Membongkar Sepak Terjang Luhut Pandjaitan di Bisnis Batubara

Rabu, 26/12/2018 15:02 WIB
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Minggu (8/4/2018). Foto: Robinsar Nainggolan

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Minggu (8/4/2018). Foto: Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Sektor pertambangan batu bara menjadi sumber pendanaan kampanye politik di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Pemain kunci di industri batu bara memainkan peranan penting dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019, baik di tim kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto- Sandiaga Uno. Para calon dan tim inti kampanye berbisnis dan terkait dengan sektor batu bara.

Hal ini digambarkan dalam sebuah laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Greenpeace, Auriga, JATAM, dan ICW. Laporan bertajuk “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara” ini, mengungkap bagaimana elite politik menyatukan kepentingan bisnis dan politik di sektor pertambangan batu bara. Industri batu bara disebut erat kaitannya dengan kebijakan dan regulasi pemerintah, royalti, pajak, serta infrastruktur pemerintah, sehingga mendorong sektor ini terpapar korupsi politik.

Laporan tersebut menyebut terdapat beberapa elite politik dengan konflik kepentingan politik yang besar di bisnis batu bara. Salah satu elite politik yang bermain di sektor tambang batu bara yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan.

Pria lulusan terbaik AKABRI bagian Darat (TNI AD) tahun 1970 itu merupakan pemegang saham PT Toba Sejahtra. Perusahaan ini diketahui memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batu bara dan PLTU. Beberapa elite lainnya yang terhubungkan dengan kelompok bisnis ini, yaitu anggota keluarga Luhut, mantan menteri serta pejabat tinggi lainnya, dan pensiunan jenderal.

Dalam menyatukan bisnis dan politik di sektor batu bara, Luhut menggunakan struktur lama oligarki politik: istana kepresidenan, militer, dan partai politik terutama Partai Golkar. Dia juga menggunakan lanskap baru yaitu desentralisasi dengan bekerja sama dengan elite dan penguasa lokal. Di Partai Golkar, Luhut terkoneksi dengan Aburizal Bakrie, Idrus Marham, Azis Syamsuddin, Syaukani Hasan Rais, dan Rita Widyasari.

“Elite nasional bersekongkol dengan elite daerah dalam bisnis batubara. Ini merupakan lanskap baru di mana desentralisasi membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih politis dan meningkatkan kekuasaan diskresioner para pejabat daerah, dan kedua hal ini meningkatkan risiko terjadinya korupsi," kata Tata Mustasya, Kepala Kampanye lklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara.

Tata Musytasya dari Greenpeace mengatakan, korupsi yang dilakukan para elite seperti contoh kasus ini adalah korupsi politik dengan memanfaatkan struktur oligarki dan desentralisasi. Coalruption menyebutkan, Bupati Kukar saat itu Rita Widyasari dianggap dekat dengan Luhut dengan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi bagi Trisensa Mineral Utama dan memperpanjang izin milik Indomining. Keduanya merupakan anak usaha Toba Sejahtra.

Terdapat beberapa elite dari jaringan Luhut dalam militer dan birokrasi yang terlibat dalam bisnis pertambangan batu bara. Contohnya, Jenderal (Purn) Fachrul Razi yang merupakan Komisaris di PT Toba Sejahtra bersama dengan Letjen (Purn) Sumardi, sementara Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy merupakan Direktur Kutai Energi dan juga Presiden Direktur Utama TMU, dan Letjen (Purn) Sintong Hamonangan Panjaitan menjadi Komisaris ABN.

Luhut juga merekrut Jusman Syafii Djamal sebagai Komisaris Utama Toba Sejahtra dan TOBA sambil menjabat sebagai Komisaris di Kutai Energi. Sementara itu, Prof Dr Hamid Awaluddin menjabat sebagai Presiden Direktur Kutai Energi dan ABN. Selain itu, Luhut juga menempatkan Bacelius Ruru, SH, LLM dan Dr. Farid Harianto sebagai Komisaris Independen di TOBA.

Meskipun Luhut disebutkan sebagai pemegang saham hanya di Toba Sejahtera, beserta anaknya David Togar Pandjaitan yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama Kutai Energi, Toba Sejahtra merupakan pemegang saham mayoritas di Kutai Energi dan TOBA. Luhut juga terus mempertahankan kendali yang kuat dalam kelompok ini dengan menunjuk keponakannya, Pandu Patria Sjahrir, sebagai Direktur di TOBA dan ABN.

Para jenderal di perusahaan Luhut sudah saling mengenal sejak lama. Semua jenderal tersebut, kecuali Suaidi, merupakan rekan satu angkatan dengan Luhut di AKABRI angkatan 1970. Pada bulan Maret 2014, mereka membentuk kelompok jenderal purnawirawan dari ABRI dan polisi yang “mengapresiasi” pencalonan Joko Widodo sebagai calon presiden oleh Megawati Soekarnoputri dan PDI-P.

Pada bulan Maret 2010, Presiden Yudhoyono mengundang Luhut, Fachrul, Sumardi dan Suaidi beserta tiga jenderal lainnya dari angkatan 1970 untuk membicarakan posisinya terkait proses pergantian presiden dalam pemilu 2014. Kelompok ini memiliki kepentingan politik serta kesetiaan pada Presiden Joko Widodo.

Studi kasus terhadap anak usaha Toba Sejahtra, yakni Kutai Energi, menunjukkan perusahaan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan. Dari data yang dirilis dalam Coalruption, 4 dari 10 lubang terbuka di daerah konsesi Kutai Energi di Kutai Kartanegara tidak direklamasi. Bahkan di salah satu lubang, airnya mengalir ke Sungai Nangka tanpa disaring. Meskipun ada temuan ini, belum ada tindakan untuk menghentikan pencemaran.

Menjawab laporan itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dirinya membeli saham PT Toba Sejahtra sebelum menjadi menteri. Karena itu, ia menyebut tidak ada konflik kepentingan jabatannya sekarang sebagai Menko Kemaritiman dengan perusahaan batubara.

"Itu kan saham saya itu waktu saya belum menteri, masa saya gak boleh punya saham waktu saya sebelum menteri. Salah? Itu kan public company," kata Luhut di kantor Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), Selasa (18/12).

Luhut menambahkan sahamnya sebesar 10 persen di perusahaan tersebut juga sudah dijual. Ia juga menantang para LSM yang menerbitkan laporan tersebut untuk mendatangi dirinya dan membuktikan kebenaran laporan tersebut.

"Apanya yang konflik kepentingan, saya tidak mengurusi saya lagi. Bilang itu Greenpeace sakit jiwa. Datang ke saya kalau berani, dia buktikan. Kalau dia tidak bisa buktikan, dia urusan sama saya," imbuhnya.

Dampak Lingkungan Tambang Batu Bara

Pada bulan Desember 2015, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur menyatakan bahwa terdapat 856 pemegang izin pertambangan komersial. Dari jumlah itu, hanya 338 memiliki surat jaminan reklamasi. Selain itu, hanya 96 dari 856 pemegang izin telah membayar uang muka jaminan pasca penambangan untuk restorasi situs pertambangan.

Akibatnya perusahaan tambang gagal merestorasi ratusan tambang terbuka yang ditelantarkan, dan kini telah merusak lingkungan di Kalimantan Timur dengan dampak yang mematikan. Komnas HAM menemukan bahwa tambang-tambang tersebut ditelantarkan oleh 17 perusahaan di Kalimantan Timur dan telah menelan korban 27 orang antara tahun 2011 dan 2016, kebanyakan adalah anak-anak dan remaja. Hingga bulan Desember 2018, jumlah korban yang ditelan oleh lubang tambang batu bara mencapai 31 orang.

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur menyatakan bahwa berdasarkan laporan dari 81 perusahaan, terdapat 314 bekas tambang yang telah ditelantarkan hingga bulan Desember 2016. Namun, sebuah survei yang dilakukan oleh Dinas ESDM dengan citra Landsat menunjukkan bahwa terdapat dua kali lipat jumlah tambang yang dilaporkan, di mana terdapat 632 tambang batu bara yang telah berubah menjadi genangan air raksasa. 264 bekas tambang ini (42%) berlokasi di Kutai Kartanegara.

“Apa yang terjadi di Kalimantan Timur ini merupakan bukti kolaborasi antara partai politik dalam hal ini Golkar, militer, dan istana kepresidenan. Dari sana kemudian dapat dilihat bahwa izin bertambangan meningkat dari 750 pada tahun 2001 hingga lebih dari 10.000 pada tahun2010, 40% di antaranya adalah untuk pertambangan batu bara,” ujar Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Merah menjelaskan bahwa bentang perusahaan batubara juga berakibat pada kerusakan bentang sumber daya alam. Salah satu dampak yang sering menjadi masalah yakni bahaya lubang bekas tambang batubara.

Berdasarkan laporan tersebut, menyebutkan bahwa pada kurun waktu 2011-2018 terdapat 32 orang meninggal karena tenggelam di bekas lubang tambang batubara. Padahal, sesuai dengan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perusahaan harus menutup lubang bekas tambang paling lambat 30 hari setelah tidak ada kegiatan pertambangan.

“Semestinya ada sanksi terhadap perusahaan yang abai dengan reklamasi. Pembiaran dan tidak ada kelanjutan proses hukum justru mengindikasi kemungkinan korupsi,” ujarnya.

Toba Sejahtra bukanlah satu-satunya perusahaan pertambangan batu bara yang menghindari hukum dengan mengabaikan lubang tambang terbuka serta mencemari air tanah. Data di tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat 23 lubang tambang yang ditelantarakan di Kutai Kartanegara, yang dimiliki oleh Kutai Energi, Indomining, Adimitra Baratama Nusantara, dan Trisensa Mineral Utama.

Data dari tahun 2017 menunjukkan bahwa 4 dari 10 lubang terbuka di daerah konsensi Kutai Energi tidak direklamasi. Di salah satu lubang terbuka Kutai Energi, air dari lubang tersebut mengalir ke Sungai Nangka tanpa disaring, meskipun terdapat kolam pengendapan. Pengujian kualitas air di lubang tambang Kutai energi (S 00’46’04.4 E 117’08’00,7) dan Sungai Nangka (S 00’46’27.7” E 117’08’55’3”) menunjukkan bahwa terdapat tingkat keasaman dan tingkat kontanimasi logam yang tinggi di lubang tambang terbuka. Kualitas air juga lebih rendah dibandingkan standar peraturan pemerintah. Data menunjukkan konsentrasi aluminimum yang tinggi, di atas standar yang ditetapkan, maupun kontaminasi vanadium, kobalt, boron dan talium.

Aktivis Greenpeace melakukan aksi membentangkan peringatan bahaya air beracun di bekas pengerukan tambang batubara, Asam-Asam, Kalimantan Selatan, Rabu (12/11). Foto: Greenpeace Indonesia

Kasus Churchill vs Nusantara

Kecenderungan elite menguasai bisnis batu bara ini juga bukan hanya Luhut yang notabene merupakan cerminan dari kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Hal itu juga terjadi di kubu Prabowo Subianto- Sandiaga Uno.

Dari laporan tersebut, Nusantara Energy yang sebagian besar sahamnya dimiliki Prabowo, sempat berebut konsesi lahan tambang dengan perusahaan Inggris yakni Churchill Mining di Kutai Timur. Namun, Bupati Kutai Timur saat itu Isran Noor mencabut izin Churchill dan memperpanjang izin Nusantara Energy. Isran di kemudian hari diusung Gerindra untuk menjadi Gubernur Kalimantan Timur.

Kasus perusahaan tambang Churchill menggambarkan luasnya pertukaran pengaruh dan korupsi politik dalam industri pertambangan batu bara. Kasus ini dimulai pada tahun 2008 saat Churchill, sebuah perusahaan tambang yang terdaftar di London, memperoleh bagian 75 persen dari empat izin yang diberikan kepada Ridlatama Group, sebuah perusahaan nasional.

Pada bulan Mei 2008, Churchill menyatakan bahwa mereka memiliki sumber daya batu bara termal “besar” – yaitu sebesar 2,73 miliar ton. Jumlah sebesar itu menjadikan area tersebut aset pertambangan batu bara terbesar ketujuh di dunia, dan berpotensi menghasilkan 700 juta hingga 1 miliar dollar AS tiap tahunnya selama 20 tahun.

Namun, ada satu masalah, yaitu perizinan Churchill mencakup daerah di Kabupaten Kutai Timur yang dulunya dikendalikan oleh sejumlah perusahaan yang berafiliasi dengan Nusantara Group, yakni sebuah konglomerasi perusahaan yang memiliki banyak koneksi politik, namun izin pertambangannya telah kadaluwarsa. Salah satu pemegang saham besar Nusantara saat itu adalah Prabowo Subianto, yang juga pendukung politik dan dan kolega Isran Noor, Mantan Bupati Kutai Timur dan Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) saat ini.

Tidak lama setelah Churchill mengumumkan temuannya, Isran Noor mencabut kuasa pertambangan Churchill dan memperpanjang izin milik Nusantara. Ketika Noor mencabut kuasa pertambangan milik Churchill-Ridlatama pada bulan Mei 2010, dia mengatakan bahwa perusahaan tersebut melakukan penebangan liar di kawasan hutan.

Isran Noor lalu menuduh Churchill memalsukan dokumen-dokumen izin tambang dan izin usaha yang tumpang tindih dengan konsesi yang diberikan kepada Nusantara. Namun, Churchill bersikeras bahwa izin yang tumpang tindih tersebut sengaja dirancang sebagai bagian dari “perampasan aset bernilai tinggi”.

Kedua perusahaan tersebut bersengketa di pengadilan hingga Mahkamah Agung. Kasus tersebut diwarnai oleh berbagai gugatan dan gugatan balik terkait penebangan liar dan keaslian dokumen kedua belah pihak, dan pada akhirnya, putusan MA mengalahkan Churchill pada bulan April 2012. Churchill kemudian mengajukan gugatan di arbitrasi internasional, yaitu sebuah sistem pengadilan paralel yang terbuka hanya bagi investor asing di Indonesia.

Churchill menuntut 2 miliar dollar AS untuk ganti rugi atas kehilangan perizinannya, namun pada akhirnya, mereka kalah ketika International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) Bank Dunia memutuskan bahwa gugatan Churchill didasarkan pada dokumen palsu. Nusantara Group terbukti memiliki koneksi politik yang lebih kuat, atau keakraban yang lebih kuat. Akibatnya, izin Churchill dicabut dan izin Nusantara diperpanjang.

"Banyak juga kasus perusakan lingkungan hidup (Nusantara). Karena meskipun pemiliknya melepaskan sahamnya, itu bukan berarti tanggung jawabnya juga lepas," kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Elite lainnya adalah Sandiaga Uno melalui Saratoga dan Erick Tohir yang merupakan adik Boy Tohir juga dianggap dekat dengan bisnis batu bara.

Biaya Kampanye Mahal, Suburkan Pelanggaran Bisnis Batubara

Ketua Tim Pencegahan Korupsi Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria menjelaskan berdasarkan data KPK 2015, rata-rata kebutuhan pendanaan politik setiap kandidat walikota dan bupati mencapai Rp20-30 miliar, sedangkan untuk gubernur mencapai Rp100 miliar. Sedangkan rata-rata besaran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hanya Rp 6-7 miliar.

“KPK menemukan pada tahun 2011 bahwa tidak satupun perusahaan tambang yang melaporkan kegiatan tambangnya, padahal itu ada aturannya. Dari 11 ribu izin pertambangan, 30% tidak membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar Dian.

KPK menemukan adanya dugaan tindak korupsi dari kegiatan ekspor batubara yang terjadi 2015 lalu. Penyebabnya adalah adanya selisih volume ekspor batubara antara Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai yang bisa menimbulkan potensi kerugian negara. Bea Cukai mencatat ekspor batubara hanya 390 juta ton. Sementara data Kementerian Perdagangan hanya 349 juta ton pada 2015 lalu. KPK memperkirakan potensi kerugian negara bisa mencapai US$ 677 juta atau sekitar Rp 9,02 triliun.

Hukum di Indonesia mewajibkan perusahaan termasuk di sektor pertambangan batu bara untuk mengungkapkan pemilik sah perusahaan tersebut sebagaimana didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, pemilik manfaat, atau benifical owner, masih dapat menyembunyikan keterlibatan mereka.

Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko korupsi dalam tiap tahapan proses pertambangan. Kelemahan dalam sistem pencegahan korupsi, juga pada aspek yudisial secara umum menurunkan kemampuan pemerintah untuk dapat mendeteksi, mencegah, dan menghukum koruptor secara efektif.

Sementara itu, dihubungi secara terpisah wakil ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono menanggapi perihal laporan laporan bertajuk “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara” tersebut. Menurutnya, sejauh laporan tersebut tidak dapat membuktikan adanya aliran dana dari sebuah perusahaan batu bara ke kegiatan pemenangan kampanye Pileg dan Pilpres 2019, maka dapat dikatakan tidak valid.

“Kalau tidak ada buktinya (aliran dana) maka kami tidak mau menanggapi. Sejauh tidak ada pembuktiannya, kami tidak mau membahasnya,” ujarya saat dikonfirmasi Law-justice.co melalui telefon genggam, Rabu (19/12).

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar