Menyoroti Skandal Aset WNI di Luar Negeri

Selasa, 07/11/2017 14:06 WIB
Ilustrasi mata uang dolar. (Foto: Antara)

Ilustrasi mata uang dolar. (Foto: Antara)

Jakarta, law-justice.co - DOKUMEN keuangan yang mengungkap data keuangan orang-orang kaya di seluruh dunia yang menanamkan investasi di luar negeri untuk mendapat pajak rendah akhirnya terungkap oleh laporan International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang merilis Paradise Papers pada Minggu (5/11/2017). 

Dokumen yang berisi 13,4 juta data dokumen keuangan skala besar yang disimpan pada 1950 hingga 2016 ini bisa dikatakan salah satu yang terbesar dalam sejarah karena melibatkan aset luar negeri dari politisi dan perusahaan terkemuka, serta beberapa individu dan selebriti terkaya di dunia.

Nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto serta dua anak Presiden ke-2 RI Soeharto yakni Tommy Soeharto dan Mamiek Soeharto disebut-sebut menjadi tiga orang Indonesia yang tercantum dalam dokumen Paradise Papers.

Prabowo Subianto disebutkan pernah menjadi direktur dan wakil pimpinan Nusantara Energy Resources yang berkantor di Bermuda. Perusahaan yang terdaftar pada 2001 ini tercatat sebagai ‘penunggak utang’, dan ditutup pada 2004. Perusahaan di Singapura yang namanya juga Nusantara Energy Resources kini adalah bagian dari Nusantara Group, dan sebagian dimiliki oleh Prabowo.

Tommy, yang merupakan pimpinan Humpuss Group, pernah menjadi direktur dan bos dewan Asia Market Investment, perusahaan yang terdaftar di Bermuda pada 1997 dan ditutup pada tahun 2000.

ICIJ juga mencatat alamat yang sama untuk Asia Market dan V Power, perusahaan yang terdaftar di Bahama dan dimiliki Tommy Suharto dan memiliki saham di perusahaan mobil mewah Italia Lamborghini, menurut catatan Securities and Exchange Commision.

Data dari Appleyby, firma hukum di Bermuda yang mengeluarkan data, juga mencakup informasi tentang perusahaan patungan di Bermuda antara cabang Humpuss dan NLD, perusahaan iklan Australia.

Menurut laporan setempat pada 1997, perusahaan patungan itu membuat Tommy Suharto dan mitranya dari Australia mendirikan bisnis papan reklame pinggir jalan di Negara Bagian Victoria, Australia, Filipina, Malaysia, Myanmar dan Cina. Perusahaan itu ditutup di Bermuda pada 2003 dan dicatat di Appleby sebagai ‘pengemplang pajak.’

Sementara Mamiek disebutkan adalah wakil presiden Golden Spike Pasiriaman Ltd dan pemilik dan pimpinan Golden Spike South Sumatra Ltd, bersama Maher Algadri, eksekutif Kodel Group, salah satu konglomerat terbesar Indonesia zaman Suharto, menurut Forbes. ‎Dua perusahaan ini tercatat di Bermuda pada 1990 dan sekarang sudah ditutup.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Gerindra yang juga keponakan Prabowo, Aryo Djojohadikusumo mengaku baru mendengar nama Paradise Papers karena belum melihat dokumen tersebut. Namun, dia menegaskan bahwa tidak tepat menyebut Prabowo sebagai pemilik perusahaan penunggak utang sebelum dokumen Paradise Papers diteliti lebih lanjut.

“Pak Prabowo sudah melaporkan pajaknya dengan baik dan tepat dan ini sudah terverifikasi dengan baik oleh pihak-pihak otoritas pajak dan auditor di Indonesia dan dinyatakan taat pajak sewaktu beliau maju sebagai calon wakil presiden bersama ibu Megawati tahun 2009 dan saat maju sebagai calon presiden tahun 2014,” kata Aryo Djojohadikusumo, saat dikonfirmasi Law-Justice.co, Senin (6/11/2017) malam.

Menurut anggota komisi VII DPR ini, ‎Paradise Papers merupakan laporan yang dirangkum dari data mentah yang belum terverifikasi oleh pihak yang berwenang dan para pihak terkait.

“Oleh karena itu tidak elok dan tidak etis untuk langsung menyebut pak Prabowo sebagai pihak yang dituding melakukan sesuatu yang tidak sesuai hukum,” jelasnya.

Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengklaim, Nusantara Energy Resources tidak pernah melakukan aktivitas apapun sejak didirikan. Di‎jelaskannya, munculnya nama Nusantara Energy Resources ditengarai karena perusahaan tersebut terdaftar dalam bursa saham di negara tempat perusahaan itu dibentuk sekitar periode 1999 hingga 2001.

“Setahu saya sejak didirikan tak pernah ada aktivitas apapun. Saya kira kalau ada nama seperti itu mungkin ada listing saja,” kata Fadli Zon di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11/2017).

Menurutnya, sampai saat ini belum melihat secara rinci laporan ICIJ. Fadli hanya meyakini, Prabowo itu tidak ada sangkut pautnya dengan NER.

“Pak Prabowo ada namanya atau tidak saya juga tidak tahu. Tapi tidak pernah ada aktivitas apapun terkait bisnis usaha,” ungkapnya.

Lebih lanjut Wakil Ketua DPR ini mengatakan, sampai saat ini belum mendapat klarifikasi langsung dari Prabowo terkait hal tersebut.‎ Pasalnya, Prabowo saat ini tengah berada di luar negeri hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Fadli juga enggan memastikan apakah Prabowo akan memberi keterangan resmi kepada publik terkait laporan tersebut.

“Beliau sedang di luar negeri, nanti kita tanyakan. Yang saya tahu apa yang dicantumkan di situ Prabowo tak terlibat,” tegasnya.

Terpisah, pakar hukum pidana pencucian uang Universitas Trisakti Jakarta Yenti Garnasih meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan investigasi terhadap adanya beberapa nama Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai perusahaan di luar negeri.

“Kejadian ini sama ketika ada bocoran terhadap Panama Papers. Tentu seharusnya dilakukan investigasi atas nama-nama orang Indonesia tersebut,” kata Yenti Garnasih kepada Law-Justice.co.

Menurutnya, investigasi ini diperlukan untuk mengetahui pengelakan pajak atau bahkan untuk mengetahui uang tersebut asal usulnya dari yang legal atau ilegal. ‎

“Apakah memang maksudnya untuk pengelakan  pajak atau bahkan uang tersebut asal usulnya tidak jelas,” ujarnya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar