther Riawaty Hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga, Setya Novanto, Inayah istri dari Andi Narogong, Raden Gede adik dari Inayah, dan Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.

"Dari sejumlah pihak yang dicegah, ada yang dicegah ke luar negeri dalam status sebagai tersangka dan sebagian besar sebagai saksi. Pencegahan seseorang ke luar negeri tersebut tentu memiliki dasar hukum yang kuat," kata Febri.

  

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar