Membuka Celah Kejahatan Melalui Data Penduduk

Rabu, 08/11/2017 21:45 WIB
Foto: beritakotamakassar.fajar.co.id

Foto: beritakotamakassar.fajar.co.id

law-justice.co - Hampir seluruh pengguna telepon selular pasti mendapat pesan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Isinya, mengingatkan soal registrasi daftar ulang kartu SIM. Dengan format yang sudah diatur masing-masing operator, menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK)

Pesan tersebut tak hanya satu kali disampaikan. Pertama kali, pada 19 Oktober 2017. Satu hari setelah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) No. 21 Tahun 2017 tentang perubahan kedua Permen Kominfo No. 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, ditetapkan pada 18 Oktober 2017.

Pemerintah begitu masif dalam melakukan sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat. Namun di satu sisi, publik tak semuanya percaya dengan pesan tersebut, meski, tercantum nama pengirim pesannya 'Kominfo'. Tapi, lambat laun, publik percaya ini program pemerintah. Hanya, kebijakan ini tak berjalan mulus.

Mulai muncul berbagai pro kontra dengan regulasi tersebut. Ada keraguan saat diminta mencantumkan NIK dan nomor KK. Sebab, keduanya termasuk data pribadi yang seharusnya dirahasiakan. Sayangnya, pemerintah malah 'menggadai' NIK dan nomor KK kepada pihak korporasi, atau operator penyedia jasa layanan telekomunikasi.

Bayangkan saja, kerap kali masuk pesan dari nomor tak dikenal yang menawarkan pinjaman, kredit, bahkan jual-beli barang/jasa. Belum lagi pesan yang berbau unsur penipuan, mulai dari 'transfer' pulsa, sampai pengiriman uang ke nomor rekening tertentu. Jelas, ini modus penipuan. Dari mana oknum-oknum ini tahu nomor kita?

Masalah ini belum tuntas terjawab, kini pemerintah mewajibkan pengguna telepon selular mendaftar ulang nomornya berbasis NIK dan nomor KK. Apakah ini sudah melalui proses kajian mendalam? Bagaimana aspek keamanannya? Modus apa lagi yang akan dilakukan oknum-oknum tersebut? Rawan penyalahgunaan tentunya.

Meski sudah ada MoU atau Nota Kesepahaman antara pemerintah dan para operator penyedia jasa layanan telekomunikasi, namun siapa bisa menjamin data penduduk yang telah mendaftarkan ini aman. Pun biar pihak korporasi menjaga data ini, namun bagaimana perhitungan pemerintah terhadap oknum peretas atau 'hacker'?

Iseng Melakukan Penipuan

Coba buka lewat mesin pencari 'google' dengan kata kunci 'scan KK'. Maka langsung tersaji data-data warga negara yang melakukan pemindaian data KK, lalu mengunggahnya di jejaring sosial media atau internet untuk kepentingan tertentu. Pada KK tersebut ada nomornya, dan terdapat pula NIK dari para anggota keluarga.

Mudah saja bila ingin melakukan modus penipuan. Hanya bermodal spekulasi, maka seseorang bisa memanfaatkan data milik orang lain di internet untuk melakukan registrasi ulang di nomor telepon selular mereka. Persoalannya, ini soal iseng. Bagaimana para oknum serta pelaku kriminal di luar sana?

Saat mereka melakukan aksi kejahatan di dunia maya, dan tim cyber  pemerintah serta aparat penegak hukum pasti  berhasil melacak nomor telepon selular mereka, hasilnya sudah bisa ditebak. Mereka akan salah sasaran. Karena saat melakukan registrasi ulang, para oknum ini menggunakan data milik orang lain. Itu yang bahaya.

Apa kata Pemerintah?

Pemerintah menjamin kerahasiaan data kependudukan warga. Menteri Dalam Negeri  Tjahjo Kumolo mengatakan, sudah menjadi tugas negara menjamin kerahasiaan data kependudukan warganya. Dalam kerjasama dengan pihak operator,  pemerintah tak memberikan data kependudukan, hanya memberikan akses validasi data.

"Kerjasama hanya sebatas diberi akses ketika mereka butuh, misalnya untuk memvalidasi data konsumennya agar terhindar dari pemalsuan. Jadi, tak benar, jika kemudian dikatakan dengan kerjasama itu, pihak lain bisa memiliki data kependudukan secara keseluruhan," kata Mendagri Tjahjo di Jakarta belum lama ini.

Pihak lain atau korporasi tidak diberikan hak untuk memindahkan data penduduk. Dan hal itu sejalan dengan amanat Pasal 79 ayat (1) sampai dengan (4) UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

"Tugas pemerintah adalah menjamin data kependudukan warganya. Termasuk menjamin kerahasiaannya. Dan tak mungkin juga pemerintah menjual data warganya. Terlalu berlebihan. Kebijakan registrasi ulang justru untuk melindungi warga negara dari praktik kejahatan, khususnya 'cybercrime'," ujar Tjahjo.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menegaskan, pendaftaran kartu prabayar ditujukan untuk menurunkan serendah mungkin penipuan dan penawaran negatif melalui jaringan seluler. Kemudian akan membantu penegak hukum dalam menelusuri tindak kejahatan melalui pesan singkat yang kerap terjadi.

"Hal tersebut  dilakukan untuk menghindari mama minta pulsa, dedek minta pulsa. Nah, dengan registrasi kartu prabayar, penipuan, tawaran-tawaran tidak baik yang sifatnya negatif itu bisa diturunkan serendah mungkin," ujarnya. 

Bila Data Anda Digunakan Orang Lain?

Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika, Kementerian Kominfo, Ahmad M Ramli menyampaikan bahwa pemerintah bersama operator sepakat untuk menyediakan layanan fitur 'Cek Nomor' dalam sistem registrasi kartu prabayar.

Paling lambat 20 November 2017 semua operator akan menyediakan fitur 'Cek Nomor'. Jika masyarakat ingin tahu NIK-nya digunakan untuk berapa nomor, maka bisa mengirim via sms dengan format tertentu. Dengan begitu segera diketahui nomor yang didaftarkan dengan NIK dan nomor KK mereka. Nomor tak dikenal bisa diantisipasi.

"Nomor yang tidak dikenal terdaftar dengan data NIK dan KK miliknya, masyarakat dapat langsung datang ke gerai untuk melakukan UNREG. Ini tidak dilakukan secara mandiri, karena salah-salah orang yang palsu itu yang UNREG kita. Posisi UNREG yang paling aman adalah di operator," tambah dia.

Terkait munculnya isu adanya nomor NIK dan KK yang beredar di internet, bisa digunakan untuk mendaftar, ia secara tegas meminta untuk menghentikan hal itu. Dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang Adminduk, diatur soal sanksi pidana kepada mereka yang dianggap melakukan penyalahgunaan data orang lain.

Meski muncul berbagai isu pro dan kontra atas regulasi ini, namun per Selasa (7/11/2017) kemarin tercatat sudah ada 46.559.400 pelanggan yang telah mendaftarkan kartu prabayarnya. Ramli kembali menegaskan, registrasi ulang ini semata untuk keamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

"Jangan percaya pada hoax. Pemerintah hanya ingin satu hal, memberikan keamanan dan kepastian hukum untuk kita semua," tegasnya.

Bantah Kepentingan Politik

Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arief Fakhrulloh membantah kalau program pemerintah dalam registrasi ulang ini untuk kepentingan politik pemerintah Joko Widodo dalam Pemilu 2019 mendatang.

Bila ingin maju dalam pemilihan presiden (Pilpres) calon lebih memerlukan dukungan dari koalisi partai politik, bukan data kependudukan. Menurut dia, isu ini jelas tak masuk akal, karena Presiden, tak perlu repot-repot memintanya kepada operator penyedia jasa layanan telekomunikasi.

"Minta saja langsung ke saya, Dirjen Dukcapil Kemendagri," tuturnya.

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar