Setengah Hati "Indonesian Way" Hukuman Mati

Jum'at, 23/11/2018 12:49 WIB
Ilustrasi hukuman mati (pixabay)

Ilustrasi hukuman mati (pixabay)

Jakarta, law-justice.co - Pemberlakuan hukuman mati di Indonesia mendapat kritik dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Beberapa di antaranya Amnesty Internasional Indonesia, Kontras, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Salah satu penyebabnya yaitu hukuman mati tidak mampu memberikan efek jera atau mengurangi kejahatan seperti yang diyakini pemerintah dan sebagian masyarakat. 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan fakta tersebut berdasar penelitian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1998 dan 2005

"Penelitian PBB pada 1998 tidak ada kaitannya hukuman mati dengan efek jera. Angka kejahatan justru lebih tinggi di negara dengan hukuman mati," tutur Usman dalam sebuah diskusi di Kawasan Kota Tua, Jakarta, Rabu (10/10).

Usman menambahkan hukuman mati juga kerap digunakan sebagai alat politik dan secara diskriminatif diberlakukan kepada orang lemah. Semisal terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso.

Di sisi lain, tren pelaksanaan eksekusi mati di dunia juga terus menurun dari 1.032 eksekusi mati pada 2016 menjadi 993 eksekusi pada 2017. Sementara negara yang sudah menghapus hukuman mati atau abolisi, menurut Amnesty International mencapai 142 negara pada 2017.

Pernyataan Usman soal efektifitas hukuman mati senada dengan Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan. Ia menyebut sebanyak 18 orang dieksekusi mati dalam kurun waktu 2015-2016 di bawah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. 

Namun, jumlah pemakai narkotika mengalami kenaikan dari Juni 2015 sebanyak 4,2 juta pemakai menjadi 5,9 juta pemakai pada November 2015. Selain itu, menurut Menkopolhukam Wiranto terdapat kenaikan kasus narkotika sebesar 13% antara 2014 sampai 2015.

"18 orang dieksekusi mati dalam kurun waktu 18 bulan di bawah pemerintahan Joko Widodo. Januari 2015 sebanyak 6 orang, April 2015 sebanyak 8 orang (1 orang ditunda eksekusinya) dan Juli 2016 sebanyak 4 orang (10 orang ditunda eksekusinya)," jelas Ricky di Bogor, Sabtu (25/8).

LBH Masyarakat juga mencatat jumlah proporsi warga negara Nigeria atau Afrika dalam beberapa eksekusi mati di Indonesia terus meningkat. Terbanyak mencapai 75 persen pada Juli 2016, yaitu Humphrey Jefferson, Michael Titus, dan Seck Osmane.

"Pada Januari 2015 ada Daniel Enemoa dan Namaona Denis. Dan pada April 2015 ada Raheem Agbajee, Sylvester Obiekwe, Okwudili Ayotanze, Martin Anderson," imbuhnya.

Mesti mendapat kritik dari publik, Pemerintah dan DPR bersikukuh dan bersepakat mengatur hukuman mati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hanya saja hukuman mati tak lagi masuk sebagai pidana pokok, melainkan pidana alternatif.

Perumus RKHUP Muladi menjelaskan hal tersebut merupakan jalan tengah yang diambil pemerintah dan DPR atau yang disebut juga “Indonesian Way”.
 
“Tapi pidana mati dalam KUHP, juga dapat digeser ke pidana seumur hidup atau pidana sementara 20 tahun dengan syarat tertentu. Misalnya terpidana menunjukkan rasa-rasa menyesal, terpidana bukan aktor utama dalam melakukan kejahatannya,” jelas Muladi di Jakarta, Rabu (24 Oktober 2018).

Berkaca kepada data yang diolah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dari Dirjen Pemasyarakatan, maka terdapat 165 terpidana mati yang menunggu eksekusi tanpa kepastian hingga 2017 Oktober lalu. Empat puluh tiga di antaranya telah 10 tahun berada di Lapas.

Tiga puluh terpidana mati telah menjadi masa kejaksaan selama 11-15 tahun, 10 terpidana mati menjadi menjadi masa hukuman selama 16-20 tahun, 1 orang selama 21-25 tahun. Ada pula terpidana mati yang telah divonis mati selama 35 tahun 3 bulan pencapaian 80 tahun di dalam pemasyarakatan. 

Jika mengacu pada rekomendasi pemerintah di atas soal komutasi hukuman mati di RKUHP, maka Ruben dan Marcus termasuk orang yang hukuman matinya semestinya dicabut karena sudah lebih dari 10 tahun ditahan.

“Komutasi kan untuk sekarang kan jadi isu penting, kan ada orang-orang yang masuk daftar tunggunya sudah lama. Nah itu yang jadi prioritas utama, terlepas dari KUHP itu disahkan atau tidak. Iktikad baik itu harus ditunjukkan sejak awal,” jelas Direktur ICJR Anggara kepada law-justice.co, Rabu (14/11/2018).

Salah satu bentuk iktikad baik yang semestinya dilakukan pemerintah yaitu mengeluarkan grasi kepada 43 narapidana yang sudah berada ditahan lebih dari 10 tahun. Di samping itu, pemerintah juga harus menyusun sejumlah aturan perangkat turunan untuk komutasi hukuman mati. 

Sebab, jika tidak, menurut Anggara, komutasi hukuman mati akan membutuhkan waktu bertahun-tahun lagi, meskipun nantinya RKUHP sudah disahkan.

“Saya setidaknya tidak pernah melihat pemerintah punya rencana untuk melakukan komutasi. Ketika RKUHP itu disahkan, aturan turunannya juga harus ada, itu tidak serta merta dikomutasi. Jadi harus ada perangkat-perangkat aturan turunannya, sampai di situ saya tidak pernah melihat aturan turunannya.”

Terkait hukuman mati di dalam RKUHP, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengklaim hal tersebut sebagai perbaikan perspektif di Indonesia. Sebab hukuman mati bagi terpidana yang berkelakuan baik nantinya bisa berubah menjadi hukuman seumur hidup. 

"Tren kita di rancangan KUHP sesuai saran dari putusan MK. Bahwa vonis tentang hukuman mati itu bersyarat, itu artinya selama 10 tahun dilihat, bagaimana kelakuan baiknya. Kira-kira masih ada tanda-tanda perbaikan, kelakuan dan seterusnya," jelas Suparno dalam sebuah diskusi di Kota Tua Jakarta, Rabu (10/10).

Terkait adanya kemungkinan rekayasa kasus terpidana mati di Indonesia, Suparno hanya meminta kepada semua pihak untuk mengawal secara bersama-sama dalam kasus-kasus yang tuntutannya hukuman mati. Sehingga hakim nantinya dapat memutus perkara dengan seadil-adilnya. 

Suparno menegaskan hingga saat ini Indonesia masih menganut sistem hukuman mati. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem peradilan untuk meniadakan kesalahan vonis bagi orang yang tidak bersalah.

Terbaru, pada 31 Oktober lalu, Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 menyetujui perpanjangan waktu pembahasan 16 Rancangan Undang-Undang (RUU) dan non RUU. Satu di antaranya yaitu RKUHP.

Namun, penggagas RKUHP Muladi pesimistis Indonesia akan memiliki KUHP yang baru di tengah tahun politik ini. Kendati KUHP Belanda yang digunakan Indonesia akan memasuki usianya yang 100 tahun pada 1 Januari mendatang.

“RKUHP ini sebenarnya sudah selesai secara menyeluruh, tinggal masalah kecil-kecil saja. Oleh karena itu saya protes kepada DPR agar segera disahkan. Tapi karena tahun politik 2019 ini orang DPR tidak mau berbicara persoalan RKUHP.” 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar