Dag-Dig-Dug Politisi Senayan

Selasa, 07/11/2017 13:12 WIB
Agun Gunandjar Sudarsa. (Foto: Antara)

Agun Gunandjar Sudarsa. (Foto: Antara)

Jakarta, law-justice.co - RAUT muka Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar, Selasa (7/11/2017), terlihat datar saat duduk di kursi lobi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta. Ia seolah berkejaran dengan waktu, apakah dirinya juga akan berubah status dalam pusaran kasus KTP elektronik (KTP-el).

Politisi Partai Golkar hari ini, Selasa (7/11/2017), datang untuk menjalani agenda pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus korupsi KTP-el. Agun termasuk salah salah satu politisi di DPR yang namanya ikut disebut menerima fee dari proyek pengadaan  KTP-el. Ia diduga kecipratan uang US1 juta dolar. Dia menerima uang itu saat masih berstatus sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.

“Saya akan jalani pemeriksaan hari ini,” kata Agun, Selasa pagi, sebelum memasuki lobi gedung KPK pada wartawan.

Pemberian uang suap itu bertujuan untuk memuluskan proyek KTP-el yang notabene saat itu berada di ‘kapling’ Banggar DPR dan Komisi II DPR.

Dalam rangkaian penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi KTP-el yang dilakukan komisi antirasuah, aliran suap mengarah ke sejumlah politisi.

Proyek pengadaan KTP-el tahun 2011-2013 senilai Rp5,9 triliun. Dalam perjalanannya, komisi antisuap sudah menetapkan enam tersangka, termasuk Setnov.

Penetapan tersangka KTP-el sudah dimulai sejak tiga tahun lalu. Awalnya, KPK pertama kali menyeret nama Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sugiharto sebagai tersangka. Selanjutnya, mantan  Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman juga ikut terseret. Irman resmi berstatus sebagai tersangka kedua kasus KTP-el pada Jumat (30/9/2016) dan ditahan sejak Rabu (21/12/16).

Sugiharto dan Irman pun telah dijatuhi vonis masing-masing 5 tahun dan 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Irman diwajibkan membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara, Sugiharto diwajibkan membayar denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, KPK mengajukan banding atas vonis kedua terdakwa kasus KTP-el tersebut.  

Dampak dari kasus itu, sejumlah politisi DPR dan perusahaan yang ikut terlibat dalam proyek tersebut kompak mengembalikan uang suap proyek KTP-el. Setidaknya, terhitung sejak 10 Februari 2017 lalu, KPK menerima pengembalian uang senilai Rp250 miliar dari berbagai pihak, yakni 5 korporasi, 1 konsorsium, dan 14 perorangan. Sebut saja nama mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri Diah Anggraeni yang mengaku ikut mengembalikan uang.

Dalam persidangan Irman dan Sugiharto, muncul nama pebisnis Andi Agustinus alias Andi Narogong yang mendominasi dakwaan jaksa sebagai pengendali bagi-bagi duit dalam kasus KTP-el yang merugikan keuangan negara hingga Rp2,3 triliun. 

Usai sidang-sidang tersebut, KPK seolah tancap gas mengusut kasus korupsi KTP-el. Andi pun akhirnya menjadi tersangka pada Kamis (23/3/2017).

Dalam pengakuan selama pemeriksaan hingga persidangan, Andi menyebut nama Ketua DPR Setnov yang juga muncul dalam dakwaan.

“AA diduga memiliki peran aktif dalam proses penganggaran dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam proyek KTP elektronik. Peranannya, yaitu dalam proses penganggaran yang bersangkutan melakukan pertemuan dengan para terdakwa (Irman dan Sugiharto) dan sejumlah anggota DPR RI dan pejabat Kementerian Dalam Negeri terkait proses penganggaran proyek e-KTP,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Aliran duit transfer ke politisi Senayan makin terang saat bekas politisi Komisi II DPR Miryam S Haryani yang kini menjabat di Komisi V dikorek keterangannya. Ia membeberkan sejumlah nama rekannya yang menerima aliran duit haram tersebut.

Dalam suatu persidangan, sambil menangis Miryam mencabut BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang salah satunya berisi daftar nama empat orang pimpinan Komisi II DPR saat proyek KTP-el berlangsung, yakni Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Teguh Juwarno, dan Taufik Effendi yang masing-masing menerima duit US25  ribu dolar. Anehnya, Miryam mengaku menerima tekanan dari penyidik.

Lantaran dianggap memberikan keterangan palsu, KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka pemberi keterangan tidak benar di persidangan per Rabu (5/4/2017).

Miryam kemudian kembali ‘bernyanyi’ ihwal adanya tekanan dari sesama koleganya di Senayan. Akibat testimoninya itu, ramai-ramai politisi Senayan membawa masalah kasus korupsi tersebut pada rapat dengar pendapat (RDP) antara KPK dengan Komisi III di DPR. Komisi III yang merasa namanya disebut di persidangan sebagai penekan, merasa tidak terima. Komisi Hukum DPR itu malah bersikap  memaksa KPK untuk membuka rekaman penyidikan atas Miryam. KPK menolak untuk membeberkan materi penyidikan itu. Ujungnya, Hak Angket atas komisi antirasuah itu ramai-ramai digulirkan politisi Senayan.

Setelah membuat publik berspekulasi soal penekan Miryam, anggota Komisi II DPR Markus Nari ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (2/6/2017). Ia disangka melakukan perintangan penyidikan dalam dua proses penanganan perkara, yakni terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi KTP-el, Irman dan Sugiharto, serta merintangi penyidikan perkara Miryam.

Meski begitu, baik Miryam dan Markus, kala itu bukan obyek utama dari pusat kasus  KTP-el. KPK mulai menunjukkan sinyal penetapan tersangka dari klaster penganggaran yakni DPR, dan mulai memanggil kembali 20 nama saksi anggota DPR aktif dan nonaktif. Salah satunya Setnov.

Dari serangkaian pemeriksaan itu, akhirnya secara resmi Ketua KPK Agus Rahardjo menetapkan Setnov sebagai tersangka, meski akhirnya bekas staf Menteri Penerangan Harmoko era Orde Baru (Orba) itu memenangkan gugatan pra peradilan.

Namun, berdasarkan bocoran surat perintah penyidikan (Sprindik) KPK tertanggal 31 Oktober kemarin dan ditandatangani Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Aris Budiman, Setnov resmi jadi tersangka dalam kasus yang sama untuk kedua kalinya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar