Juniarti, Penderita Kanker

Berjuang Melawan Pemerintah Demi Mendapatkan Kesembuhan

Rabu, 06/03/2019 20:24 WIB
Juniarti (memegang kotak obat Trastuzumab atau Herceptin) dan  suaminya Edy Haryadi di rumah mereka, Duren Sawit, Jakarta Timur (law-justice.co/ Nikolaus Tolen)

Juniarti (memegang kotak obat Trastuzumab atau Herceptin) dan suaminya Edy Haryadi di rumah mereka, Duren Sawit, Jakarta Timur (law-justice.co/ Nikolaus Tolen)

law-justice.co - Perjuangan Juniarti (46), seorang penderita kanker payudara HER2 Positif, untuk mendapatkan pengobatan yang layak, berakhir sudah. Kegigihannya memperjuangkan agar dilanjutkannya pemberian jaminan obat Trastuzumab atau herseptin bagi penderita kanker seperti dirinya, berhasil dimenangkannya.

Tidak tanggung-tanggung, lawannya saat itu adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris, dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis Agus Purwadianto.

Di Pengadilan Jakarta Selatan, Juniarti, dibantu oleh suaminya Edy Haryadi mengajukan tuntutan, agar pemberian obat Trastuzumab kepada para penderita kanker tersebut terus dilanjutkan oleh BPJS, karena jenis obat itu sangatlah mahal.

Berikut kisahnya yang diceritakan kepada Nikolaus Tolen dari law-justice.co yang menemuinya langsung di kediamannya:  

Divonis kanker Payudara Her2 Positif

Juniarti tak bisa berkata-kata apalagi menangis ketika divonis oleh dokter bahwa kanker payudara yang dialaminya sudah masuk stadium empat alias kanker payudara ganas pada minggu keempat bulan April tahun 2018. Kanker dengan stadium ini dikategorikan sebagai kanker payudara HER2 positif. Padahal beberapa hari divonis itu, dirinya sempat berjalan-jalan dengan anaknya ke pangandaraan untuk berekreasi.

Bagai tersambar petir di siang bolong, Januarti tak menyangka dirinya bisa menjadi korban dari penyakit yang mengerikan tersebut. Juniarti sudah lama bergelut dengan dunia kanker payudara dengan tujuan dirinya bisa menjaga diri dari kanker tersebut. Dia sudah lama ikut dalam Komunitas Cancer information Super Center (CISC) untuk membantu para penderita kanker.

Tidak hanya itu, ia juga pernah menulis buku tentang kanker payudara. Itu dilakukannya setelah lama bergabung di Komunitas CISC. Juniarti juga semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan payudara ketika ibunya meninggal karena kanker payudara. Namun, itu semua terasa sia-sia ketika dirinya juga ikut menjadi korban.

“Bagaimana saya nggak ketampar-tampar. Saya ikut komunitas kanker, ibu meninggal karena kanker, saya sering periksa payudara, tapi kena juga kanker payudara. Saat itu, kalau orang-orang itu nangis, saya nggak nangis, karena saya pikir, kenapa bisa begitu ya. Kayaknya takdir membolak balikan hidup saya banget. Semua yang saya pelajari, saya jaga supaya nggak terjadi, malah terjadi,” keluhnya dengan mata berkaca-kaca.

Juniarti memang sempat menduga dirinya kena kanker payudara sejak Oktober 2017. Saat itu leher kanan bagian bawahnya terlihat lebih gemuk daripada yang sebelah kiri. Namun, dia juga langsung menampik, karena memang dirinya tergolong orang gemuk sejak lama.

Namun, karena tidak mau larut dalam pertanyaan, dia pun lantas mengeceknya ke Yayasan Kanker Indonesia pada Desember 2017. Hasilnya hanyalah kista, dan tidak berpotensi menjadi kanker.

“Saya tanya bisa nggak sih ini bisa berubah jadi kanker, mereka jawab, `oh nggak, tenang aja, ibu nggak usah pikir kanker lah, paling enam bulan lagi balik, karena ada satu atau dua yang ukurannya hampir satu centimeter`. Waktu itu dia bilang hanya disedot saja, satu titik biayanya 200 ribu di YKI. Ya sudah karena saya pikir nggak terlalu mahal, akhirnya saya pikir untuk kanker payudara saya sudah aman,” katanya.

Melihat kondisinya seperti itu, kakak Juniarti menyarankan untuk periksa kembali. Namun, dia tidak mengikutinya. Dia hanya rajin berolahraga agar tidak terlalu gemuk. Tetapi setelah beberapa lama, kakak Juniarti kembali mengingatkannya untuk menjalani pemeriksaan kembali.

Dia mengaku kakaknya takut seperti yang dialami ibunya. Ibu dari Juniarti meninggal dunia karena kanker payudara karena baru diketahui setelah memasuki stadium tingkat tinggi atau sudah ganas.

Saran dari kakaknya itu kali ini diikutinya. Pada tanggal 4 Januari 2018, Juniarti memeriksakan diri ke puskesmas. Lagi-lagi jawaban yang sama didapatnya. Namun, saat itu pihak Puskesma menyarankannya untuk menjalani pemeriksaan lanjutan ke rumah sakit Budiasih.

 

Dari rumah sakit ini dia di rujuk ke beberapa rumah sakit, dan yang dipilih Juniarti adalah Rumah Sakit Persahabatan Bekasi. Lagi-lagi hasilnya masih sama, bukan kanker. Namun, pada saat itu kistanya sudah banyak. Juniarti pun disarankan untuk menjaga hormonnya.

Setelah diperiksa pada minggu keempat bulan April 2018, Juniarti divonis mengidap kanker ganas Pada saat itu hormone estrogennya dan progesterone sudah positif, begitu juga  HER2-nya sudah positif dan kecepatannya menjalarnya sudah 70 persen.

Pengobatan terhadap kankernya dimulai bulan Mei 2018. Saat itu dokter yang menanganinya memberitahu bahwa obat Trastuzumab yang digunakan untuk penyakitnya sangat mahal.

“Saya tanya memang berapa dok? Bisa 40 jutaan satu paket, tapi dia bilang, tenang aja, ditanggung BPJS kok, itu masih di Bulan Mei. Saya agak tenang dong, itu yang bilang dokter Budi Harapan Siregar,” katanya.

Apa yang disampaikan oleh dokter tersebut ternyata berbeda dengan praktiknya. Kalau tadi dokter mengatakan masih ditanggung BPJS, ternyata saat itu sudah tidak ditanggung. Meski begitu, pernyataan dokter tersebut menjadi pegangan Juniarti, hingga akhirnya ia menggugat  pemerintah.

Memulai Perjuangan di Pengadilan

Perjalanannya mencari keadilan pun dimulai pada tanggal 27 Juli 2018. Saat itu, Juniarti bersama dengan suaminya memutuskan untuk mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan diwakili oleh Tim Kuasa Hukumnya yang bernama Tim Advokasi Trastuzumab. 

Ia menggugat Jokowi karena BPJS bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.  Menurutnya, Jokowi layak digugat karena dialah yang memberikan tanggung jawab kepada BPJS Kesehatan. Sementara Menkes Nila F Moeloek ikut digugat karena Formularium Nasional dikeluarkan harus berdasarkan persetujuan dari Menkes.

Gugatan juga ditujukan kepada Dewan Pertimbngan Klinis karena dialah yang mengeluarkan saran kepada BPJS Kesehatan untuk menghentikan jaminan obat Trastuzumab tersebut.

Penghentian penjaminan obat Trastuzumab oleh BPJS Kesehatan bermula dari Surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan R. Maya Armiani Rusady yang bernomor 2004/III.2/2018 tertanggal 14 Februari 2018. Surat itu ditujukan kepada Kepala Cabang BPJS di seluruh Indonesia untuk menghentikan penjaminan terhadap obat trastuzumab sejak 1 April 2018.

Juniarti mengatakan gugat ke pengadilan adalah satu-satunya cara agar dirinya tidak tertekan dalam menjalani proses pengobatan kanker yang dideritanya. Karena itu dia mengaku tidak gentar, apalagi didukung oleh rekan-rekannya saat masih kuliah dan pengacara dari tempat dirinya magang dahulu.

”Jadi saya pikir, kita gugat, karena apa pun yang terjadi lebih baik kita berjuang habis-habisan. Memang belum tentu sih, kan kata suami saya, kalau pengadilan kan lama, saya bilang nggak apa-apa, lebih baik gugat, yang pentig ada perjuangan dari kita, daripada kita hanya diam dan menerima nasib,” katanya semangat.

Gugatan ke pengadilan sebenarnya langkah lanjutan ketika dalam dua mediasi sebelumnya (tanggal 3 dan 23 Juli 2018) dengan BPJS Kesehatan tidak berjalan dengan baik.

BPJS Kesehatan, cerita Juniarti, selalu berkelit dan bahkan malah mengarahkan Juniarti dan sang suami untuk mencari obat jenis lainnya, menggantikan Trastuzumab. Akibatnya nyawa Juniarti terancam.

Meski membutuhkan waktu yang agak lama, sekitar dua minggu setelah mendaftarkannya, gugatan Juniarti ditanggapi pengadilan. Namun, saat persidangan dimulai, lagi-lagi itikad baik dari pemerintah tidak ada. Hal itu terbukti dengan nihilnya hasil pada dua sidang yang dijalankan.

Pada sidang pertama misalnya, dari pihak Presiden Jokowi tak hadir, sementara dari pihak BPJS hadir dalam persidangan, namun tidak membawa surat tugas. Hal serupa juga terjadi pada sidang kedua, dari pihak Presiden Jokowi sudah hadir tapi tidak mengantongi surat kuasa, sehingga sidang pun kembali ditunda.

Barulah pada sidang ketiga yang berlangsung pada tanggal 18 September 2018, semua pihak hadir. Pada saat itulah, Hakim Ketua Maria Taat Anggarasih menunjuk hakim Mediator Indrawati untuk mencoba upaya perdamaian antara para pihak. Mediasi pada hari pertama itu, kata Juniarti hampir gagal.

Hasil positifnya baru terwujud pada mediasi kedua tanggal 24 September 2018, BPJS kesehatan akhirnya bersedia menjalankan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 tahun yang menyatakan secara tegas menjamin kembali Trastuzumab untuk penderita kanker payudara HER2 Positif dan metastasis seperti yang dialami Juniarti.

Juniarti mengatakan aturan terbaru itu diundangkan tanggal 23 Juli 2018 oleh Kementerian Hukum dan HAM tentang Permenkes Nomor 22 Tahun 2018, tentang Petunjuk Teknis  Restriksi penggunaan obat Trastuzumab, untuk kanker payudara metastatic pada pelayanan jaminan kesehatan nasional; yang baru ditandatangani Menkes Nila F Moeloek tanggal 8 Juni 2018.

Di situ dijelaskan dengan tegas bahwa Trastuzumab adalah obat yang masih harus ditanggung BPJS untuk penderita kanker payudara HER2 Positif, metastasis (+++).

“Dengan aturan baru ini, BPJS tidak bisa berdalih bahwa Trastuzumab tidak efektif secara medis, apalagi karena harganya mahal, mencapai Rp25 juta satu paket,” tegas Juniarti.

Karena kesepakatan kedua belah pihak untuk berdamai, maka dibuatlah Akta Perdamaian pada tanggal 27 September 2018. Tujuannya adalah untuk mengakhiri sengketa atau kesalahpahaman antara para pihak. Dengan demikian pemberian obat Trastuzumab oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan.

Juniarti adalah pahlawan bagi para penderita kanker payudara. Semoga perjuangannya akan terus memberi inspirasi bagi mereka yang tertindas dan mengalami ketidakadilan.

 

(Nikolaus Tolen\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar