KPK: Jangan Bawa-bawa Presiden Saat Terjerat Kasus

Kamis, 09/11/2017 15:47 WIB
Foto: teropongsenayan

Foto: teropongsenayan

law-justice.co - Air muka Fredrich Yunadi terlihat menegang saat membeberkan kebocoran Sprindik KPK tertanggal 31 Oktober kemarin yang menyatakan kliennya, Setya Novanto resmi sebagai tersangka. 

Dalam surat itu, untuk kedua kalinya Setya Novanto dinyatakan penyidik komisi anti suap sebagai tersangka kasus mega korupsi KTP-el. 

Fredrich ngotot, pemanggilan Setnov untuk jadi saksi atas tersangka kasus korupsi KTP-el, Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudihardjo butuh ijin presiden. Dirinya menegaskan, aturan itu mengacu Perundangan No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD). 

"Majelis hakim sudah memutuskan perkaranya, sudah mempertimbangkan bagaimana putusan pasal 245 ayat 3, yang bunyinya, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu tidak berlaku," terang Fredrich di kantornya, Gandaria, Jaksel, Selasa (7/11/2017) kemarin.

Aksi pembelaan itu dilancarkan Fredrich untuk membalas panggilan KPK terhadap Setya Novanto yang sejatinya berlangsung pada Senin (6/11/2017) kemarin. 

Menanggapi perlawanan kubu Setnov, komisi anti suap menyarankan agar pengacara ketua DPR itu tak membawa-bawa presiden saat terjerat kasus.  

"Sekedar mengulangi, pelaksanaan tugas yang kita lakukan sebaiknya dilakukan di koridor hukum, dan presiden punya tugas yang jauh lebih besar. Jangan sampai ketika itu tidak diatur, presiden juga ditarik-tarik pada persoalan ini," terang Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (9/11/2017).

Febri melanjutkan, kubu Setnov sebaiknya tak membuat aksi antisipasi dengan mempersulit penanganan kasus dugaan korupsi. 

Upaya itu terindikasi dengan adanya surat dari Plt Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Damayanti, yang menyebutkan alasan ketidakhadiran Ketua Umum Partai Golkar itu. 

Meski begitu, KPK belum bisa memastikan ihwal surat absen untuk pemeriksaan Setnov yang dilayangkan Setjen DPR, berasal dari mandat Novanto. Rupanya, imbuh Febri, surat itu hanya ditandatangani Plt Sekjen dan Badan Keahlian DPR.

Terdapat lima poin penolakan Novanto untuk mangkir dari pemeriksaan KPK lewat surat itu, yakni berupa ketentuan di Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".

Lalu, terdapat amar putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015, poin 1 dan 2 atau 2.1., 2.2 dan 2.3.

Terdapat pula dalam surat itu, mengacu pada putusan MK tersebut, maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden terlebih dahulu.

Tanpa mengurangi ketentuan hukum yang ada, pihak DPR menyatakan pemanggilan Novanto baru dapat memenuhi syarat asalkan dengan persetujuan tertulis presiden.

Febri menambahkan, berbekal alasan tersebut, DPR menyatakan pemanggilan terhadap Novanto sebagai saksi tidak dapat dipenuhi.

Menanggapi aksi penolakan panggilan itu, Petrus Selestinus dari TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indonesia) meyakini, upaya menghalang-halangi  Setya Novanto untuk diperiksa KPK, dengan melibatkan presiden termasuk langkah berbahaya.

"Ini jelas bentuk penyalahgunaan lembaga DPR, karena Surat Panggilan KPK tidak ditujukan kepada Institusi tetapi kepada Setya Novanto.

Karenanya bukan wewenang Sekretaris Jenderal DPR untuk melakukan penolakan atau keberatan," ujar Petrus pada law-justiceco, melalui pesan singkatnya hari ini. Petrus menegaskan, sebagai aktor  penyelenggara negara, Setnov harus tunduk aturan main korupsi. 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar