Ramai-Ramai Menggebuk IndonesiaLeaks dengan Isu Hoaks

Jum'at, 19/10/2018 10:38 WIB
Ilustrasi. Foto: Petisi ICW di change.org

Ilustrasi. Foto: Petisi ICW di change.org

Jakarta, law-justice.co - Hanya lima hari berselang dari pengakuan hoaks aktivis Ratna Sarumpaet, lima media yang tergabung dalam platform IndonesiaLeaks mempublikasikan hasil liputan investigasi mereka. Masyarakat sedang larut dalam euforia anti informasi bohong. Laporan lima media itu pun terseret arus antihoaks.

Tanggal 8 Oktober 2018 harusnya menjadi hari yang bersejarah bagi IndonesiaLeaks. Sebuah platform daring yang memfasilitasi masyarakat Indonesia untuk berbagi informasi penting tentang isu-isu strategis. Belum genap setahun usianya, platform Indonesialeaks berhasil membuktikan bahwa kehadiran mereka disambut baik oleh para informan publik yang memegang data penting dari salah satu skandal korupsi besar di tanah air.

Pada tanggal itu, hasil kerja bersama kolaborasi lima media akhirnya terbit. Sebuah laporan investigasi tentang dugaan upaya penghilangan barang bukti yang dilakukan oleh dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kombes Roland Ronaldy dan Komisaris Harun.

Kelima media itu adalah Tempo.co, Suara.com, Kantor Berita Radio 68H (kbr.id), Independen.id, dan Jaring.id. Meskipun tergabung dalam satu platform bersama dan melakukan kerja-kerja kolaborasi, kelima media tersebut mempublikasikan laporan dengan judul yang berbeda satu sama lain.

Tempo.co menulisnya dengan judul “Dokumen Pemeriksaan yang Menghilang”, Suara.com memakai judul “Berkas Pemeriksaan yang Gaib”, KBR menulis judul “Skandal Perusakan Buku Merah”, Independen.id menggunakan judul “Uang Daging yang Menyeret Petinggi Polri”, dan Jaring.id memilih judul “U/ Kapolda”.

Konten dari laporan-laporan tersebut adalah isu besar yang seharusnya menjadi pembicaraan arus utama di publik. Pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai orang yang pro terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sepantasnya fokus pada esensi laporan itu.

Termasuk pemerintah, yang baru saja mengesahkan PP No. 43 tahun 2018 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain menjamin perlindungan, PP 43 tahun 2018 juga mengatur tentang pemberian hadiah uang maksimal sebesar Rp200 juta bagi pihak-pihak yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi.

Hasil kerja bersama para anggota Indonesialeaks mencoba untuk mengungkit kembali kasus suap yang menjerat mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar dan pengusaha impor daging sapi Basuki Hariman. Sebetulnya, sejak tahun lalu, kasus tersebut sudah dianggap “tutup buku” karena KPK berhasil menjebloskan tiga orang ke dalam penjara.

Patrialis Akbar divonis delapan tahun hukuman penjara. Basuki Hariman harus mendekam selama tujuh tahun. Sementara Ng. Fenny, general manager CV Sumber Laut Perkasa (perusahaan Basuki), kena hukuman lima tahun kurungan.

Namun ternyata kasus tersebut masih menyisakan ganjelan yang besar. Seorang informan yang dirahasiakan identitasnya, pada Desember 2017 mengirimkan sejumlah dokumen penting ke platform Indonesialeaks. Dokumen yang itu adalah buku catatan bank bersampul merah (selanjutnya disebut Buku Merah) dari salah perusahaan milik Basuki Hariman, yang berisi transaksi keuangan. Selain itu, informan juga melampirkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh penyidik KPK Surya Tarmiani terhadap staf keuangan Basuki, Kumala Dewi Sumarsono. Dokumen BAP tersebut sebelumnya diketahui telah raib bersamaan dengan hilangnya leptop Surya karena dirampas orang tidak dikena saat ia turun dari taksi. Sampai hari ini, laptop Surya tidak berhasil ditemukan dan pelaku perampasan belum ditangkap oleh polisi.

Dari dokumen-dokumen yang mendarat di platform Indonesialeaks, menunjukkan bahwa transaksi keuangan tidak hanya mengalir ke Patrialis Akbar. Beberapa nama-nama penting dan lembaga pemerintahan juga tertulis di dalamnya.

Salah satu nama yang paling menyorot perhatian adalah Kapolri Tito Karnavian. Tito diduga menerima aliran dana sejak masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga awal-awal ketika baru menjabar sebagai Kapolri. Total, uang yang ditransfer kepada orang yang ditengarai sebagai Tito mencapai Rp8,2 miliar.

Sayang, nama Tito dan pejabat-pejabat penting lainnya tidak terungkap di persidangan. Semua bukti transaksi itu raib dari catatan Buku Merah. Hasil liputan investigasi IndonesiaLeaks mengatakan bahwa Roland dan Harun lah yang telah menghilangkan 15 lembar catatan penting di Buku Merah, pada 7 April 2017. Keduanya adalah penyidik yang memeriksa Kumala sehari setelah leptop Surya dicuri orang.

Sesuai keterangan di BAP, Kumala mengklaim bosnya mengirim uang ke Tito Karnavian dalam rentang waktu Januari 2016 hingga September 2016 Berlangsung setiap bulan. Saat dimintai jawab, informasi aliran dana tersebut, Tito menolak berkomentar. Video milik IndonesiaLeaks.

Kelakuan dua penyidik yang berasal dari instansi Polri itu membuat internal KPK geger. Keduanya diperiksa oleh Pengawas Internal KPK dan dinyatakan bersalah. Melalui SK No. 1252 tahun 2017, Roland dan Harun dinyatakan melakukan pelanggaran berat dan dipulangkan ke Polri. Masa bakti selama tujuh tahun di KPK pun berakhir.

Para jurnalis yang bekerja di liputan investigasi itu sadar, ada dua isu besar yang sama-sama penting bagi publik. Satu, soal aliran dana yang diduga mengalir ke orang nomor satu di instansi Polri. Dua, soal perusakan barang bukti yang juga seharusnya masuk ke ranah pidana. Seperti, misalnya KPK telah menjerat pengacara Frederic Yunadi (kasus korupsi Setya Novanto) dan Lucas (kasus Eddy Sindoro) dengan delik perintangan penyidikan.

“Keduanya sama-sama isu besar. Tapi kita tentu bisa memilih, mana isu yang lebih besar. Hanya saja, membuktikan bahwa orang nomor satu di kepolisian itu telah menerima aliran dana, tentu perlu pembuktian yang sangat valid. Karena itu, mempertimbangkan kemampuan, kami memilih untuk fokus pada isu yang kedua,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, dalam konferensi pers yang diselenggarakan di kantornya, Minggu (14/10/2018).

AJI merupakan salah satu dari empat lembaga yang menjadi inisiator Indonesialeaks. Manan menerangkan, pihaknya berharap agar hasil liputan investigasi tentang perusakan barang bukti tersebut ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Misalnya, KPK kembali memeriksa barang bukti yang mereka miliki untuk kembali membuka kasus suap impor daging sapi.

Tapi apa daya. Alih-alih meributkan kembali penyelidikan kasus suap yang belum selesai, wacana yang berkembang kemudian adalah isu hoaks. Pernyataan itu di antaranya muncul dari Ketua Setara Institut Hendardi dan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Keduanya menaruh curiga dengan motif di balik penerbitan laporan tersebut, yang disebut bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas Kapolri Tito Karnavian. Terlebih lagi, ini tahun politik yang dipenuhi dengan maraknya beredar informasi-informasi hoaks.

Hendardi misalnya, dalam keterangan resminya dengan jelas mengategorikan isu yang dimunculkan oleh IndonesiaLeaks sebagai hoaks. Salah satu alasannya karena sumber utama yang memberikan dokumentasi BAP Kumala dan Buku Merah, bersifat anonymous.

Pernyataan lebih keras diutarakan oleh Neta S. Pane. Awalnya, sehari setelah lima media menerbitkan laporan investigasi perusakan Buku Merah, Neta meminta KPK segera memberikan pernyataan tentang kasus tersebut.

Ketika Ketua KPK Agus Rahadjo telah memberikan klarifikasi kepada wartawan tentang laporan Indonesialeaks, Neta mendorong polisi agar lebih agresif untuk mengusut tuntas orang-orang yang terlibat dalam proyek IndonesiaLeaks. Bagi Neta, isu yang dilontarkan oleh IndonesiaLeaks adalah hoaks dan fitnah terhadap Kapolri. Polisi, menurut Neta, seharusnya bisa menuntaskan kasus tersebut dengan cepat, seperti saat mengusut kabar berita bohong yang dihembuskan Ratna Sarumpaet.

Mantan Ketua MK Mahfud MD juga menyampaikan ketidakpercayaannya dengan hasil investigasi skandal Buku Merah. Ia lebih memilih percaya dengan KPK. Kalau memang Roland dan Harus terbukti bersalah, kata Mahfud, tentulah KPK telah menjerat mereka dengan pasal yang sama dengan pengacara Fredrich Yunadi dan Lucas.

Sementara Polri, melalui Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto mengaku masih perlu mempelajari beberapa hal. Setyo sebelumnya mengatakan akan melakukan penyelidikan ke luar terkait dugaan perobekan barang bukti Buku Merah.

Ia memastikan, tidak ada penyelidikan internal, sebab Roland dan Harus sudah pernah diperiksa dan dinyatakan tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Mereka dikembalikan ke Polri sebab masa baktinya di KPK akan segera berakhir. 

“Soal Indonesialeaks, kita lihat nanti ya,” kata Setyo kepada law-justice.co ketika dimintai keterangan di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Selasa (16/10/2018).

Senada anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan, lembaganya telah mengklarifikasi isu tersebut kepada Polda Metro Jaya dan Divisi Propam Polri. Kedua lembaga itu, kata Poengky, membantah semua yang diberitakan oleh tim Indonesialeaks. Baik dugaan perusakan barang bukti Buku Merah, maupun dugaan aliran dana dari Basuki Hariman ke Kapolri Tito Karnavian.

“KPK sendiri telah mengatakan tidak ada bukti perobekan Buku Merah. Sebagai sesama institusi negara, jelas Kompolnas percaya dan tidak meragukan kredibilitas KPK, Polda Metro Jaya, dan Propam Polri,” kata Poengky kepada law-justice.co, Rabu (17/10/2018).

Kompolnas, lanjut Poengky, bisa memahami kehadiran Indonesialeaks sebagai sebuah inisiatif dari jurnalis di beberapa media ternama di Indonesia. Tapi ketika sudah masuk ke ranah liputan investigasi korupsi, kebenaran yang ditampilkan kemudian menjadi terbatas. Sebab, yang lebih berwenang untuk mengusut suatu tindak pidana korupsi adalah KPK.

Wajah Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy mendadak mengubah masam kompilasi tim IndonesiaLeaks menyodorkan lembaran surat kabar Berkop Komisi Pemberantasan Korupsi. Video milik IndonesiaLeaks

Apa itu Indonesialeaks? Mengapa Menggunakan Sumber Anonim?

Mengacu pada platformnya di situs Indonesialeaks.id, pembentukannya diinisiasi oleh empat lembaga, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Tempo Institut, dan Free Press Unlimited. Mereka bermitra dengan lima organisasi publik: Auriga, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Indonesia Corruption Watch (ICW), Greenpeace, dan Change.org.

Saat ini ada sembilan media massa yang tergabung dalam keanggotaan Indonesialeaks, yaitu Tempo, Bisnis Indonesia, CNN Indonesia TV, The Jakarta Post, KBR, Liputan6.com, Suara.com, Independen.id, dan Jaring.id. 

Direktur Eksekutif PPMN Eni Mulia menerangkan, kehadiran platform Indonesialeaks merupakan buah dari diskusi bersama para pemimpin redaksi media massa di Indonesia pada Februari 2017. Kesimpulan dari diskusi tersebut menghadirkan wacana untuk membuat sebuah wadah yang mampu menjadi tempat para informan-informan publik yang ingin menjadi Whistleblower (orang yang ingin menjadi pelopor untuk membongkar suatu tindak kejahatan).

Setelah menyusun konsep, Indonesialeaks resmi dilaunching pada 14 Desember 2017. Sejak itu, publikasi dan sosialisasi tidak henti-hentinya dilakukan. Termasuk kepada KPK, yang menyambut baik keberadaan platform tersebut.

“Jadi kami bukan baru kemarin sore terbitnya,” kata Eni.   

Para inisiator memutuskan untuk membuat platform yang mampu menjaga kerahasiaan identitas Whistleblower. Sebab, menurut mereka, informan publik di Indonesia belum aman ketika berusaha membongkar skandal dalam skala yang besar.

“Kita tahu, kasus pajak terbesar di Indonesia diungkap oleh seorang Whistleblower. Tapi akhirnya dia juga mendekam di penjara,” kata Eni, mengacu pada kasus skandal pajak pengusaha Sukanto Tanoto pada 2007 lalu. Saat itu, Vincentius Amin Sutanto yang menjadi seorang Whistleblower.

Abdul Manan menegaskan, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) memberikan hak kepada wartawan untuk menyembunyikan narasumbernya, demi alasan keamanan. Selain itu, wartawan juga punya hak tolak ketika ada pihak-pihak yang meminta pengungkapan narasumbernya.

“Tapi dengan merahasiakan narasumbernya, tanggung jawab dialihkan kepada media. Itu konsekuensinya,” ujar Manan.

Pada setiap liputan investigasi, keamanan narasumber dan jurnalis menjadi perhatian utama. Terutama jika liputannya menyangkut tokoh-tokoh penting. Dalam investigasi skandal Buku Merah misalnya, law-justice.co menerima informasi bahwa kegiatan pihak-pihak yang terlibat sering mendapat pengawasan dari pihak-pihak yang tidak dikenal.

Seperti saat konferensi pers yang dilakukan oleh LBH Pers dan ICW di kantor AJI Jakarta, Senin (8/10/2018). Pengacara publik LBH Pers Gading Yonggar Ditya mengatakan, siang itu mereka kedatangan dua orang yang mengaku sebagai anggota intelijen dari Polda Metro Jaya.

“Lah gue heran kok intel ngaku. Terus kami tanya bagaimana perintahnya? Dia jawab Cuma disuruh memantau. Lalu kami larang masuk karena yang boleh masuk hanya wartawan,” cerita Gading kepada law-justice.co.

“Tapi kami melihat ada lah satu atau dua intel di dalam yang mengaku wartawan. Kelihatan kan, bisa diidentifikasi. Tapi enggak bisa kami larang karena mereka mengaku wartawan,” tambah Gading.

Sebab itu, Indonesialeaks berkomitmen menjaga anonimitas. Termasuk tidak ada nama-nama yang tertera di platform. Namun ketiadaan nama terang bukan berarti liputan investigasi dari tim Indonesialeaks tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Walaupun informasi dari Whistleblower disampaikan melalui Indonesialeaks, platform itu tidak menerbitkan sama sekali hasil liputan. Beban penerbitan dibebankan kepada media-media yang berkomitmen.

Dalam liputan skandal Buku Merah, awalnya ada tujuh media yang berkomitmen untuk kerja kolaborasi. Tapi akhirnya hanya ada lima media yang menerbitkan hasil liputan tersebut. Dua media lainnya, CNN TV dan Liputan 6, memilih untuk tidak menerbitkannya.

“Tentu saja, keputusan publikasi ada di masing-masing media. Kami menghormati keputusan internal masing-masing redaksi,” ujar Eni Mulia.

Direktur LBH Pers Imam Nawawi menambahkan, lembaga-lembaga yang tergabung dalam Indonesialeaks tidak memiliki kewenangan turut campur dalam urusan redaksi di masing-masing media. Termasuk dalam mengambil keputusan apakah media yang tergabung dalam anggota akan turut serta dalam penggarapan isu-isu tertentu.

Karena itu, tanggung jawab sebetulnya berada di media yang menerbitkan laporan tersebut. Setiap media tentu memiliki struktur redaksi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. LBH Pers, kata Imam, telah memastikan bahwa awak redaksi dari kerja kolaborasi antar media itu telah sesuai dengan standar kode etik jurnalistik.

“Kami sangat prihatin, bahwa yang berkembang di masyarakat sekarang adalah bahwa laporan tersebut hoaks. Itu adalah produk jurnalistik. Jadi, kalau ada masalah, selesaikan dengan mekanisme sengketa pers,” tegas Imam.

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar