Mafia di Balik Kontroversi RUU Permusikan

Minggu, 10/02/2019 09:06 WIB
Foto: KNT RUUP

Foto: KNT RUUP

Jakarta, law-justice.co - Para musisi Indonesia, ramai-ramai memprotes isi  rancangan undang-undang (RUU) Permusikan yang dinilai tidak pro seniman, namun justru memberikan banyak batasan yang tidak masuk akal.

Dari 55 pasal yang termaktub di RUU tersebut, sekitar 19 pasal dianggap bermasalah. Contohnya, di dalam pasal 5 dan 50,  tidak memberikan batasan yang jelas bahwa seorang musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, memprovokasi pertentangan antar kelompok, menodai nilai agama dan membawa pengaruh negatif budaya asing. Semua itu dapat berujung pada ancaman pidana bagi musisi. 

Selain itu, di pasal 10 dikatakan, distribusi terhadap karya musik dilakukan oleh label rekaman. Beleid ini dianggap merugikan musisi independen (indie) dan hanya menguntungkan perusahan label rekaman besar.

Namun yang paling aneh lagi, adanya peraturan yang mengharuskan musisi untuk melakukan uji kompetensi yang dimasukkan dalam beberapa pasal yaitu 19,20,21, 31,32, 33 dan 51. Hal ini jelas-jelas akan merugikan musisi yang tidak memiliki pendidikan formal, karena tidak dapat menyelenggarakan pertunjukkan musiknya sendiri.

Praktisi dan akademisi musik, Profesor Tjut Nyak Deviana secara tegas menolak RUU Permusikan ini. Ia beralasan rancangan undang-undang ini tidak mewakili bahasa musik yang diimplementasikan dalam bahasa hukum yang baik.

Selain itu, pengajar di Institut Musik Daya Indonesia itu bahkan menyebutkan, 95 persen isinya harus direvisi karena tidak merangkul semua pemangku kepentingan dan banyak pasal yang membingungkan pemaknaannya.

Dari judulnya saja, RUU ini, lanjut Deviana sudah tidak jelas. Kata permusikan memiliki makna yang terlalu luas. Ia menyarankan pemilihan judul dilakukan dengan lebih spesifik, misalnya Tata Kelola Musik Indonesia atau Ekosistem Musik, seperti istilah yang kerap digunakan oleh Glenn Fredly. Hal itu untuk memfokuskan pada persoalan-persoalan spesifik dan mendalam yang diatur dalam RUU ini.

Ramai-ramai Menolak RUU Permusikan

Draf RUU Permusikan sebenarnya sudah rampung pada 15 Agustus 2018 lalu. Prosesnya termasuk cepat sejak diajukan Komisi X ke Badan Legistasi (Baleg) DPR, tahun 2017 silam. Namun, entah disengaja atau tidak, draf tersebut baru sampai ke publik akhir Januari tahun ini.

Reaksi masyarakat terutama para musisi yang menolak rancangan tersebut mulai bergaung keras. Salah satunya dari Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNT RUUP) yang beranggotakan 260an musisi. Pasalnya, ketika naskah itu ditelaah, seperti yang dikatakan Deviana, banyak persoalan mendasar, baik dalam naskah akademik mau pun draf RUU tersebut.

Koalisi ini lalu melakukan protes dengan cara menginisiasi petisi di situs www.change.org yang sampai tulisan ini diturunkan, sudah mendapat dukungan hampir mencapai 265.000 tanda tangan, dan membuat situs www.tolakruupermusikan.com,

Bila menengok bagaimana proses rancangan undang-undang ini dibuat, tidak heran jika banyak bolongnya. Sejak Maret 2017, Wendi Putranto, pegiat industri musik, yang juga manajer grup musik Seringai, mengaku, Anang Hermansyah anggota Komisi X DPR RI, rajin mengirimkan surat elektronik kepada dirinya, terkait perkembangan RUU yang awalnya bernama Tata Kelola Industri Musik itu.  

Sayangnya, Anang sama sekali tidak pernah mengirimkan naskah akademiknya. Hal ini pula yang membuat Wendi tidak mau ikut ketika Glenn Fredly  mengajaknya bertemu dengan Ketua DPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) di kompleks parlemen  untuk mengawal pembahasan RUU Permusikan, Senin (29/1).

“Seminggu yang lalu saya diundang oleh Glenn  bertemu Pak Bamsoet, untuk  beraudiensi dan  mempertanyakan  kelanjutan RUU Permusikan itu. Saya tolak, karena belum baca RUU-nya dan was-was juga jika nanti diminta untuk mendeklarasikan dukungan pada RUU itu,” kata Wendi, yang juga bergabung dalam KNT RUUP.

Berawal dari Konsep Tata Kelola Industri Musik

Glenn Fredly, Ketua Kami Musik Indonesia (KMI) adalah salah satu musisi yang sejak lama mengetahui tentang rencana DPR untuk membuat undang-undang tentang musik.  Tahun 2015, Glenn yang juga bergabung dalam Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI), diundang untuk dengar pendapat dengan para anggota Komisi X DPR RI.

Saat itu, ia bersama beberapa musisi lainnya diminta pendapat tentang persoalan industri musik di Indonesia. Sebagai musisi yang pernah mendapat masalah dengan salah satu perusahaan musik pada tahun 2010, Glenn antusias menyambut rencana Komisi X untuk membuat undang-undang (UU) tentang tata kelola industri musik.

Namun, baru dua tahun kemudian, sekitar pertengahan 2017, Glenn diajak berdiskusi oleh Anang Hermansyah, musisi yang juga anggota Komisi X DPR. Saat itu, Anang kembali menyampaikan rencana anggota dewan untuk membuat UU tentang musik. Ia meminta saran Glenn, apa yang sebaiknya dilakukan dengan rencara tersebut.

“Pertama-tama harus disosialisasikan dan musisi harus dilibatkan. UU ini harus menjadi milik semua musisi Indonesia,” kata Glenn. Ia bersedia membantu untuk mengabarkan rencana tersebut kepada para musisi lainnya. Mereka nantinya akan dimintai pendapat tentang isi draf RUU yang akan dirumuskan.

 “Akhirnya kami kumpul dengan teman-teman musisi di Kemang untuk membicarkan rencana dengar pendapat. Di sana, curhatan tentang masalah industri musik kita disampaikan,” ungkap Glenn. Pertemuan itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya gerakan KMI, sebagai wadah bersama untuk menyampaikan permasalahan industri musik kepada anggota dewan. 

Pada 7 Juni 2017, KMI mendatangi gedung DPR untuk memenuhi undangan dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR RI. Saat itu, kata Glenn, pihaknya sudah membawa naskah akademik tentang tata kelola industri musik, yang dibuat oleh Profesor Agus Sardjono, pakar Hukum Dagang dan Hukum Kekayaan Intelektual FHUI.

Glenn Fredly, Ketua KMI (foto: law-justice.co/Januardi Husin)

Glenn melanjutkan, dalam bayangannya, UU tentang tata kelola industri musik menciptakan sebuah sentradata permusikan di Indonesia yang saling terhubung. Hal itu diperlukan untuk menentukan pola bisnis permusikan di Indonesia yang saat ini beralih seiring dengan perkembangan dunia digital.

“Ketika pola bisnis itu berubah, akan mempengaruhi indsutrinya itu juga. Terus bagaimana nasib kami para musisi Indonesia? Perlu diingat, 50 tahun perjalanan musik di Indonesia, yang selalu terlewatkan adalah konteks perlindungan untuk para musisinya,” ujarnya.

Namun, setelah menyampaikan pendapatnya, KMI tidak pernah lagi dilibatkan dalam proses penggodokan draf RUU Permusikan di DPR. Glenn, mengaku baru mendengar lagi rencana tentang RUU Permusikan saat akan digelar Konferensi Musik Indonesia, Maret 2018 di Ambon, Maluku.

Waktu itu, agendanya adalah membahas musik sebagai ketahanan kebudayaan, musik sebagai kekuatan ekonomi baru ke di masa depan, dan musik dalam konteks pendidikan. Dari tiga tema besar itu melahirkan 12 poin deklarasi yang kemudian diberikan langsung kepada Presiden Joko Widodo.

Anang Hermansyah mengatakan, 12 poin deklarasi hasil dari konferensi di Ambon, menjadi salah satu yang dijadikan dasar Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR dalam menyusun naskah akademik.

RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018 yang saat ini beredar di publik, menurut Anang merupakan usulan inisiatif DPR yang berasal dari BKD DPR RI dan diusulkan secara resmi oleh Baleg DPR RI sebagai inisiatif DPR dalam sidang paripurna DPR pada 2 Oktober 2018. "Nah, pada sidang paripurna DPR pada 31 Oktober 2018, RUU Permusikan resmi masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2019," jelasnya.

DPR Jalan Sendiri

Glenn mengaku kaget dengan pasal-pasal yang ada dalam RUU Permusikan. Ia merasa tidak pernah memberi masukan terkait apa saja yang diatur dalam RUU Permusikan saat ini. Bagi Glenn, 12 poin hasil konferensi musik di Ambon, telah berproses sendiri di BKD sehingga menghasilkan produk RUU seperti yang diributkan banyak orang saat ini.

“Ketika telah berubah menjadi RUU Permusikan. Saya enggak tahu sama sekali kalau akan seperti itu drafnya. BKD telah berproses sendiri tanpa melibatkan kami,” tegas Glenn.

Pernyataan Glenn ini dibantah oleh Inosensius Samsul, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang DPR. Inosensius adalah penanggung jawab naskah akademik RUU Permusikan.

Saat ditemui di kantornya, Kamis (7/2) ia mengatakan, selain ahli hukum, pihaknya juga melibatkan Glenn Fredly selaku musisi.  Tapi, jika melihat susunan tim kerja naskah akademik dan RUU Permusikan yang sampai ke redaksi,  tidak terlihat satu pun nama musisi yang tercantum di situ.

Susunan tim kerja penyusunan naskah akademik dan RUU Permusikan 2018 (foto: Ist)

Glenn bersama KMI sepakat bahwa perlu banyak perbaikan dalam draf tersebut, karena  tidak sesuai dengan apa yang sudah disampaikan saat dengar pendapat dengan badan legislatif DPR.  “Sudah enggak mengatur tentang tata kelola industri musik, tapi merenggut kebebasan berekspresi musisi,” cetusnya.

Walau pun tidak setuju dengan draf yang ada saat ini, Glenn memiliki sikap yang berbeda dengan gerakan KNT RUUP. Daripada menolak, ia memilih terus mendorong para musisi agar membantu melakukan revisi menyeluruh terhadap draf tersebut. Jika perlu, revisinya dimulai dari naskah akademik yang dianggap bermasalah.

Gara-gara RUU Permusikan,  para musisi di Indonesia terbelah dalam tiga kelompok,  ada yang menerima, merevisi, dan menolak rancangan undang-undang ini.  Pihak yang berseberangan menuding koalisi ini terlalu dini menunjukan sikap, karena pembahasan RUU ini masih berada pada tahap awal dan pembahasannya pun masih berlangsung sampai saat ini.

Lepas apakah akan ada revisi atau bahkan dibatalkan, draf RUU Permusikan setidaknya telah memberikan gambaran, siapa sebenarnya yang bakal mengeruk keuntungan dari undang-undang tersebut. Menyuarakan kepentingan siapakah sebenarnya pasal-pasal yang ada di dalamnya? Benarkah perusahan label rekaman besar merasa dipojokkan dengan adanya RUU ini? 

Laporan: Januardi Husin, Teguh Vicky Andrew, Winna Wijaya

 

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar