Menguak Potensi Korupsi dan Kooptasi Oligarki Dalam Skandal Pertambangan di Pulau Kecil

Alarm Dari Raja Ampat, Stop Eksploitasi Tambang Pulau Kecil Indonesia

Sabtu, 14/06/2025 17:36 WIB
Ilustrasi. (chatGPT)

Ilustrasi. (chatGPT)

law-justice.co - Kawasan Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat Daya lagi-lagi menjadi pusat pemberitaan, namun kali ini bukan keindahan terumbu karang dan habitat lautnya. Raja Ampat heboh oleh fakta adanya kegiatan tambang di kepulauan kecil tersebut. Sebuah kontras terjadi, kepulauan yang didaku sebagai pusat konservasi alam yang telah diakui Unesco, kini harus berhadapan dengan eksploitas alam demi tambang nikel. Kuatnya aroma korupsi dan kooptasi oligarki pun menyertai sejumlah keganjilan ini.

Raja Ampat sudah kadung diketahui publik luas sebagai konotasi keindahan. Raja Ampat terkenal dengan pulau-pulaunya yang tropis, perairan yang kaya akan kehidupan laut, formasi karst dan hutan yang masih asri. Kawasan ini telah  menjadi destinasi impian bagi para wisatawan Indonesia serta penyelam dari seluruh dunia. National  Geographic dan The New York Times telah memasukkan Raja Ampat dalam daftar destinasi teratas untuk tahun 2025 sementara CNN Travel menyebutnya sebagai ‘Surga Terakhir di Bumi’.

Tak heran, jika seorang selebgram Angela Gilsha pun merasa takjub dengan pemandangan yang disajikan kawasan ini. “Pertama kali aku ke Raja Ampat dan aku nggak pernah lihat koral dan ikan-ikan di lautan yang benar-benar kelihatan dari pesisir. Pokoknya apa ya, koral yang ada di Raja Ampat itu aku nggak pernah lihat di tempat lain,” ujarnya kepada Law-justice, Kamis (12/6/2025).

Keindahan gugusan Kepulauan Raja Ampat kini terancam oleh aktifitas tambang nikel. (Greenpeace)

Namun, Angela tidak semata menyaksikan keindahan Raja Ampat saja. Dia juga menjadi saksi adanya aktifitas pertambangan nikel di kawasan ini. Dia merasa ini adalah bagian sedih dari perjalannya, saat dia melihat langsung aktivitas tambang di depan mata. “Selama ini aku kira kayak ya Raja Ampat fine-fine aja. Tapi ternyata emang beberapa pulau di sana sedang dalam bahaya sih lagi. lagi di, apa namanya, ada tambang nikelnya,” ujarnya.

Angela berkunjung ke Raja Ampat bukanlah hendak berwisata. Dia menjadi bagian dari tim investigasi dari Greenpeace Indonesia yang melakukan investigasi terhadap dugaan pertambangan bikel di kawasan ini.

Sebagai pecinta wisata bawah laut, Angela dikagetkan dengan keberadaan tambang nikel di wilayah Global Geopark UNESCO. Angela juga menceritakan pengalamannya yang dikejar oleh petugas keamanan tambang nikel di Pulau Kawe saat sedang mengambil gambar.  “Saya sempat kaget, karena saya berpikir… ini ada izinnya, kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela yang mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.

Fakta adanya tambang di Raja Ampat lantas menjadi perbicangan di sosial media. Tagar #saveRajaAmpat pun mendominasi percakapan. Aksi ini lantas menemukan momentumnya saat aktifis Greenpece Indonesia melakukan interupsi saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno memberikan sambutan dalam pembukaan Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025 di hotel Pullman, Grogol Petamburan, Jakarta, Selasa (3/6/ 2025).

Polemik pun menyambar ke dunia politik nasional. Akibat polemik tersebut, Presiden Prabowo Subianto memutuskan mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi di kawasan Raja Ampat, Papua Barat. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan pencabutan dilakukan atas berbagai pertimbangan dan persetujuan Prabowo. "Kemarin bapak Presiden memimpin ratas bahas IUP di Raja Ampat ini dan atas persetujuan presiden, kami memutuskan bahwa pemerintah akan mencabut IUP untuk 4 perusahaan di Kabupaten Raja Ampat," ujar Prasetyo dalam konferensi pers, Selasa (10/06/2025).

Prasetyo menyampaikan bahwa pencabutan izin usaha tambang di empat perusahaan itu dilakukan berdasarkan arahan langsung dari Presiden Prabowo. Empat perusahaan tersebut, yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. "Kami diminta oleh Bapak Presiden untuk menyampaikan kepada seluruh masyarakat dengan memberikan himbauan bahwa kita semua harus kritis dan waspada dalam menerima informasi-informasi publik. Kemudian juga harus waspada untuk mencari kebenaran-kebenaran kondisi objektif di lapangan," ungkapnya.

Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan bila pemerintah memutuskan mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. "Yang kita cabut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Ini yang kita cabut," dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (10/6/2025).

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. (Kompas)

Menurut Bahlil, terdapat sejumlah alasan yang menyebabkan pemerintah mencabut empat IUP tersebut. Pertama, secara lingkungan atas apa yang disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq itu merupakan pelanggaran. "Yang kedua adalah kita juga turun mengecek di lapangan kawasan-kawasan ini menurut kami harus kita lindungi dengan tetap memperhatikan biota laut dan konservasi," ujarnya.

"Sekalipun memang perdebatan yang akan terjadi adalah izin-izin ini diberikan sebelum kita tetapkan ini sebagai kawasan geopark," sambungnya.

Tetapi, lanjut Bahlil, Presiden punya perhatian khusus dan secara sungguh-sungguh untuk menjadikan Raja Ampat tetap menjadi wisata dunia dan keberlanjutan negara. "Jadi ditanya apa alasannya, alasannya adalah pertama memang secara lingkungan. Yang kedua adalah memang secara teknis setelah kami melihat ini sebagian masuk di kawasan Geopark. Dan ketiga keputusan ratas dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga adalah melihat dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi," ungkapnya.

Pencabutan empat IUP di Raja Ampat tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan yang telah berlangsung. Preseden tentang pengaktifan kembali IUP yang telah dicabut sudah pernah terjadi di Raja Ampat.

Hal ini menandakan bahwa ancaman kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat belum sepenuhnya hilang dengan pencabutan izin. “Kami khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu, Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus memantau supaya Raja Ampat betul-betul dilindungi. Pemerintah harus melindungi seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana penambangan nikel serta rencana pembangunan smelter di Sorong,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Arie juga menyebut pemerintah semestinya mencabut pula izin PT Gag Nikel, demi pelindungan Raja Ampat secara menyeluruh.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. (Law-justice)

Hal senada pun disampaikan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik. Dia mendesak pemerintah untuk mencabut izin PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Hal itu karena perusahaan tambang itu jelas telah melanggar aturan pemerintah dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2024 Tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya. Dalam beleid itu ditegaskan bahwa pulau sangat kecil yang luasnya kurang dari 10.000 hektar dilarang ditambang. “Kami minta itu dievaluasi padahal jelas bahwa pulau kecil dan Gag itu sangat kecil sekali mikro Island, kurang dari 10.000 hektar sehingga tidak bisa ditambang. Jelas permennya, peraturan negeri KKP secara jelas bilang bahwa penambangan mineral batubara di pulau kecil tidak boleh,” ujarnya dalam program Rosi yang disiarkan Kompas TV, Kamis (12/6/2025).

Muhammad Jamil Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menilai sulitnya pencabutan PT Gag Nikel yang berstatus kepemilikan BUMN Antam atas operasional pertambangan di kawasan Raja Ampat lantaran adanya intervensi negara. Secara hukum, korporasi itu semestinya bisa dengan mudah dicabut izinnya oleh negara. Ini diperparah lantaran dugaan korupsi santer dalam proses perizinan korporasi yang diakusisi negara pada 2008 silam itu. “Proses perizinan PT Gag Nikel ini kuat sekali aroma korupsinya,” kata Jamil kepada Law-justice, Jumat (13/6/2025).

Adapun Gag Nikel mendapat kontrak karya dari pemerintah pada masa orde baru 1998. Lalu setahun berselang terbit Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menjelaskan bahwa pertambangan di kawasan hutan lindung adalah kegiatan yang dilarang sehingga wajib menggunakan metode penambangan bawah tanah. “Tapi ternyata Gag Nikel beroperasi di lahan terbuka sebelum UU ini ada dan setelah terbit pun masih meneruskan,” kata Jamil.

Menyiasati beleid itu, terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang berada di kawasan hutan. Keppres itu diteken langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebanyak 12 korporasi tambang termasuk Gag Nikel mendapat izin menambang di kawasan terbuka sehingga leluasa membuka lahan.

Jamil juga menyoroti perubahan kebijakan hukum untuk tambang nikel pada medio 2009. Kala itu,  terdapat perubahan fundamental yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena tambang di Indonesia wajib memiliki izin usaha pertambangan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. “Tapi apa yang terjadi dengan Gag nikel. Harusnya kan tahun 2010 menjadi IUP-K. Namun yang dilakukan GAG nikel adalah tidak melakukan penyesuaian menjadi IUP-K sampai tahun 2010,” ujar Jamil.

Lalu tiba-tiba pada 2017, Kementerian ESDM menerbitkan SK operasi perpanjangan kontrak karya. Saat itu yang mengeluarkan izin adalah Menteri ESDM Ignatius Jonan. “Padahal pada 2017, UU pertambangan 1997 sebagai dasar kontrak karya tidak berlaku lagi karena yang berlaku adalah UU 4 2009 yang nyatakan bahwa tambang harus menjadi IUP legalitasnya. Padahal juga UU Minerba menyatakan kontrak kerja hanya 20 tahun. Jadi bertentangan juga dengan UU Minerba,” tutur Jamil.

Kejanggalan lanjutnya aktivitas pertambangan di Raja Ampat terus menjadi lantaran sebelum 2008 dan 2017 sebenarnya telah terbit beleid yang mengatur larangan operasional tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di saat yang sama saat polemik pertambangan di Raja Ampat muncul, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mengatakan legalitas Gag Nikel sudah sah berdasarkan kontrak karya sejak 2017 hingga 2047. “Menjadi mengherankan Bahlil masih mengelak. Bahlil berlindung di balik kesucian kontrak karya. Adapun dasar operasi Gag Nikel itu bukan kontrak karya, tapi SK operasi produksi tahun 2017 yang diterbitkan Menteri ESDM,” kata Jamil. 

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Hariyadi mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto mencabut izin empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Geopark Raja Ampat, Papua Barat Daya. Dia menilai, langkah tersebut sebagai bentuk keberanian politik dan keberpihakan nyata terhadap kelestarian lingkungan dan negara telah hadir untuk hal tersebut. "Saya, atas nama Komisi XII DPR RI, menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto," ujar Bambang ketika dikonfirmasi, Kamis (12/06/2025).

Menurut politikus Partai Gerindra itu, keputusan Presiden Prabowo menunjukkan kehadiran negara yang berpihak kepada masa depan ekologi Indonesia. Ia menegaskan bila Kabupaten Raja Ampat bukan sekadar kawasan konservasi biasa. Melainkan aset ekologis dunia yang wajib dijaga keberlanjutannya. Pencabutan izin tambang di wilayah itu merupakan simbol keberanian politik untuk melindungi kehormatan Indonesia di mata internasional.  "Langkah ini hanya bisa terjadi karena keberpihakan politik yang tegas dari kepala negara," ucapnya.

Meski demikian, Bambang menegaskan, pencabutan izin ini bukan titik akhir. Komisi XII DPR akan terus mengawal kelanjutan dari aktivitas tambang tersebut. “Proses pemulihan ekologis di area bekas tambang serta evaluasi menyeluruh atas sistem pemberian izin tambang di kawasan konservasi dan pulau-pulau kecil,” ujarnya.

"Langkah ini adalah pesan kuat bahwa Presiden Prabowo ingin Indonesia maju dari sektor sumber daya alam dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian terhadap kelestarian lingkungan," sambungnya.

Selain itu, Bambang menuturkan bila tiga perusahaan yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) mempunyai peranan lebih dalam kegiatan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di Raja Ampat. Ia menjelaskan bila PT ASP adalah perusahaan asal Tiongkok, telah terindikasi melakukan pelanggaran pidana berdasarkan informasi resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup yang diterima oleh Komisi XII DPR RI. "Jadi, perusahaan ini disebut menyebabkan pencemaran dan merusak ekosistem laut di wilayah operasinya," tuturnya.

Sementara itu, PT KSM diketahui telah membuka lahan sejak 2023 dan mulai menambang pada 2024. Bambang menyebut lokasi tambangnya berada sangat dekat dengan kawasan konservasi Raja Ampat, sehingga berisiko besar terhadap keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Adapun PT MRP baru memulai pengeboran di 10 titik, namun disebut belum memiliki izin lingkungan yang sah. Aktivitas ini menurut Bambang tetap tergolong pelanggaran karena dilakukan tanpa dasar hukum yang memadai.

Sedimen terlihat jelas di dekat operasi penambangan nikel di Pulau Kawe, Raja Ampat, yang mengubah warna air di salah satu wilayah laut dengan keanekaragaman hayati tertinggi di Indonesia. (Greenpeace)

Ia menyebut, justru PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha BUMN PT Antam yang ditindak oleh pemerintah melalui penghentian sementara operasional. Padahal, menurut informasi Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan ke Komisi XII, PT Gag hanya melakukan pelanggaran minor. Bambang menambahkan, dari informasi diterima Komisi XII DPR, izin PT GAG adalah izin kontrak karya. Sementara izin tiga perusahaan swasta adalah izin pemerintah setempat. Secara derajat perijinan sangat berbeda jauh antara Kontrak Karya dengan izin dari Pemda. Bahkan infonya PT KSM izinnya diterbitkan oleh Bupati, dan Kontrak Karya PT GAG sudah terbit sebelum kabupaten Raja Ampat terbentuk. “Tiga perusahaan swasta ini sudah jelas adalah perusak lingkungan di Raja Ampat," ungkapnya.

Bambang menyebut Komisi XII DPR RI bersama Kementerian Lingkungan Hidup disebut akan segera melakukan kunjungan langsung ke lokasi ketiga perusahaan tersebut untuk mengecek langsung kondisi di lapangan. Bambang menyatakan, pihaknya tidak akan tinggal diam menyaksikan kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat. “Raja Ampat bukan milik investor. Raja Ampat ini milik bangsa,” ucapnya.

Sementara itu, Bambang juga memastikan bila DPR tidak memiliki wacana untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat.  Legislator Dapil Jatim IV tersebut juga menyatakan bila Komisi XII DPR RI akan segera melakukan rapat membahas terkait hal tersebut. Namun, ia belum merinci mengenai agenda yang akan dibahas dalam rapat tersebut. "Tidak ada wacana (pansus) itu dan kita juga belum tahu bagaimana dan apa yang akan dibahas pada rapat nanti," imbuhnya.

Mengintip `Penguasa Nikel` di Raja Ampat

Drama kontroversial tambang nikel di Raja Ampat tampaknya belum segera berakhir. Meskipun pemerintah akhirnya mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel pada Juni 2025. Yang dibatalkan adalah izin PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, serta PT Nurham. Pencabutan ini dipicu penemuan pelanggaran lingkungan dan gelombang tekanan publik.

Satu izin, milik PT Gag Nikel, masih dipertahankan dengan alasan telah memenuhi standar pengelolaan limbah dan berada di luar kawasan Geopark Raja Ampat. Keputusan ini lantas disorot pasalnya dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lantas, bagaimana ihwal kelima perusahaan ini bisa melakukan kegiatan tambang di kawasan Raja Ampat, siapa pula subyek-subyek di belakang perusahaan ini?

Infografik: Peta sebaran aktifitas perusahaan tambang di kawasan Raja Ampat. (Greenpeace)

Greenpeace Indonesia dalam paparannya memberikan gambaran terperinci tentang kelima perusahaan ini. Arie Rompas bahkan menyebutkan adanya politically exposed persons (PEPs) di perusahaan-perusaan ini. Dalam paparan bertajuk Surga yang Hilang, Greenpeace membagi pemaparan berdasarkan pulau lokasi tambang berada.

Tambang nikel yang paling lama berdiri di Raja Ampat berada di Pulau Manuran, sebelah utara Waigeo, di dalam kawasan UNESCO Global Geopark. Pemegang konsesi adalah PT Anugerah Surya Pratama. Berdasarkan data profil perusahaan, 60% saham PT Anugerah Surya Pratama dimiliki oleh PT Wanxiang Nickel Indonesia, sedangkan 40% sisanya dimiliki oleh PT Anugerah Surya Mining.

Tambang nikel kedua yang mulai beroperasional di Raja Ampat terletak di Pulau Gag. Konsesi pertambangan ini sebelumnya dimiliki oleh BHP Billiton, yang mundur pada tahun 2008 sebelum tambang sempat dikembangkan, menyusul kampanye penolakan terhadap proyek tersebut. Pemegang konsesi saat ini, PT Gag Nikel, merupakan anak perusahaan dari PT Aneka Tambang Tbk (PT Antam), sebuah perusahaan yang didirikan oleh pemerintah Indonesia. Saham PT Antam tercatat di bursa efek Indonesia dan Australia, dengan pemegang saham mayoritas adalah Pemerintah Indonesia melalui PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), yang 99% sahamnya dimiliki oleh dana kekayaan negara baru Indonesia, Danantara.47 Sekitar 35% saham termasuk di antaranya Dana Pensiun Pemerintah Norwegia sebagai pemegang saham minoritas.

Aktivitas bongkar muat nikel di pelabuhan PT. GAG Nikel terletak di Pulau GAG, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. (Greenpeace) 

Laporan Greenpeace menjelaskan adanya sejumlah tokoh di dalam struktur PT Gag Nikel. Perusahaan PT Gag Nikel, PT Antam, adalah salah satu perusahaan BUMN yang berada di bawah holding MIND ID, yang 99% sahamnya dimiliki oleh Danantara. Komisaris Utama MIND ID adalah Fuad Bawazier, yang diangkat pada Juni 2024 setelah berperan aktif dalam kampanye pemilihan presiden Prabowo-Gibran sebagai Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN). Grace Natalie Louisa, juga anggota tim kampanye Prabowo-Gibran, diangkat menjadi komisaris di MIND ID. Grace merupakan salah satu pendiri Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang merupakan bagian dari koalisi pemerintahan Prabowo.

Di antara komisaris PT Gag Nikel terdapat Ahmad Fahrur Rozi, salah satu pimpinan Nahdlatul Ulama. Lalu ada nama Bambang Sunarwibowo, purnawirawan jenderal polisi dan mantan sekretaris utama Badan Intelijen Negara (BIN), juga merupakan komisaris PT Antam.

Perusahaan ketiga yang memulai penambangan di Raja Ampat adalah PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) yang beroperasi di Pulau Kawe.  Penambangan di Pulau Kawe dimulai kembali tahun 2023, setelah aktivitas penambangan sebelumnya pada 2008-2009. Penambangan ini telah memicu konflik di dalam masyarakat lokal, beberapa di antaranya mendapatkan peluang kerja, sementara yang lainnya kesulitan mempertahankan mata pencaharian tradisional mereka.

Hasil investigasi tim Greenpeace melaporkan bahwa masyarakat setempat semakin kesulitan menangkap ikan karena akses yang terbatas ke dermaga yang digunakan oleh perusahaan nikel dan karena meningkatnya sedimentasi laut yang menurut mereka disebabkan oleh aktivitas tambang.

Dalam laporannya, Greenpeace memaparkan tokoh-tokoh yang menjadi pengurus perusahaan ini. Direktur Utama di PT Kawei Sejahtera Mining adalah Freddy Numberi, mantan menteri di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Perhubungan. Ia juga pernah  menjabat sebagai Gubernur Provinsi Papua dari 1998 hingga 2000. Ia diduga terkait dengan grup Agung Sedayu melalui PT Inti Agung Makmur, yang dilaporkan oleh media di Indonesia, bahwa grup  tersebut memegang sertifikat HGB terkait pembangunan pagar laut sepanjang 30 km yang kontroversial di lepas pantai Tangerang selama tahun 2024.

Kemudian ada Nono Sampono, seorang Letnan Jenderal purnawirawan dari Angkatan Laut Indonesia dan orang yang juga diduga memiliki hubungan dengan grup Agung  Sedayu, juga terlibat dalam struktur kepemilikan perusahaan yang kompleks di balik PT KSM. Saat ini, dia menjabat sebagai Presiden Direktur PT Jaya Bangun Makmur, yang memiliki 30% saham di PT KSM. Namanya juga dikaitkan dengan kontroversi keberadaan pagar laut di Tangerang, sebagaimana dilaporkan oleh media di Indonesia. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari daerah pemilihan Provinsi Maluku untuk periode 2019-2024.

PT Jaya Bangun Makmur, dimiliki dengan beberapa lapisan perusahaan lain, baik oleh Sugianto Kusuma (Aguan) dan 5 anggota keluarganya. Aguan dikenal sebagai pemilik Agung Sedayu Group, yang merupakan salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia. Grup tersebut juga terseret dalam kontroversi pagar laut Tangerang, melalui laporan media Indonesia pada awal 2025. Selain itu, 40% dari saham PT KSM dimiliki oleh PT Dua Delapan Kawei, dan 10% lainnya dimiliki oleh PT Rowan Sukses Investama. Arif Kurniawan merupakan Direktur di kedua perusahaan ini. Arif Kurniawan pernah dimintai keterangan sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi sektor pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara, di mana seorang mantan bupati diduga menerima suap terkait pemberian izin tambang nikel.

Infografis kondisi Pulau Kawe, Raja Ampat. (Greenpeace)

Sebuah izin tambang yang mencakup sebagian besar Pulau Manyaifun dan Batang Pele telah diterbitkan kepada PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Pada Maret 2025, warga setempat melaporkan bahwa perusahaan ini telah mendirikan basecamp dan mulai berkomunikasi dengan mereka tentang rencana penambangan, meskipunizin tersebut masih dalam proses hukum di Jakarta.

Menurut hasil analisis pemetaan yang dilakukan oleh Greenpeace, kegiatan persiapan eksplorasi tersebut tampaknya berada di kawasan yang diklasifikasikan sebagai kawasan Hutan Lindung oleh Kementerian Kehutanan. Hingga saat ini, PT MRP belum terlihat memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kawasan tersebut. Izin tambang di wilayah ini sebelumnya dipegang oleh PT Harita Multi Karya Mineral, tetapi kini sudah tidak berlaku lagi. Belum jelas apakah pemegang izin baru, PT MRP, terkait dengan grup Harita.

PT MRP menggugat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terkait izin tersebut dan memenangkan perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN), di tingkat banding, dan di Mahkamah Agung. Kementerian ESDM kini mengajukan permohonan untuk melakukan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung, dan keputusan terkait PK ini masih dalam proses di saat tulisan ini dibuat.

Pada kuartal pertama tahun 2025, izin tambang kelima dinyatakan berlaku di Raja Ampat, yaitu di Pulau Waigeo. PT Nurham mendapatkan kembali izinnya setelah berhasil memenangkan proses hukum di Jakarta atas keputusan sebelumnya dari kementerian pertambangan yang telah membatalkan izin tersebut. Perusahaan tersebut memenangkan gugatan administratif hingga tingkat Mahkamah Agung dan tidak ditemukan adanya permohonan untuk proses peninjauan kembali oleh pemerintah pada saat laporan ini disusun. Pada saat laporan ini disusun juga belum terlihat adanya aktivitas pertambangan di konsesi tersebut.

Menilik Potensi Tindak Pidana Korupsi

Ternyata bukan hanya Angela Gilsha yang terkejut melihat fenomena pertambangan di Raja Ampat. Komisi Pembereantasan Korupsi pun tak kalah kaget melihat fenomena ini. Kepala Satuan Tugas (Satgas) Korsup Wilayah V KPK Dian Patria mengaku sempat kaget terhadap keberadaan tambang-tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Dian mengaku dirinya menyoroti hal itu dalam laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun, Dian mengaku tak sampai mendalami dugaan kejanggalan tersebut karena terkait pembagian wewenang. "Saya sudah mention ini dua tahun lalu dalam laporan BPKP, kok ada banyak tambang nikel ya di Raja Ampat?" kata Dian dalam diskusi yang digelar Greenpeace Indonesia di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Secara umum, Dian mengatakan ada 10 permasalahan pada sektor pertambangan. Salah satunya, resentralisasi. Menurut dia, izin usaha pertambangan nikel umumnya terpusat di Jakarta. Menurut Dian, UU Cipta Kerja memang memberikan kemudahan dalam berinvestasi tapi sulit dalam pengawasan. Umumnya, Dian mengungkap ada banyak aturan tumpang tindih antara UU Ciptaker dan undang-undang yang lain. "Rasanya Omnibus memberikan kemudahan investasi. Tapi untuk pengawasannya enggak ketemu. Enggak ada kemudahan untuk pengawasan, hanya kemudahan di hulu," kata Dian.

KPK, lanjut Dian, juga menyoroti model baru reaktivasi izin usaha pertambangan lewat pengadilan atau PTUN. Menurut dia, hal itu menjadi praktik baru yang belakangan kerap dilakukan izin usaha pertambangan untuk kembali beroperasi. "Karena ada laporan juga. Jangan sampai ada modus. Mereka PTUN, mengatakan tak pernah ada bicara, tahu-tahu menang di pengadilan. Ini juga kita khawatirkan," katanya.

Dalam kersempatan ini, Dian juga enegaskan potensi tinak pidana korupsi terbuka lebar dalam proses pemberian izin tambang ini. Meskipun, menurutnya, hal ini memerlukan pendalaman lebih lanjut. Namun, dia menilai setiap ada perizinan yang diterbitkan dengan menabrak aturan, hampir dipastikan ada unsur korupsi.

Sinyalemen dari Dian tampaknya sudah menjadi alarm bagi institusinya. Ketua KPK Setyo Budiyanto menyebut kajian dari Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi itu masih dalam proses penelaahan untuk memastikan ada tidaknya perbuatan korupsi. "Sebenarnya kami sudah melakukan kajian. Jadi, dari Kedeputian Koordinasi dan Supervisi itu sudah melakukan semacam kegiatan di sana, kemudian melihat potensi-potensinya seperti apa," kata Setyo di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/6/2025).

"Namun demikian, apakah kemudian kajian tersebut memang ada indikasi korupsi? Tentu itu masih menjadi sebuah telaah, dan nanti ada proses yang harus dilewati," tandasnya.

Dalam hal ini, tampakanya polisi bekerja lebih gesit. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan Polri juga telah memulai proses penyelidikan untuk memastikan ada tidaknya tindak pidana terkait IUP tersebut. Dia mengatakan pihaknya menggandeng kementerian dan lembaga terkait untuk mendalami hal tersebut. "Anggota kita saat ini bersama dengan kementerian terkait sedang melaksanakan pendalaman," ujar Listyo di Gedung Tribrata, Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Penyelidikan dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifuddin menambahkan penyelidikan dilakukan terhadap empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dicabut pemerintah. "Kita masih dalam penyelidikan. Sesuai dengan Undang-undang kita boleh (menyelidiki)," kata Nunung.

Dia menjelaskan proses penyelidikan itu dimulai dari temuan dugaan pelanggaran pidana. Ia menyebut salah satu yang akan menjadi fokus penyelidikan yakni perihal kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di wilayah Raja Ampat. "Makanya, ada aturan untuk reklamasi, ada di situ kewajiban pengusaha untuk memberikan jaminan reklamasi," imbuhnya.

Pakar hukum tata negara dari Univeristas Andalas Feri Amsari menilai bahwa izin tambang nikel di Raja Ampat jelas bertentangan dengan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi, persisnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Beleid itu secara gamblang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Semisal dalam Pasal 23 ayat (2) yang termaktub bahwa pemanfaatan pulau kecil dan wilayah perairan di sekitarnya harus diprioritaskan untuk kepentingan seperti konservasi, pendidikan dan pelatihan, riset dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara.

Feri menafsirkan bahwa untuk tujuan selain konservasi, pendidikan, dan penelitian, pemanfaatan pulau kecil dan perairannya harus memenuhi kriteria pengelolaan lingkungan yang baik, mempertimbangkan daya dukung dan kelestarian ekosistem, sistem tata air, serta menggunakan teknologi ramah lingkungan. “Akitivitas perusahaan tambang di Raja Ampat jelas melanggar Undang-udang yang ada,” tutur Feri kepada law-justice, Kamis (12/6/2025).

Pakar hukum tata negara dari Univeristas Andalas Feri Amsari. (Rohman)

Feri mewanti-wanti undang-undang tersebut juga menjelaskan ihwal pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya. Adapun Pulau Gag merupakan salah satu dari gugus pulau Raja Ampat yang ditambang korporasi nikel itu memiliki luas 6 ribu hektare yang setara 60 kilometer persegi.

Terlebih, larangan pertambangan di wilayah pulau kecil juga diperkuat oleh Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang secara jelas menegaskan pelarangan aktivitas tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil. “Sehingga tidak ada alasan membenarkan izin di kawasan Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya. Pemerintah harus taat pada hukum,” ujar dia.

Jamil dari Jatam melihat, delik korupsi bisa dilacak awal mulanya dari aktivitas eksplorasi dan eskploitasi kawasan Gag oleh PT Gag Nikel sejak 2017. Sebab, garis terluar kawasan konservasi Raja Ampat dengan kawasan operasional sebenarnya hanya berjarak 5 kilometer. Klaim Bahlil Lahadalia yang menyebut operasional tambang kawasan Gag berjarak 30-40 kilometer hanya berpatokan jarak antara lokasi industri dengan area pariwisata. “Yang tidak kelihatan dan belum dihitung kan berapa limbah aktivitas tambang nikel yang dibuang ke badan sungai lalu ke laut. Karena korupsi tambang itu adalah bukan cuma kick back soal perizinan yang libatkan korporasi dan pejabat atau politisi tapi dampak cemarannya juga masuk pada korupsi. Karena SDA ini kan kepemilikannya publik sehingga ketika dirusak ada kerugian negara untuk pemulihan kerusakannya,” kata Jamil.

Masalah tidak hanya terjadi di balik bertahannya Gag Nikel di Raja Ampat, tetapi empat korporasi tambang yang telah dicabut izinnya pun sarat masalah. Jamil menitikberatkan keputusan pencabutan izin ini adalah aksi gegabah pemerintah demi meredam kemarahan rakyat. “Mencabut empat izin tambang, lalu menyisakan satu izin untuk apa? Itu terlihat seolah tebang pilih dan standar ganda. Pencabutan empat izin ini juga tidak jelas. Dicabutnya apakah diikuti dengan kewajiban pemulihan lingkungan atau ada denda. Atau memang hanya dicabut saja izinnya tanpa ada tanggung jawab lingkungan dan tanggung jawab pelanggaran. Ujung-ujungnya jadi tanggung jawab negara untuk restorasi lingkungannya,” kata Jamil.

Kuasa Politik dan Kejanggalan Proses Pertambangan di Raja Ampat

Bahlil menjelaskan bahwa dari lima IUP yang beroperasi, hanya satu yang memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) aktif di tahun 2025, yakni PT Gag Nikel. Bahlil menjelaskan anak usaha PT Antam itu tidak termasuk dalam kawasan Geopark Raja Ampat. "Pulau Gag itu terletak sekitar 42 kilometer dari kawasan geopark dan lebih dekat ke Maluku Utara. Jadi, tidak masuk dalam area yang dilindungi," ucapnya.

Untuk PT Gag Nikel, Bahlil mengatakan IUP PT Gag Nikel tetap dipertahankan karena setelah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aspek lingkungan dan teknis, perusahaan tidak melakukan pelanggaran. Bahkan, peninjauan langsung di lapangan menunjukkan kegiatan tambang berjalan sesuai ketentuan dan tidak menimbulkan dampak lingkungan yang berarti. "Untuk PT GAG karena itu adalah dia melakukan sebuah penambangan yang menurut dari hasil evaluasi tim kami itu baik sekali. Tadi kan sudah lihat foto-fotonya waktu saya meninjau itu, alhamdulillah sesuai dengan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan)," kata Bahlil.

Bahlil menyebutkan PT Gag Nikel sudah mendapatkan izin berupa Kontrak Karya (KK) sejak masa pemerintahan Presiden ke-2 Soeharto yakni 1998 lalu. Kemudian, eksplorasi pertama dilaksanakan pada 1999-2002. Lalu, perpanjangan tahap eksplorasi kembali dilakukan pada 2006-2008, sampai dengan tahap konstruksinya 2015-2017, dan produksinya 2018.

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Hariyadi. (Gerindra) 

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Hariyadi mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto mencabut izin empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Geopark Raja Ampat, Papua Barat Daya. Dia menilai, langkah tersebut sebagai bentuk keberanian politik dan keberpihakan nyata terhadap kelestarian lingkungan dan negara telah hadir untuk hal tersebut.  "Saya, atas nama Komisi XII DPR RI, menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto," ujar Bambang ketika dikonfirmasi, Kamis (12/06/2025).

Menurut politikus Partai Gerindra itu, keputusan Presiden Prabowo menunjukkan kehadiran negara yang berpihak kepada masa depan ekologi Indonesia. Ia menegaskan bila Kabupaten Raja Ampat bukan sekadar kawasan konservasi biasa. Melainkan aset ekologis dunia yang wajib dijaga keberlanjutannya. Pencabutan izin tambang di wilayah itu merupakan simbol keberanian politik untuk melindungi kehormatan Indonesia di mata internasional.  "Langkah ini hanya bisa terjadi karena keberpihakan politik yang tegas dari kepala negara," ucapnya.

Meski demikian, Bambang menegaskan, pencabutan izin ini bukan titik akhir. Komisi XII DPR akan terus mengawal kelanjutan dari aktivitas tambang tersebut. “Proses pemulihan ekologis di area bekas tambang serta evaluasi menyeluruh atas sistem pemberian izin tambang di kawasan konservasi dan pulau-pulau kecil,” ujarnya.

"Langkah ini adalah pesan kuat bahwa Presiden Prabowo ingin Indonesia maju dari sektor sumber daya alam dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian terhadap kelestarian lingkungan," sambungnya.

Selain itu, Bambang menuturkan bila tiga perusahaan yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) mempunyai peranan lebih dalam kegiatan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di Raja Ampat. Ia menjelaskan bila PT ASP adalah perusahaan asal Tiongkok, telah terindikasi melakukan pelanggaran pidana berdasarkan informasi resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup yang diterima oleh Komisi XII DPR RI. "Jadi, perusahaan ini disebut menyebabkan pencemaran dan merusak ekosistem laut di wilayah operasinya," tuturnya.

Sementara itu, PT KSM diketahui telah membuka lahan sejak 2023 dan mulai menambang pada 2024. Bambang menyebut lokasi tambangnya berada sangat dekat dengan kawasan konservasi Raja Ampat, sehingga berisiko besar terhadap keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Adapun PT MRP baru memulai pengeboran di 10 titik, namun disebut belum memiliki izin lingkungan yang sah. Aktivitas ini menurut Bambang tetap tergolong pelanggaran karena dilakukan tanpa dasar hukum yang memadai.

Sementara itu, Anggota Komisi XII DPR RI Meitri Citra Wardani mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto dalam mendorong hilirisasi industri tambang nasional, termasuk nikel, sebagai bagian dari strategi menuju kemandirian ekonomi dan ketahanan energi nasional. Namun demikian, Meitri menekankan bahwa hilirisasi harus dijalankan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem, terutama di wilayah sensitif seperti Raja Ampat, Papua Barat Daya. “Indonesia harus bisa maju secara industri tanpa mengorbankan alamnya sendiri. Kebijakan hilirisasi Presiden Prabowo patut didukung, dengan catatan lingkungan harus dijaga dan masyarakat lokal harus dilindungi serta dilibatkan,” kata Meitri ketika dikonfirmasi Law-Justice, Selasa (10/06/2025).

Meitri yang juga Anggota Panitia Kerja (Panja) Lingkungan Hidup DPR RI ini menyebut aktivitas tambang tersebut diduga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memprioritaskan konservasi, perikanan, dan pariwisata bahari di pulau kecil, bukan pertambangan.

Selain itu kegiatan tersebut juga diduga melanggar juga Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur kewajiban AMDAL dan pelarangan pencemaran lingkungan. “Selain itu, aktivitas tambang di pulau kecil juga diduga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang secara tegas melarang praktik pertambangan di pulau kecil karena bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan perlindungan ekosistem,” ucapnya.

Lebih lanjut, Meitri menyerukan agar pemerintah memastikan penegakan hukum secara konsisten terhadap perusahaan tambang yang terbukti melanggar izin dan mencemari lingkungan, mengevaluasi seluruh izin pertambangan di wilayah konservasi, serta melaksanakan praktik baik yang melibatkan masyarakat lokal dan lembaga adat dalam setiap keputusan yang berdampak pada ruang hidup mereka. “Hilirisasi adalah jalan untuk mensejahterakan rakyat, bukan melukai alam. Pembangunan yang adil adalah pembangunan yang menjaga warisan lingkungan hidup bagi generasi mendatang,” pungkasnya.

 Anggota Komisi XII DPR RI Meitri Citra Wardani. (PKS)

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Mufti Anam merespons pencabutan izin usaha tambang (IUP) empat perusahaan tambang di Raja Ampat, Papua Barat. Mufti mengingatkan pemerintah agar keputusan itu bukan sekadar manuver sesaat. Mufti mengatakan, jangan sampai ketika tak lagi menjadi sorotan, pemerintah kembali berkompromi dengan meloloskan izin tambang yang merusak lingkungan. "Kami akan awasi. Jangan sampai ketika sorotan publik mereda, aktivitas tambang dilanjutkan lagi seolah tak ada masalah. Penutupan tambang di Raja Ampat tak boleh hanya manuver sesaat," kata Mufti ketika dikonfirmasi, Jumat (13/06/2025).

Dia juga mewanti-wanti pemerintah untuk mengevaluasi sistem penerbitan IUP, supaya mencegah aktivitas tambang yang melanggar aturan seperti yang terjadi di Raja Ampat. Polemik izin tambang di Raja Ampat seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah. "Kejadian di Raja Ampat bisa menjadi pembelajaran bagi Pemerintah untuk tidak ugal-ugalan menerbitkan izin tambang. Jangan sampai Pemerintah menjadi makelar tambang," ucapnya.

Politisi PDIP tersebut lantas menyoroti izin tambang di Raja Ampat yang mayoritas merupakan wilayah konservasi. Apalagi sebagian tambang berdekatan dengan Pulau Piaynemo, yang dikenal sebagai destinasi wisata utama di Raja Ampat.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menilai sulitnya pencabutan PT Gag Nikel yang berstatus kepemilikan BUMN Antam atas operasional pertambangan di kawasan Raja Ampat lantaran adanya intervensi negara. Secara hukum, korporasi itu semestinya bisa dengan mudah dicabut izinnya oleh negara. Ini diperparah lantaran dugaan korupsi santer dalam proses perizinan korporasi yang diakusisi negara pada 2008 silam itu. “Proses perizinan PT Gag Nikel ini kuat sekali aroma korupsinya,” kata Jamil kepada Law-justice, Jumat (13/6/2025).

Adapun Gag Nikel mendapat kontrak karya dari pemerintah pada masa orde baru 1998. Lalu setahun berselang terbit Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menjelaskan bahwa pertambangan di kawasan hutan lindung adalah kegiatan yang dilarang sehingga wajib menggunakan metode penambangan bawah tanah. “Tapi ternyata Gag Nikel beroperasi di lahan terbuka sebelum UU ini ada dan setelah terbit pun masih meneruskan,” kata Jamil.

Menyiasati beleid itu, terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang berada di kawasan hutan. Keppres itu diteken langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebanyak 12 korporasi tambang termasuk Gag Nikel mendapat izin menambang di kawasan terbuka sehingga leluasa membuka lahan.

Jamil juga menyoroti perubahan kebijakan hukum untuk tambang nikel pada medio 2009. Kala itu,  terdapat perubahan fundamental yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena tambang di Indonesia wajib memiliki izin usaha pertambangan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. “Tapi apa yang terjadi dengan Gag nikel. Harusnya kan tahun 2010 menjadi IUP-K. Namun yang dilakukan GAG nikel adalah tidak melakukan penyesuaian menjadi IUP-K sampai tahun 2010,” ujar Jamil.

Lalu tiba-tiba pada 2017, Kementerian ESDM menerbitkan SK operasi perpanjangan kontrak karya. Saat itu yang mengeluarkan izin adalah Menteri ESDM Ignatius Jonan. “Padahal pada 2017, UU pertambangan 1997 sebagai dasar kontrak karya tidak berlaku lagi karena yang berlaku adalah UU 4 2009 yang nyatakan bahwa tambang harus menjadi IUP legalitasnya. Padahal juga UU Minerba menyatakan kontrak kerja hanya 20 tahun. Jadi bertentangan juga dengan UU Minerba,” tutur Jamil.

Kejanggalan lanjutnya aktivitas pertambangan di Raja Ampat terus menjadi lantaran sebelum 2008 dan 2017 sebenarnya telah terbit beleid yang mengatur larangan operasional tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di saat yang sama saat polemik pertambangan di Raja Ampat muncul, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mengatakan legalitas Gag Nikel sudah sah berdasarkan kontrak karya sejak 2017 hingga 2047. “Menjadi mengherankan Bahlil masih mengelak. Bahlil berlindung di balik kesucian kontrak karya. Adapun dasar operasi Gag Nikel itu bukan kontrak karya, tapi SK operasi produksi tahun 2017 yang diterbitkan Menteri ESDM,” kata Jamil. 

“Secara hukum, boleh dan sah Gag Nikel ini dihentikan operasionalnya.Tapi aroma politik sangat kental dan aroma koruptifnya juga kuat,” imbuhnya.

Menurutnya, telah banyak preseden soal perusahaan tambang menggugat balik setelah izinnnya dicabut. Misal gugatan di Mahkamah Konstitusi yang dilayangkan Harita Group terkait izin tambangnya di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara pada 2024. Terlebih, hingga saat ini belum ada SK yang dikeluarkan Menteri ESDM Bahlil kepada publik atas pencabutan izin empat korporasi; PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) seluas 2.193 hektar di Pulau Manyaifun Batang Pele; PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sekitar 1.173 hektar di Pulau Manuran, dan PT Nurham (3.000 hektar) di Yesner Waigeo Timur; dan PT Kawai Sejahtera Mining  (KSM) seluas 5.922 hektar.  “Jadi membuat masalah baru dan masalah hukum baru. Jangan jadi ini jadi jurus mabuk pemerintah yang rugikan rakyat,” kata Jamil. 

Rekaman drone menunjukkan dugaan adanya aktivitas perusahaan tambang di Pulau Batang Pele. (Greenpeace)

Lain itu, masalah tambang nikel di Raja Ampat merupakan rentetan dari segudang kejahatan korporasi yang merusak alam Indonesia, persisnya mayoritas di kawasan Timur, dari Sulawesi hingga Maluku. Sebab Pulau Gag hanya satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang dijarah kegiatan tambang. Ironisnya, seluruhnya berlangsung dengan restu negara dan atas nama pembangunan, tak sedikit mengatasnamakan `pembangunan hijau`. Saat ini, sedikitnya terdapat 195 izin pertambangan dengan luas total konsesi 351.933 hektare yang mencaplok 35 pulau kecil Indonesia. “Ya ini karena dalam industri tambang yang terjadi adalah state-corporate crime. Negara dan korporasi menyatu melakukan kejahatan. Karena ini negara sudah lama disandera oligarki ekstraktif sejak 2009. Puncaknya di 2019, semua calon didukung industri ekstraktif dan kini makin menjadi pejabatnya juga sekaligus pebisnis tambang,” ujar Jamil.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol juga senada dengan narasi Menteri ESDM Bahlil yang menekankan pencabutan PT GAG Nikel tidak bisa diproses saat ini karena masih terikat kontrak karya hingga puluhan tahun mendatang. “Belasan perusahaan termasuk PT GN ini diperbolehkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 sehingga dengan demikian maka berjalannya kegiatan penambangan legal," kata Hanif.

Apa yang terjadi di Raja Ampat hanyalah puncak gunung es dari eksploitasi brutal sumber daya alam di pulau-pulau kecil di Indonesia Timur. Komoditas nikel yang tengah menjadi primadona dunia, membuatnya menjadi incaran taipan-taipan mancanegara. Hasilnya, kepentingan ekologi diabaikan, asal gali tambang demi nikel  yang pening bisa beroleh cuan. Celakanya, instrumen negara pun disinyalir turut bermain. Sehingga, izin-izin resmi tapi siluman, banyak bertebaran. Bahkan, izin-izin yang nyata-nyata melawan aturan pun terbit.

Padahal, inti dari program hilirisasi adalah bagiamana bisa dilakukan pembatasan di sektor ekstraktif melaui refinery di smelter. Sehingga, bisa diperoleh nilai tambah yang optimal dari sektor mineral dan batubara ini. Sayanganya, kuasa oligarki masih kuat mencengkramsektor ini. Sehingga, jangankan negara, bahkan warga sekitar tambang pun lebih banyak menghirup asap polutif dibanding merasakan manfaat. Raja Ampat adalah alarm yang harus mampu membangkitkan semangat nasionalisme seorang Prabowo Subianto. Presiden mesti tegas, kalau perlu turun langsung, untuk meyelamatkan bumi dari rudapaksa para pemuja oligarki, sembariu mereka mencoleng sumber daya alam kita.

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar