Tulisan: 3

Lucas Manfaatkan Fasilitas Red Carpet untuk Larikan Eddy Sindoro

Rabu, 06/03/2019 19:59 WIB
Fasilitas red carpet rentan disalahgunakan (ilustrasi: airportredcarpet)

Fasilitas red carpet rentan disalahgunakan (ilustrasi: airportredcarpet)

law-justice.co - Tidak ada kejahatan yang sempurna dan tanpa meninggalkan jejak. Ungkapan ini tepat ditujukan kepada mantan Presiden Direktur Lippo Group Eddy Sindoro yang berupaya kabur menghindari proses hukum yang menjeratnya. Eddy adalah tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diduga melakukan penyuapan kepada Panitera Pangadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution agar dapat mengintervensi putusan terkait perkara-perkara yang dijalani perusahaan-perusahaan di bawah Lippo Group.

Ceritanya bermula ketika pada 4 Desember 2016, Eddy yang saat itu berstatus sebagai tersangka menghubungi Lucas, menyatakan dirinya ada di luar negeri. Eddy sebenarnya mengungkapkan niatnya pulang ke Indonesia untuk menjalani proses hukum. Namun ide tersebut tidak didukung Lucas, advokat lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Sebaliknya, dia menyarankan agar Eddy tidak kembali ke tanah air.

“Terdakwa juga menyarankan Eddy melepas status sebagai Warga Negara Indonesia dan membuat paspor negara lain agar dapat melepaskan diri dari psose hukum di KPK. Atas saran tersebut, dibantu Chua Chwee Chye alias Jimmy alias Lie, Eddy bikin paspor palsu Republik Dominika,” kata Abdul Basir, Jaksa Penuntut Umum KPK yang membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Rabu (7/11/2018).

Paspor palsu Republik Dominika Nomor RD4936460 atas nama Eddy Handoyo Sindoro berhasil dibuat. Eddy pun leluasa berpindah-pindah negara saat dalam pelarian. Pelarian Eddy di luar negeri akhirnya berakhir di Bandara Internasional Kuala Lumpur saat dia ditangkap petugas imigrasi pada 5 Agustus 2018 karena kedapatan menggunakan paspor palsu.

Sepuluh hari kemudian, pihak Malaysia menyatakan Eddy bersalah. Hukumannya denda RM 3000 atau dipenjara 3 bulan. Eddy Sindoro memilih membayar denda. Ia pun diputuskan untuk dideportasi ke Indonesia.

Tiba di Indonesia, Eddy justru berhasil kembali melenggang kabur ke Thailand, beberapa saat saja setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Pengawasan yang lemah terutama kepada para pengguna fasilitas VIP Bandara serta keterlibatan oknum instansti terkait menjadi celah bagi pengacaranya Lucas untuk mengatur skenario, yakni membawa kabur kembali Eddy Sindoro ke luar negeri sesaat setelah mendarat di Indonesia. Yang pasti, Lucas memanfaatkan celah fasilitas VIP berbayar yang biasanya disediakan maskapai penerbangan tertentu.

Tengok saja situs resmi Air Asia tentang promosi layanan Red Carpet bagi penumpang VIP yang mencakup area check-in khusus, pemuatan dan pelabelan bagasi prioritas, akses ke lounge, juga pengantaran bagasi prioritas saat kedatangan.Fasilitas red carpet rentan disalahgunakan, apalagi jika ada ‘orang dalam’ yang terlibat.

Untuk rencana tersebut, Lucas meminta bantuan seseorang bernama Dina Soraya. Dia berperan sebagai operator lapangan. Lucas menghubungi Dina karena dianggap punya koneksi yang baik di airport. Dina adalah mantan sekretaris pengusaha minyak terkenal Muhammad Riza Chalid yang pernah menjadi komisaris Air Asia. Sebagai catatan, Eddy menumpang pesawat Air Asia AK 380 saat dideportasi dari Malaysia.

Teknis penjemputan kemudian dibahas Dina bersama Dwi Hendro Wibowo alias Bowo di Restoran & Café Lot 9 Tangerang. Kelak saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (13/12/2018) untuk terdakwa Lucas, Bowo menjelaskan tugas dan tanggung jawabnya: “saya bekerja sebagai ground staff pada Air Asia yang diminta oleh Reza Chalid melalui perusahaan bernama Rama Putra Investindo. Saya bertanggung jawab kepada Dina Soraya yang sering menugaskan saya untuk melakukan proses pemberangkatan dan penjemputan orang ataupun barang yang diminta oleh Dina Soraya.”

Berdasarkan catatan biodata, Bowo memang orang yang tepat untuk melaksanakan tugas penjemputan. Dia telah malang melintang di bandara, pernah bekerja sebagai staf ground handling di Gapura Angkasa selama 7 tahun (2000-2007), sebagai perwakilan Vietnam Airlines di airport (2007-2010), manajer sapphire untuk Angkasa Pura Solusi selama enam tahun mulai 2010 dan terakhir menjabat special assistant Komisaris Air Asia sejak 2016.

Dalam pertemuan yang berlangsung pada 18 Agustus 2018, Dina meminta Bowo menjemput Eddy Sindoro di bandara sesaat tiba dari Malaysia. Dina berjanji akan memberikan Rp 250 juta kepada Bowo. Atas permintaan itu, Bowo menyetujuinya.

Dua hari kemudian Dina kembali bertemu Bowo yang kali ini mengajak rekannya Yulia Shintawati, duty executive PT Indonesia Air Asia. Hari itu detil rencana membawa kabur kembali Eddy Sindoro ke luar negeri dibahas, termasuk pilihan menggunakan pesawat Garuda Indonesia untuk menerbangkan Eddy kembali ke Bangkok. Dina kemudian melaporkan kepada Lucas bahwa petugas bandara siap membantu pelarian Eddy Sindoro. Atas kesediaan Bowo, Dina memberikan imbalan SGD 33 ribu.

Pada 29 Agustus 2018 Eddy Sindoro yang menumpang pesawat Air Asia mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pukul 08:00 WIB. Dia terbang bersama putranya Michael Sindoro dan Chua Chwee Chye alias Jimmy alias Lie. Sesuai rencana, Bowo bersama Yulia menjemput para tamu VIP tersebut langsung di depan pesawat dengan menggunakan mobil AirAsia. Mereka segera dibawa menuju Gate U8 terminal 3 tanpa melalui pemeriksaan imigrasi.

Urusan imigrasi menjadi perkara penting saat Lucas menyusun rencana. Dia berusaha sebisa mungkin agar Eddy tak melalui pemeriksaan imigrasi. Untuk memastikan agar mereka lolos pemeriksaan, Bowo telah memerintahkan petugas imigrasi bandara bernama Andi Sofyar untuk standby di terminal 3, mengecek pencegahan dan pencekalan Eddy Sindoro.

Sementara itu pada saat yang bersamaan Bowo meminta M. Ridwan, staf customer service Gapura untuk mencetak boarding pass atas nama Eddy Sindoro, Michael Sindoro dan Chua Chwee Chye tanpa mengecek identitas mereka. Tepat pukul 09.23 WIB Eddy Sindoro dan Jimmy akhirnya dapat langsung terbang ke Bangkok. Sedangkan Michael Sindoro membatalkan penerbangannya.

Semua berlangsung begitu cepat dan mulus. Pertanyaannya, kok bisa lolos?

Sebenarnya menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Bandara Soekarno-Hatta, M T Setiawan, seseorang yang telah masuk dalam daftar cekal akan sulit lolos. Dia seharusnya tidak dapat meninggalkan bandara karena komputer akan langsung memunculkan tanda merah menandakan orang tersebut tidak memenuhi syarat keimigrasian.

“Kalau orang berangkat ke luar negeri harus pakai paspor, tidak termasuk dalam daftar cekal, dan memiliki tiket. Kalau memenuhi syarat ya berangkat. Dan satu hal lagi, semua datanya harus sesuai,” kata Setiawan kepada law-justice.co

Terkait kasus Eddy Sindoro, Setiawan mengaku ada keterlibatan pegawai. “Itu kan oknum, dan orangnya kan sudah diproses. Kalau melalui sistem kita dia tidak akan bisa, kalau dia masuk langsung kelihatan foto dan datanya.”

Petugas di bagian IT yang mengontrol sistem keimigrasian secara online perlu ditanamkan betul integritasnya. “Kalau dia tidak kuat integritasnya, berapa detik saja, bisa lolos itu. Itu sebabnya integritas harus dididik dan dijaga,” kata Setiawan. Apalagi menurut dia banyak cara kerap dilakukan oknum seperti misalnya lampu tiba-tiba padam. Saat itulah kesempatan meloloskan mereka yang masuk dalam daftar cekal.

Karena, seperti disampaikan Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala kepada law-justice.co bahwa red notice tidak mungkin bisa dimainkan. “Karena prosesnya panjang dan berat. Yang mengeluarkan red notice kan Interpol Pusat di kota Liong, Perancis. Jadi seluruh kepolisian yang menjadi cabang dari Interpol tergabung dalam satu database. Jadi dikelola oleh Interpol, dan Indonesia berstatus sebagai NCB [National Coordinating Biro]/ Biro Koordinasi Nasional. Nah databasenya, sistemnya, sistem Interpol.”

Penjelasan yang paling masuk akal ketika seseorang yang berstatus DPO lolos dari pantauan imigrasi adalah karena ada keterlibatan orang dalam khususnya bagian IT.

“Itu perlunya diadakan pengawasan. Kita kasih dia akses, tapi kita pegang dia. Ada IT dan ada pejabatnya yang mengawasi operator IT. Jadi dia nggak bisa macam-macam juga. Kita ada sisitem, kita ada server, jadi dia nggak bisa apa-apa,” tambah Setiawan.

Fasilitas red carpet: Ada Uang, ada Services

Menurut Juru Bicara Bandara Soekarno-Hatta, Denny Bagoes Irawan, fasilitas VIP di bandara ada berbagai jenis, yang berbayar dan fasilitas khusus bagi pejabat. “Yang berbayar itu bisa dibayar oleh penumpang…Ketika tiba pun, yang namanya orang mau bayar lebih ya layanan pun ketika tiba di bandara dia akan disambut oleh pihak maskapai, dan bukan dari kami (AP II),” katanya kepada law-justice.co.

Angkasa Pura II, sebagai pengelola bandara, hanya menyediakan gedung. Sementara kelengkapan dan fasilitas gedung menjadi tanggung jawab masing-masing instansi. “Misalnya Imigrasi, dia mau ada body-scan, atau buat pemeriksaan paspor. Itu kewenangan mereka termasuk hendak ditaruh dimana. Kita cuma menempatkan saja. Maskapai juga seperti itu. Apa saja fasilitas VIP, itu yang mengisi airline. Kita yang membangun (Gedung). Karena mereka bayar ke kita, ibaratnya mereka ngontraklah, sewa ke kita,” tambah Denny.

“Terkait kasus Eddy Sindoro…itu bukan kewenangan bandara. Itu kewenangan maskapai dan imigrasi, karena Bandara (AP II) ini kan hanya untuk transfer, AP II itu hanya sebagai fasilitas, ada pun penggunannya, itu masing-masing dari instansi terkait,” imbuhnya.

Laporan: Nikolaus Tolen, Winna Wijaya, Nebby Mahbubir Rahman

(Rin Hindryati\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar