Lingkaran Setan Kusutnya BPJS Kesehatan

Kamis, 31/01/2019 13:17 WIB
Pasien BPJS sedang mengantri di Graha Permata Ibu di Beji, Depok, Jawa Barat. Foto: Law-justice.co

Pasien BPJS sedang mengantri di Graha Permata Ibu di Beji, Depok, Jawa Barat. Foto: Law-justice.co

Jakarta, law-justice.co - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memutus kerja sama dengan 92 rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan akreditasi dan izin beroperasi pada awal 2019. Di Jakarta ada 3 RS yang diputus kerjasamanya yaitu RSUD Jati Padang, RSUD Kebayoran Lama dan RSUD Cipayung. 

Persyaratan akreditasi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Meski sudah ada sejak 2013, aturan itu belum pernah diberlakukan. 

Kebijakan tersebut kemudian mendapat kritik dari masyarakat. Salah satunya dari BPJS Watch yang khawatir akan ada penurunan pelayanan kesehatan dari rumah sakit terhadap peserta BPJS. Kritik tersebut kemudian direspons Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPJS dengan menyepakati perpanjangan kerja sama dengan rumah sakit yang belum terakreditasi pada 7 Januari 2018. Rumah sakit-rumah sakit itu diberikan kesempatan hingga 30 Juni 2019 untuk menyelesaikan akreditasi. Perpanjangan ini bertujuan agar rumah sakit tetap dapat memberikan pelayanan bagi peserta JKN-KIS dengan syarat.

“Kemenkes memberi kesempatan kepada RS yang belum melaksanakan akreditasi untuk melakukan pembenahan dan perbaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek seperti dalam siaran pers.

Salah satu rumah sakit yang sedang mengurus akreditasi adalah Rumah Sakit Jati Padang, Jakarta. Menurut Staf Humas Rumah Sakit Jati Padang, Aldi Septian Anggara, ada banyak yang perlu diurus dan dipersiapkan untuk mendapatkan akreditasi.

"Kami akan kerja lebih keras lagi. Kerja lembur untuk mengejar itu," jelas Septian Anggara kepada Law-justice.co

Namun, RS Jati Padang belum memiliki skenario lain jika nantinya persoalan akreditasi tak kunjung selesai pada Juni mendatang. Padahal sebagian besar pasien RS Jati Padang didominasi oleh peserta BPJS yakni sebesar 60-70 persen. Sisanya 30 persen pasien umum.

"Kalau sampai Juni juga belum akreditasi, kami tidak tahu juga mau bagaimana. Itu keputusan direktur nanti mau seperti apa. Kami dari hari ini kami berusaha sebaik mungkin," tambahnya.

Berdasarkan data Kemenkes tertanggal 8 Januari 2019 jumlah rumah sakit di Indonesia ada 2.817. Sementara berdasarkan data Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan Joint Commission International (JCI) di tanggal yang sama, jumlah rumah sakit yang terakreditasi sebanyak 1988.

Pada Rabu, 9 Januari 2019 lalu, Nila Moeloek mendatangi rapat dengan Komisi IX DPR RI. Dalam rapat tersebut dia menjelaskan bahwa akreditasi rumah sakit berhubungan dengan mutu pelayanan untuk keselamatan pasien.

"RS harus tetap melakukan pelayanan kepada masyarakat, dan telah berkomitmen untuk itu. Hal ini ujung-ujungnya keselamatan pasien. Kenapa akreditasi baru sekarang diributkan? Proses untuk pemberitahuan, pelatihan, imbauan sudah dilakukan sejak lama dari tahun 2017 ada lebih dari tiga kali pemberitahuan agar segera menyelesaikan akreditasi sebelum 2019," ujarnya seperti yang terekam dalam TV DPR RI. 

"Sebenarnya kami sudah berupaya jadi tinggal pihak RS yang masih juga belum melakukan akreditasi. Bahwa akreditasi bukan 70 %, RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan telah terakreditasi itu 80% yaitu 1.771 rumah sakit dari 2.217. Jadi 80% sudah terakreditasi dan bekerjasama dengan BPJS kesehatan." 

Menkes melanjutkan, dari 2.217 rumah sakit yang bekerjasama terdapat 1.759 yang belum terakreditasi. Terbaru, berdasarkan data dari Humas BPJS Kesehatan saat ini tinggal 19 rumah sakit dan tiga klinik di seluruh Indonesia yang tak diperpanjang kontrak kerja sama penyelenggaraan JKN-nya.

RS Kambang (Jambi) RS Royal Prima (Jambi), RS Mayang Medical Center (Jambi), RS Bersaudara (Muara Bungo), RS Karya Medika 2 Tambun (Bekasi), RS Mandaya (Karawang) RS Multazam Medika (Cikarang), dan Klinik Utama Pertamedika Pendopo (Prabumulih).

Kemudian RS Amanah Mahmuda (Tegal), RS Bhakti Kasih (Polewali), RS Islam (Ternate), RSKC Abadi Naob (Denpasar), RS Bunda Dalima (Tangerang), RS Ariya Sentra Medika (Tangerang), dan RS Mitra Medika (Cikarang).

Selain itu, RSU dr Oen Sawit (Boyolali), Klinik Utama Jiwa Kamali (Tegal), Klinik Utama Alesha (Sleman), RSIA H Thaha Bakrie (Samarinda), RS Ar Royan (Palembang), RS Citama Cibinong, dan RSUD Kelas D Korpri AW Sjahranie (Samarinda).

Selain 19 rumah sakit di Jakarta, Kemenkes juga meminta BPJS Kesehatan memperpanjang kontrak kerja sama dengan 150 rumah sakit di berbagai wilayah di Indonesia. Nila meminta BPJS Kesehatan menyerahkan daftar rumah sakit yang belum terakreditasi. Sehingga Kemenkes bisa mencegah hal serupa terulang kembali.

Dalam surat itu, rumah sakit di DKI Jakarta yang diperpanjang kontrak kerja samanya adalah RS Jakarta, RS Gandaria, RS Kartini, RS Yadika Kebayoran Lama, RS Petukangan, RSUD Kebayoran Lama, dan RSUD Jatipadang.

Kemudian, RS Menteng Mitra Afia, RS Royal Progres, RS Duta Indah, RS Mata Primasana, Rumah Sakit Mulyasari, dan Rumah Sakit Umum Pekerja. Ada pula RS Pusdikkes, RS Islam Pondok Kopi, RS PON, RSIA Sayyidah Dompet Dhuafa, RS Kartika Pulomas, serta RS Yadika Pondok Bambu.

Ilustrasi rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS. Foto: law-justice.co

Defisit Anggaran BPJS
Defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus membesar. Pada 2018 saja, jumlahnya telah mencapai Rp 16,5 Triliun. Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, bila tidak dilakukan pembenahan secara sistemik, maka defisit diperkirakan akan menyentuh kisaran Rp 17-18 triliun karena akumulasi defisit dari tahun-tahun sebelumnya dan tunggakan yang harus dibayar ke rumah sakit. 

“Kalau  kita mau jujur, masih banyak hutangnya BPJS kepada rumah sakit yang belum terbayar. Itu kan bukan berarti harus pokoknya saja yang harus dibayar, kan  harus bayar denda juga 1 persen per bulan. Nah 1 persen per bulan itu kan kalau dia 5 triliun itu kan berapa, udah 50 miliar kali sekian bulan. Jadi potensi defisit membesar terjadi di 2019,” kata Timboel ketika dihubungi Law-Justice.co, Jumat (18/1).

Sebenarnya, gejala defisit ini telah terlihat dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan yang ditetapkan setiap tahun. Baik pemerintah maupun BPJS, menurut Timboel sadar betul iuran yang ditarik dari peserta pasti akan lebih rendah dari biaya yang keluar. Namun bila dijabarkan lebih lanjut, setidaknya terdapat empat komponen yang membuat anggaran BPJS terus mengalami defisit.

Indonesian Case Base Groups (INA- CBG’s)—biaya yang dikeluarkan untuk membayar rumah sakit, kapitasi (pembayaran klaim oleh BPJS,  dana operasional, serta program perventif-promotif, menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch itu, menjadi empat komponen penyebab anggaran BPJS terus mengalami defisit. Namun elemen INA- CBG’s menjadi penyumbang defisit terbesar karena menjadi sumber pengeluaran hingga 80 %. 

Salah satu langkah yang perlu ditempuh adalah menaikan iuran peserta BPJS yang selama tidak tak pernah diutak-atik. Wakil Presiden Jusuf Kalla, menurut Timboel, telah menjanjikan untuk menaikkan iuran BPJS setelah perhelatan Pilpres 2019. Namun langkah ini sebenarnya dilakukan hanya untuk mengurangi defisit anggaran BPJS. Kalau, iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) dinaikan dari Rp 23 ribu menjadi Rp 30 ribu saja, maka anggaran akan bertambah hingga Rp 10 T. 

Selain itu, lanjut Timboel, pembenahan lain yang perlu dilakukan di sektor tunggakan iuran. Pasalnya, hingga November 2018 saja tunggakan untuk peserta bukan penerima upah telah mencpai Rp 3,2 triliun, sementara peserta mandiri mencapai Rp 2 triliun. Hal ini disebabkan karena sistem penarikan dana yang tidak berjalan dengan baik. 
Seharusnya pemerintah bersikap tegas dengan memberikan sanksi pencabutan pelayanan publik yang sudah efektif berlaku sejak 1 Januari  bagi peserta yang menunggak. 
Sementara potensi pemasukan lain, seperti pajak rokok harus mulai diberlakukan. 

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pasal 100 ayat 2 pajak rokok dapat dimungkinkan untuk menambal defisit anggaran. Bila hal itu direalisasikan, menurut Timboel, maka anggaran bisa bertambah hingga 1-3 Triliun. 

Namun alih-alih mengambil langkah yang sistemik, pemerintah selama ini hanya melakukan pembenahan yang bersifat parsial dan jangka pendek. Hal ini, menurut Timboel, dilakukan dengan menambal defisit dengan mengelontorkan dana Rp 4,9 T dan 5,2 T, tetapi tidak menyelesaikan persoalan pelik ini secara komprehensif.

“Artinya belum ada sebuah proses sistemik untuk mengendalikan defisit. Jadi dia hanya jangka pendek, kalau defisit ya kita tambah . Nah sebenarnya sudah salah, seharusnya dibicarakan secara sistemik gitu,” kata Timboel. 

Belakangan, untuk mengurangi defisit anggaran BPJS, pemerintah bahkan mengeluarkan sejumlah aturan yang ditujukan untuk mengendalikan biaya. Kesan itu, misalnya terlihat dalam Permenkes 51 Tahun 2018, Perpres 82 Tahun 2018 terlihat beberapa butir yang bertujuan menurunkan kualitas layanan. Artinya, orang yang mengalami penusukan, penganiayaan, dan kekerasa seksual tak lagi ditanggung. 

Bila langkah sistemik tidak segera dilakukan, maka defisit anggaran terus berlanjut dan mengakibatkan sejumlah persoalan. Menurut Timboel, permasalahan yang muncul merentang dari klaim rumah sakit yang tertunda dan pelayanan masyarakat menurun. Bila hal ini terjadi makan tak heran persepsi negatif akan terbentuk dan pada akhirnya BPJS tak dapat lagi diselamatkan/

“Kalau ini terus terjadi, akan terjadi akumulasi persepsi negatif, ya JKN akan tidak lama lagi. Karena saya punya kartu nih, tapi saya tidak punya akses layanan kan percuma saja. Artinya, saya ngapain bayar, tunggakan akan meningkat. Akan jadi lingkaran setan, jadi ini harus diselamatkan karena kalau kita mau bilang bahwa JKN-lah program yang memberikan nilai nyata gitu," ujarnya.

Jika hal itu sampai mewujud, maka bukan saja BPJS saja yang terdampak. Hampir sebagian besar pemangku kepentingan di sektor kesehatan, seperti farmasi dan perusahaan kesehatan akan kena getahnya. Hal ini pada akhirnya  akan merembet pada gagalnya kebijakan kesehatan yang diusung pemerintah, termasuk yang paling dasar, yaitu mengurangi kematian ibu dan anak, kekurangan gizi, dan penyakit katastropik. 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar