Kisah Aksi Mafia dalam Pelarian Eks Bos Lippo, Eddy Sindoro

Jum'at, 15/02/2019 22:01 WIB
Eks Petinggi Lippo Grup, Eddy Sindoro Seusai Diperiksa KPK (Ist)

Eks Petinggi Lippo Grup, Eddy Sindoro Seusai Diperiksa KPK (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Bagaimana rasanya bagi seorang bos besar menjadi pesakitan hukum dan masuk bui. Mungkin bagi seorang napi kriminal ya biasa saja. Tetapi bagi seorang eks petinggi Lippo grup, Eddy Sindoro, bui sepertinya begitu mencekam. Eddy sampai harus buron hampir dua tahun di luar negeri untuk menghindari bui dan kejaran aparat penegak hukum. Namun Eddy harus mengakhiri pelariannya karena permintaan keluarga yang dikasihinya.

Eddy Sindoro menyerahkan diri ke Kedubes RI di Singapura pada Jumat (12/10/18). Saat itu Eddy didampingi anaknya, Michael Sindoro dan langsung diterbangkan ke Jakarta hari itu juga oleh petugas KPK yang menjemputnya. Michael merupakan anak pertama dari pasangan Eddy Sindoro dan Deborah Mailool. Sebagai Direktur PT Bez Retailindo (Group Paramount), dialah yang mengendalikan bisnis keluarga ayahnya selama menjadi buronan.

Eddy Sindoro, Mantan Presiden Komisaris dan Komisaris Lippo Karawaci dan Lippo Cikarang itu dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus suap sebesar Rp 150 juta dan 50.000 dollar Amerika Serikat (AS) kepada panitera pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Penetapan Eddy Sindoro merupakan pengembangan penyidikan dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK sebelumnya terhadap Doddy Aryanto Supeno dan Edy Nasution. Doddy adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan anak perusahaan Lippo Group dengan Presiden Komisaris Eddy Sindoro.

Dalam perkembanganya, yaitu dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu (29/7), tersangka Doddy diketahui memberikan uang suap tersebut bersama sejumlah petinggi Grup Lippo lainnya yakni Eddy Sindoro, Hery Sugiarto, Ervan Adi Nugroho, dan Wresti Kristian Hesti. Perkara yang berlangsung di PN Jakarta Pusat itu melibatkan dua anak perusahaan Grup Lippo, yaitu PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kwang Yang Motor Co, Ltd (Kymco) serta PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media.

Dari berkas dakwaan Eddy Sindoro yang diakses law-justice.co, Jaksa KPK mensinyalir uang yang diberikan Eddy Sindoro, agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP). Aanmaning ini menyangkut pada perkara niaga antara PT MTP melawan PT Kwang Yang Motor Co.Ltd (PT KYMCO), dimana berdasarkan putusan Singapore International Abitration Centre tertanggal 1 Juli 2013, PT MTP dinyatakan wanprestasi. Menurut jaksa, PT MTP juga diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar 11.100.000 dollar AS.

PT KYMCO pada tanggal 24 Desember 2013 mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia. "Mengetahui adanya panggilan aanmaning tersebut, terdakwa (Eddy) memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susetyowati mengupayakan penundaan aanmaning," kata jaksa ketika membacakan surat dakwaan, Kamis (27/12/2018). Selain itu pemberian uang suap juga dimaksudkan sebagai pelicin agar Edy menerima pendaftaran peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (PT AAL), meskipun sudah melewati batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang.

Awal Pelarian Eddy

Saat mengetahui bapaknya menjadi tersangka oleh KPK pada 21 November 2016, Michael segera mengalihkan layar telepon genggamnya dan menelepon Deborah Mailool, ibu kandungnya. Sebab, Michael ingat betul ketika itu Eddy Sindoro, ayahnya sedang berada di Bangkok, Thailand.

Sejurus kemudian ia bicara “Mama...sudah liat berita belum tentang papa ?. Papa sudah tersangka ya?” tanya Michael. “Ya....berdoa saja,” jawab Deborah. Michael kemudian menelepon Eddy Sindoro. Tak butuh lama komunikasi antara keduanya terjadi. “Apa kabar Pa, Papa sehat?. Papa sudah dengar belum...kalau Papa ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ?” Tanya Michael. “Papa sehat...oke-oke saja. Papa sudah baca berita dan Papa sudah tau kalau KPK sudah menetapkan Papa sebagai tersangka. Berdoa saja,” jawab Eddy.

Sejak tanggal 21 November 2016 hingga 11 Oktober 2018, Eddy Sindoro tidak pernah lagi kembali pulang ke rumahnya, baik di Taman Golf, Lippo Karawaci maupun di Kemang IV, Bangka, Mampang Perapatan. Sejak itu pula baik Michael maupun Deborah tau ayahnya dan suaminya itu kerap berpindah-pindah negara. Sepengetahuan Deborah dan Michael, sejak 21 November 2016 sampai 11 Oktober 2018 Eddy berada antara lain di Singapura, Macau, Thailand, Hongkong, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Jepang dan Vietnam.

Eddy Menghilang, KPK-Imigrasi Beda Keterangan

Menelisik jauh sebelum komisioner KPK menandatangi surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) dengan nomor Sprin.Dik-84/01/11/2016, tim penyidik telah lebih dahulu melayangkan surat permintaan larangan bepergian keluar negeri untuk Eddy Sindoro bersama dua orang lain yakni Suhendra Atmadja dan Harlijanto Salim. Surat permintaan tersebut dilayangkan pada 29 April 2016.

Ketika itu belum banyak yang tau kalau Eddy sedang tidak berada di Indonesia. Gelagat ketidakberesan dalam proses hukum baru terasa saat Eddy tidak menunjukan batang hidungnya saat dijadwalkan diperiksa KPK baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi. Eddy tidak hadir pada pemeriksaan 20 Mei 2016, 24 Mei 2016 dan 1 November 2016.

Sementara ada dua surat pemeriksaan sebagai tersangka yang dilayangkan KPK untuk Eddy. Pertama, surat panggilan dengan nomor Spgl-4940/23/11/2016 yang dikeluarkan pada 24 November 2016 untuk diperiksa pada 20 November 2016. Kedua, surat panggilan dengan nomor Spgl-1719/23/03/2017 yang dikeluarkan pada 6 maret 2017 untuk diperiksa pada 10 maret 2017.

Ketika tiga kali mangkir itulah baru ditemui fakta kalau Eddy sudah berada diluar negeri."Eddy Sindoro memang sudah tiga kali dipanggil dan tidak ada keterangan. Penyidik akan melakukan upaya-upaya lain untuk bisa menghadirkan dia sebagai saksi. Memang keberadaannya saat ini masih di luar negeri," ujar Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati, ketika itu, Selasa (9/8/2016).

Ketika itu muncul perbedaan pernyataan dari KPK dengan Ditjen Imigrasi. Jika KPK menkonfirmasi keberadaan Eddy di luar negeri, beda hal dengan pihak Imigrasi. Imigrasi telah beberapa kali memastikan bahwa Eddy Sindoro masih berada di Indonesia.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Ditjen Imigrasi Heru Santoso ketika itu beberapa kali memastikan keberadaan Eddy di Indonesia. Ia mengatakan, Eddy memang sempat berada di Singapura. Namun, keberadaan Eddy di Singapura tersebut sebelum KPK meminta agar salah satu mantan petinggi di Lippo Group itu dicegah ke luar negeri.

Saat kembali dikonfirmasi terkait keberadaan Eddy, Heru memastikan bahwa dalam data pelintasan imigrasi, Eddy masih berada di Indonesia. "Jika melalui jalur resmi tidak mungkin bisa, pasti ditolak jika atas nama Eddy Sindoro. Secara hukum, dia masih dalam daftar pencegahan, kami tidak tahu jika melalui jalur ilegal," kata Heru, saat dihubungi, Selasa (9/8).

KPK ketika itu tidak mau ambil pusing. Ketua KPK Agus Rahardjo saat itu sesumbar jika dapat memanggil paksa Eddy Sindoro untuk kembali ke Indonesia. Keberhasilan membawa mantan Bendahara Umum Partai Dermokrat, M Nazaruddin dari pelariannya dijadikan Agus sebagai contoh.

"Ya bisa (dipanggil paksa). Yang di Kolombia (tersangka korupsi) saja bisa didatangkan," kata Agus usai menghadiri acara seminar nasional tentang penguatan peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dalam pemberantasan korupsi di Kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jalan Veteran Nomor 10, Jakarta Pusat, Rabu (10/8). Meskipun faktanya untuk kasus Eddy Sindoro butuh dua tahun bagi Agus Rahardjo untuk menghadirkan Eddy ke ruang pemeriksaan KPK.

Paspor Palsu Eddy

Berdasarkan dokumen yang dimiliki Lawjustice.co, mantan Presiden Direktur Bank Lippo mengaku bahwa memang sejak April 2016 dirinya memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia. “April 2016 saya ke Singapura untuk pengobatan,” ujar Eddy Sindoro sebagaimana dalam dokumen yang dimiliki Law-justice.co.

"Saya di luar negeri melakukan pengobatan, sakitnya dalam bahasa sehari-hari (disebut) syaraf kejepit, saat itu sudah membaik tapi masih sakit," kata Eddy Sindoro, ketika dihadirkan menjadi saksi pada persidangan terdakwa advokat Lucas, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis 17 Januari 2019. Eddy mengaku tetap berada di Singapura sampai ia mengetahui KPK menetapkannya sebagai tersangka. Sejak itu ia mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Indonesia. “Saya membaca berita di media massa (penetapan tersangka),” kata dia.

Selain menganggap penetapannya tidak relevan, ia pun merasa khawatir jika dirinya kembali ke Indonesia akan langsung ditahan, sementara ia beralibi sedang menjalani perawatan dokter.” Sehingga saya memilih untuk tetap berada di luar negeri sejak sekira 23 atau 24 April 2016 sampai dengan 12 Oktober 2018,” kata dia.

Ia mengaku sejak tanggal itu dirinya kerap berpindah-pindah negara. Terdapat sembilan negara yang diakui Eddy sempat disinggahinya selama pelarian. Selama pelarian, ia mengaku kerap ditemani seseorang yang bernama Chua Chwee Chye alias Jimmy alias Lie. Orang ini dikenal Eddy sejak 15 tahun lalu. Seseorang berkewarganegaraan Singapura yang dikenal bertameng sebagai trader atau pedagang barang-barang antik. Jimmy yang beralamat di Mc.Pearson Singapura, dikenal sebagai seorang yang punya akses ke berbagai jaringan mafia, termasuk jaringan pembuat paspor palsu.

“Saya sering bertemu dengannya di Singapura dan kadang di Hongkong,” kata Eddy. Sejak April 2016 sampai dengan 11 Oktober 2018 atau sebelum Eddy akhirnya menyerahkan diri di Singapura, sosok Jimmy inilah yang selalu menemani dan membantunya untuk mencari tiket, tempat penginapan hingga menemaninya selama perjalanan.

Lebih jauh Eddy mengatakan, sejatinya ruang gerak ia diawal-awal pelarian sangat terbatas. Oleh karena itu, sejak 23 atau 24 April 2016 dirinya ditawarkan Jimmy untuk menggunakan paspor Republik Dominika bernomor RD4936460 atas nama Eddy Handoyo Sindoropada Desember 2016.

Pertama kali ia menggunakan pasport yang belakangan diketahuinya palsu itu saat ke Kuala Lumpur dari Bangkok, Thailand. Dengan paspor itu, Eddy leluasa hidup di luar negeri selama hampir dua tahun. Hingga pada awal Agustus 2018, Eddy tertangkap petugas imigrasi Malaysia karena menggunakan paspor palsu.

"Yang membuat paspor Dominika itu Jimmy, tapi saya tidak tahu di mana dia membuatnya," kata Eddy saat dihadirkan ke persidangan terdakwa advokat Lucas. Selain pasport, Jimmy juga disebut Eddy selalu memberikannya alat komunikasi baru tiap kali berpindah negara, berikut didalamnya telah ada akun aplikasi Line maupun Whatsapp untuk berkomunikasi. Sebagian catatan, Jimmy berdasarkan catatan Law-justice.co memang belum pernah diperiksa tim penyidik KPK. Dalam daftar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk kasus advokat Lucas tidak ada nama Jimmy.

Hal ini yang kemudian menjadi senjata bagi advokat Lucas untuk menyerang KPK. Lucas menilai KPK sengaja menutupi peran Jimmy. “Siapakah Jimmy ini? Mengapa perannya tidak diungkap dan bahkan terkesan disembunyikan? Mengapa komunikasinya dan hubungannya dengan Dina Soraya tidak diungkap?" ujar Kuasa hukum Lucas, Wa Ode Nur Zainab, di Pengadilan Tipikor Jakarta, , Kamis (13/12/2018).

KPK Membidik Lucas

Sebaliknya senjata itu pelan-pelan mulai dipatahkan KPK pada persidangan terdakwa advokat Lucas. Dalam dakwaan Eddy Sindoro, Jaksa KPK mengatakan jika pada 4 Desember 2016, Eddy Sindoro menghubungi Lucas. Eddy menyampaikan jika akan kembali ke Indonesia untuk menjalani proses hukum di KPK. Namun ketika itu Lucas justru menyarankan untuk tidak kembali ke Indonesia.

Lucas juga menyarankan agar Eddy melepas status warga negara Indonesia dan membuat pasport palsu negara lain agar dapat melepaskan diri dari proses hukum KPK. “Terdakwa juga menyarankan Eddy Sindoro melepas status sebagai warga negara Indonesia dan membuat paspor negara lain agar dapat melepaskan diri dari proses hukum di KPK. Untuk itu, terdakwa (Lucas) akan membantunya," ujar Jaksa ketika membacakan dakwaan Lucas, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 07 November 2018.

Dari situlah menurut Jaksa benang merah pembuatan paspor palsu terjadi, dimana selepas saran dari Lucas itu, Eddy Sindoro dibantu Jimmy membuat paspor Republik Dominika Palsu. Jaksa KPK dalam persidangan terhadap terdakwa Lucas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (17/1/2019), sempat memutar rekaman pembicaraan menggunakan Facetime yang disinyalir merupakan percakapan antara Lucas dengan Eddy Sindoro.

Percakapan yang membicarakan berbagai hal mulai dari pengurusan paspor, visa, praperadilan, DPO (Daftar Pencarian Orang), Gaby (anak Eddy Sindoro), hingga CEO Lippo Grup, James Riyadi. "Anda kenal James Riady?" tanya jaksa KPK sesaat sebelum memutar rekaman kepada Eddy. "Iya kenal, saya kenal Pak James sebagai Presdir Lippo Bank, saya salah satu karyawannya," jawab Eddy.

Jaksa kembali bertanya ke Eddy soal pernah tidaknya membahas kepulangan Eddy dengan James. Namun Eddy mengaku tidak ingat. Selepas itu, Jaksa lantas memutar rekaman tersebut.

Eddy: Jadi sekarang pra-peradilan udah nggak bisa ya?

Lucas: Iya ndak ndak, ndak usah dulu bicara prapid dulu sekarang sudah tidak ada jalan prapid sekarang. Pak Eddy saya sudah cek, nggak ada yang berani itu, terus terang ini unfair punya treatment. You diperlakukan sangat tidak adil kan

Eddy: Iya

Lucas: Saya sudah kasih tau James Riady

Eddy: Kapan?

Lucas: Saya udah SMS dia

Eddy: Pada saat itu? Hari itu?

Lucas: Iya iya saya kasih tahu dia, (suara tidak terdengar) iya kan. Saya nggak kasih tahu Lisa, saya langsung ke James Riady. Tidak boleh putus asa Pak Eddy

Eddy; Kalau saya pulang saja dihadepin?

Lucas: Ee.. saya tidak bisa jawab Pak Eddy, damagesnya besar sekali Pak Eddy. Kalau you pulang bisa saja kita hadapi, kan belum tentu salah juga kan, tapi damages-nya besar, akan ribet pasti James Riady ikut terbawa-bawa terus, jadi rame, tambah rame, ngerti Pak Eddy?

Eddy: Saya mau pancing itu Pak Y

Lucas: Pak Zul sebenarnya. Pak James. Pak Eddy mau pulang itu ke mana tahu nggak (suara tidak jelas) pak Eddy mau pulang? Mau hadapi? Macam mana itu ha-ha

Eddy: Iya

Lucas: Tahu nggak (suara tidak jelas)

Eddy: Saya sounding aja, boleh aja

Lucas: Ya paling gitu sebentar. Pak James ini keadaan saat ini. Eddy mau pulang dan Eddy mau hadapin (suara tidak jelas) what do you think? Gitu loh.

Eddy: Iya.

Lucas: Soalnya you mau buat praperadilan pasti you dengar. Dia mau tahu jawabannya apa

Eddy: Iya.

Selain itu terdapat pula komunikasi lain antara Lucas dengan Eddy: "Saya di Kamboja sekarang, kalau toh paspor dicabut, apakah visa saya juga hilang," kata orang yang diduga Eddy Sindoro. "Visa untuk tinggal kita di suatu negara, visa izin masuk dan tinggal. Kalau paspor itu dokumen traveling, dokumen apa negara apa, dikeluarkan di kantor Imigrasi di Indonesia, untuk perjalanan," balas orang yang diduga Lucas.

Pada persidangan ketika itu Eddy membantah rekaman tersebut merupakan suara miliknya, begitupun dengan Lucas.  "Itu suara siapa?" tanya jaksa penuntut umum KPK Abdul Basir.

"Tidak ingat," kata Eddy Sindoro menjawab. "Lucas memanggil saudara apa?" tanya jaksa Basir. "Ed atau Pak Eddy," kata Eddy Sindoro.

"Sama tidak pembicaraan seperti itu? Ada 'Pak Eddy', 'Pak Eddy', sama toh?" tanya jaksa.

"Itu bukan suara saya dan saya tidak tahu soal itu," ujar Eddy Sindoro.

"Tapi Bapak punya paspor yang dikeluarkan oleh KBRI Yangon?" tanya jaksa.

"Betul, kalau tidak salah dikeluarkgan 2016 atau 2017," ujar Eddy Sindoro

Namun demikian ketika Jaksa menghadirkan Ahli Forensik Suara dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Sarabaya, Dr Dhany Arifianto, suara percakapan telepon dan sampel suara 98%  identik milik terdakwa Lucas maupun Eddy Sindoro. "Tingkat identitasnya sama, tapi persentasenya beda (Suara Eddy Sindoro). Yang kedua (Lucas) 98%, tapi komanya lebih tinggi sedikit," kata Dhany, di Pengadilan Tipikor, Kamis (31/1).

Paspor Palsu Ketahuan di Malaysia

Siang hari, 8 Agustus 2018, telepon genggam itu berbunyi. Terlihat ada seseorang menghubungi aplikasi Facetime milik Deborah Mailool dengan akun bernama [email protected]. “Ma, Saya minta uang seratus ribu ringgit dan lima ribu dolar Singapura,” Sesaat Deborah baru mengetahui yang menghubungi ia ialah Michael Sindoro, anak kandungnya. Ketika itu akun facetime Michael bernama dengan [email protected]. “Untuk apa ?,” tanya Deborah Nanti..nanti ceritanya” jawab Michael.

Sore harinya, Deborah mendatangi rumah Michael Sindoro di Perumahan Garding Serpong, Tangerang Banten. Pada pertemuan itu, Deborah menyerahkan uang sebesar RM 100 ribu dan SGD 5000. Sekitar 10 atau 11 Agustus 2011 siang hari, Michael menghubungi kembali Deborah.

“Ma, sekarang saya di Kuala Lumpur. Papa ditahan oleh imigrasi Malaysia,” kata Michael ketika itu “Kenapa..ada apa?,” tanya Deborah. “Belum tahu..nanti saja ma” jawab Michael. Selang beberapa hari kemudian Michael kembali menghubungi Deborah, kali ini ia mengabari jika sudah ada Jimmy yang mengurus.

29 Agustus 2018 sekitar pukul 08.00 sampai dengan 09.00 WIB, Jimmy menghubungi Deborah via Facetime. Ketika itu Jimmy mengabari jika permasalahan Eddy di Malaysia telah selesai. “Mama, Papa sudah beres,” kata Eddy Sindoro saat menghubungi Deborah sekitar sore hari pasca Jimmy.

Dari tanggal 8 Agutus itu memang Michael tengah disibukan oleh urusan Ayahnya, Eddy Sindoro. Semula bermula ketika pagi hari sekitar pukul 08.00WIB, saat itu Michael sedang berada dirumahnya. Ketika sedang bersantai tiba-tiba saja datang mobil Kijang berwarna hitam datangi rumahnya.Muncul seorang laki-laki yang memperkenalkan diri bernama Tan.

“Tolong besok bapak pergi ke Kuala Lumpur. Ayah anda ada masalah...Jangan infokan kepada siapa-siapa. Nanti sampai disana telpon Jimmy...Ini nomor HP-nya,” kata orang itu. Dari sekitar tanggal 10 Agustus 2018, Michael telah berada di Malaysia. Ia menginap di salah satu kamar di Dorsett Hotel.

Selang dua hari kemudian atau tepatnya 12 Agustus 2018 sore hari, ia dihubungi Lucas melalui akun Facetime. Ketika Michael memberikan akun Facetime milik Jimmy kepada Lucas, dengan maksud agar terjalin koordinasi diantara keduanya. Mereka akhirnya sepakat menunjuk pengacara Malaysia bernama Wagees.

16 Agustus 2018 siang hari di kantor pengadilan (court) Imigrasi Sepang Kuala Lumpur, Michael bertemu dengan Jimmy. “Pak Lucas telpon saya. Kami diskusi mengenai cara-cara biar cepat mengeluarkan pak Eddy Sindoro dari tahanan Malaysia. Lalu mengenai pemilihan Lawyer yang baru..Wagees. Pak Lucas banyak memberi advise kepada saya terkait proses-proses legal supaya pak Eddy Sindoro cepat keluar,” ujar Jimmy ketika itu.

Dalam persidangan itulah Michael baru tau kalau Ayahnya kena masalah lantaran ketahuan menggunakan paspor Republik Dominica palsu. Ketika itu, 7 Agustus 2018, Eddy Sindoro hendak berangkat dari Bandara Internasional, Kuala Lumpur, Malaysia menuju Bangkok, Thailand dengan menggunakan maskapai Thai Airlines. Saat melintasi Imigrasi, ia ditangkap petugas yang lantas membuatkan laporan Polisi KLIA dan dilakukan penahanan di Depo Imigrasi selama 14 hari dari tanggal 7 Agustus 2018 sampai 20 Agustus 2018.

Tanggal 14 Agustus 2018, dikirimkan surat dengan nomor 081843/WN/08/2018/10 perihal surat keterangan pengesahan dokumen perjalanan Republik Indonesia yang ditandatangani atase Imigrasi Mulkan Lekat. Dari situ diketahui bahwa KBRI Yangon pernah mengeluarkan paspor dengan nomor B5937066 atas nama Eddy Sindoro.

16 Agustus 2018, Eddy Sindoro diajukan ke Mahkamah atau Pengadilan Malaysia. Eddy diputus bersalah dan dikenakan hukuman denda sebanyak RM 3000 atau 3 bulan penjara sejak tanggal diputuskan. Ketika itu diputuskan Eddy akan membayar denda melalui pengacaranya yang bernama Varghase dari kantor K.Francis & Varghese Advocates.

Ketika itu Varghase mengatakan kepada Michael dan Jimmy jika langkah berikutnya putusan tersebut akan dikirim ke Attorney General atau Kejaksaan Malaysia. “Setelah disahkan oleh Attorney General barulah pak Eddy Sindoro bisa dideportasi. Prosesnya akan makan waktu. Tapi saya akan kejar supaya lebih cepat selesai,” kata Varghase.

17 Agustus 2018, telepon gengam milik Michael berdering. Dalam aplikasi Facetime terlihat ada seseorang yang menghubungi. Dalam aplikasi facetime milik Michale terdapat dua akun, selain [email protected] juga terdapat akun [email protected]. “Apa yang terjadi. Progress bagaimana?,” tanya Lucas. Ketika itu Michael mengabari jika sudah ada putusan pengadilan kalau Eddy Sindoro diputuskan akan dideportasi ke Indonesia. Dari situ perjalanan Eddy memasuki tahap baru. Pada 17 Agustus 2018, waktu itu Lucas hubungi saya via Facetime. Dia tanya progres.

Saya jawab sudah ada putusan pengadilan, papa saya terbukti gunakan paspor Republik Dominika. Putusan akan disampaikan ke jaksa. Saya minta lawyer untuk prosesnya. Kalau sudah selesai, Papa akan dideportasi' ujar Jaksa KPK, Abdul Basir membacakan BAP milik Michael Sindoro di pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/1/2019).

Namun demikian, ketika persidangan tersebut, Michael Sindoro kemudian meralat kesaksiannya tersebut. Ia lantas memunculkan tokoh baru yakni Mr Tan. “Setelah saya diinterogasi KPK, saya nonton video di Youtube. Saya lihat Bapak Lucas membaca sesuatu, suaranya beda dengan suara yang saya dengar di telepon. Dialek dan intonasinya beda. Saya pikir itu bukan Pak Lucas," kata Michael saat dihadirkan menjadi saksi,di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (10/1/2019). Namun demikian, Jaksa KPK meragukan pengakuan yang dibuat Michael. Terutama, karena Michael mengubah isi BAP dan mengganti Lucas dengan tokoh lain bernama Mr Tan. (Bersambung)

(Nebby Mahbubir Rahman\Roy T Pakpahan)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar