Kenapa Pemeriksaan Kasusnya Mangkrak di Bareskrim Polri?

Jum'at, 15/12/2017 20:54 WIB
Alur Modus Korupsi Penjualan Kondensat MIgas (Ist)

Alur Modus Korupsi Penjualan Kondensat MIgas (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Sudah lebih dari setahun ini berkas perkara penyidikan kasus korupsi pengadaan kondensat (minyak mentah) PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) dan SKK Migas (BP Migas), bolak balik dari penyidik Bareskrim Polri ke Kejaksaan Agung. Tak kunjung lengkapnya berkas ini menunjukkan adanya kejanggalan yang menimbulkan beribu tanda tanya.

Apakah kasus ini sengaja diambangkan atau ada pihak penegak hukum yang sudah masuk angin? Santer juga terdengar ada elit penguasa pemerintahan yang gerah apabila kasus ini berlanjut, sebab akan menyeret banyak pihak yang terlibat dalam bancakan kasus mega korupsi ini. Yang pasti kedua tersangka dalam kasus ini, mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial BP Migas, Djoko Harsono, yang sempat ditahan Bareskrim Polri, sekarang malah bebas berkeliaran.

Selain Raden Priyono dan Djoko Harsono, Bareskrim juga telah menetapkan mantan pemilik PT TPPI Honggo Wendratno sebagai tersangka. Walaupun Bareskrim Polri sudah memasukkan nama Honggo dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), tetap saja Honggo bisa bebas berleha-leha di Singapura, dengan alasan masih sakit. Petinggi Bareskrim Polri, yang disambangi Law-Justice.co di Mabes Polri Jakarta, Jumat (15/12) tidak ada yang bersedia menjawab sudah sampai sejauh mana progres berkas pemeriksaan kasus tersebut.

Informasi yang beredar di kalangan wartawan Mabes Polri, menyebutkan berkasnya sudah selesai diperbaiki oleh penyidik Bareskrim Polri dan sudah dilimpahkan kembali ke Kejaksaan Agung. Namun pejabat Pidsus Kejaksaan Agung, saat ditanya oleh wartawan Law-Justice.co, mengatakan belum mengetahui secara jelas perkembangan pemberkasan dan progres dari kasus tersebut.

“Terakhir masih dalam perbaikan penyempurnaaan berkas agar Jaksa bisa menyusun dakwaan dengan cermat dan lengkap,”ujar Jaksa Pidsus, yang tidak bersedia disebut namanya.

Kasus korupsi kondensat ini adalah kasus mega korupsi, yang besarnya kerugian negara jauh lebih besar dari kasus e-KTP yang sedang ramai saat ini. Berdasarkan hasil audit BPK dari  Perhitungan Kerugian Negara (PKN), terdapat lifting kondensat oleh PT TPPI tersebut memiliki nilai USD 2,716,85 ,655.37 atau sekitar Rp35 Triliun.

Dalam perjalanan penyidikan kasus ini, Bareskrim menemukan sejumlah dugaan tindak pidana korupsi, diantaranya adalah proses penunjukan langsung BP Migas kepada PT TPPI untuk menjual kondensat.

Bareskrim juga menemukan penyimpangan berupa perintah lifting kondensat dari BP Migas kepada PT TPPI tanpa adanya jaminan pembayaran dan Seller Appointment Agreement (SAA). Berdasarkan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah ditetapkan pada 20 Januari 2016, ditemukan fakta bahwa PT TPPI telah melakukan lifting Kondensat sebanyak 33.089.400 barrel dalam kurun waktu 23 Mei 2009 hingga 2 Desember 2011.

Tindakan BP Migas dan PT TPPI ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Surat Keputusan (SK) Kepala BP Migas tanggal 15 April 2003 tentang tata cara penunjukan penjual kondensat bagian negara. Bareskrim juga menemukan adanya penyimpangan dalam pengelolaan hasil lifting Kondensat.

TPPI selama ini telah memproduksi Mogas Ron 88 (Premium) dan tidak menjual hasil olahannya kepada PT Pertamina. PT TPPI sendiri mengakui hal ini dengan alasan Pertamina tidak mau menerima produk hasil olahan mereka. Di sisi lain, Pertamina menolak pembelian tersebut dengan alasan set off dengan hutang PT TPPI meski ditawarkan dengan harga jual 1,2 persen di atas harga MOPS (harga pasaran).

Dalam kasus ini, Pertamina diduga kongkalikong dengan pemilik PT TPPI yakni Honggo Wendratmo dimana Pertamina ternyata memilih impor migas ke Singapura meski harga dipasaran saat itu 3 persen di atas MOPS. Mengapa Pertamina memilih skenario impor migas yang lebih mahal dan dimana kongkalikongnya dengan Honggo? 

Selain memproduksi Migas, PT TPPI juga memproduksi bahan aromatik yang lebih dikenal dengan nama Naphtha. Produk Naphta ini jika di-blend atau diolah di kilang milik PT TPPI di Tuban, Jawa Timur bisa menjadi bensin premium. Modusnya, PT TPPI malah memilih untuk mengekspor Naphtha dari hasil kondensat ke luar negeri.

Perusahaan yang disasar sebagai pembeli juga merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Honggo, yakni Java Energy Resourches (Pte) Limited (Singapura)  PT Vitol (Singapura) dan  Polytama International BV (Belanda). Dalam dunia persahaman, modus seperti ini disebut sebagai insider trading dan itu adalah suatu pelanggaran berat dalam transaksi di bursa saham.

Kuasa hukum TPPI, gencar melobby aparat penegak hukum di Indonesia dan pejabat pemerintahan, bahwa kasus kondesat ini adalah kasus hukum perdata, yakni sengketa bisnis biasa. Karena itu tidak layak dimasukkan ke hukum pidana korupsi. Padahal unsur kerugian negara dari hasil audit investigasi BPK jelas menyatakan kasus ini tindak pidana korupsi.

(Tim Liputan Investigasi\Roy T Pakpahan)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar