Co-firing PLTU

Gasak Hutan Demi Bisnis Co-firing Biomassa

Selasa, 15/04/2025 13:44 WIB
Sejumlah potongan kayu yang terdapat dalam pabrik biomassa di Waluran, Sukabumi. Foto: Rohman/Law-justice

Sejumlah potongan kayu yang terdapat dalam pabrik biomassa di Waluran, Sukabumi. Foto: Rohman/Law-justice

Jakarta, law-justice.co - Pohon kaliandra menjulang tinggi di kawasan Hutan Pasir Piring, Waluran, Kabupaten Sukabumi. Ada yang baru tumbuh satu sampai dua meter, dan ada pula tampak batang tembus lima meter. Persisnya di petak 93 kawasan hutan itu, pohon kaliandra mendominasi ekosistem hutan. Pohon pinus yang memiliki batang lebih tinggi kelihatan kalah jumlahnya.      

Sebelum kaliandra tumbuh masif, sebagian kawasan hutan itu hanya lahan kering. Hingga pada awal 2000-an, lahan itu mulai subur seiring aktivitas ekonomi masyarakat yang memanfaatkan sepetak demi sepetak.

Fazri Mulyono masih ingat betul bagaimana masyarakat bergantung hidup pada lahan kering di kawasan Hutan Pasir Piring. Ketua Lembaga Masyarakat Daerah Hutan (LMDH) Waluran ini mengatakan bahwa masyarakat setempat banyak bercocok tanam sawah padi gogo sejak beberapa dekade belakangan.

Namun, mata pencaharian masyarakat setempat seketika hilang, seiring program Perusahaan Listrik Negara (PLN) bernama co-firing yang membutuhkan pasokan biomassa dari hutan. Co-firing sendiri metode pencampuran antara batu bara dan biomassa seperti pelet kayu untuk menghasilkan listrik. PLN mengklaim campuran biomassa itu dapat mensubstitusi sebagian batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik, yang selama ini telah menimbulkan emisi karbon dan mencemari lingkungan.  

Metode co-firing mulai diterapkan di sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU sejak 2020. Tiga tahun berselang, PLN mengklaim sebanyak 43 PLTU sudah menggunakan campuran biomassa dan batu bara sebagai bahan baku penghasil listrik. Pada 2025, penerapan co-firing bakal diperluas hingga ke 52 PLTU se-Indonesia. Perluasan penerapan co-firing di PLTU sejalan dengan meluasnya lahan hutan yang digunakan untuk memasok biomassa.

PLN dan BUMN Perhutani bekerja sama memetakan sejumlah areal hutan yang diubah status fungsinya. Pasokan biomassa seperti pelet kayu hingga gergaji kayu dipasok dari panen pohon energi yang ditanam di Hutan Tanaman Energi (HTE). Hutan produksi diubah komoditasnya menjadi tanaman energi seperti kaliandra hingga gamal. Praktik ini terjadi di banyak hutan yang tersebar di beberapa provinsi. DI Jawa Barat, hutan Sukabumi menjadi salah satu yang terbesar terdampak.

Di Sukabumi, Fazri bilang seluruh areal sawah gogo dalam kawasan Hutan Pasir Piring dialihfungsikan menjadi HTE sejak 2020. Akibatnya, sedikitnya 200-an petani di Waluran tak bisa lagi bertani sawah. Mau tak mau, petani pun mengalihkan produksinya pada tanaman buah di kawasan hutan yang masuk konsesi LMDH.

“Yang paling terdampak petani sawah. Karena hasil produksi sawah bukan cuma untuk konsumsi petani sendiri, tapi juga untuk dijual. Jadi, mau enggak mau berdampak pada ekonomi petani,” kata Fazri kepada Law-justice pada Februari 2025.

Ketua Lembaga Masyarakat Daerah Hutan (LMDH) Waluran, Sukabumi, Fazri Mulyono bersuara kritis soal HTE untuk kepentingan program co-firing. Foto: Rohman/Law-justice

Setelah sawah hilang karena kepentingan biomassa, Fazri mewanti-wanti hal sama bakal terjadi pada kawasan tanaman buah yang kini digarap masyarakat. Dia masih ingat sosialisasi perusahaan pelat merah soal program co-firing ini bahwa lahan yang disasar seluas ribuan hektare untuk pemenuhan biomassa. Informasinya PLTU Pelabuhan Ratu memerlukan biomassa sebanyak lima ton per jam sebagai campuran batu bara penghasil listrik.

Jika diakumulasi, maka biomassa berupa pelet kayu yang diperlukan mencapai 100 ton perhari atau 43.800 ton per tahun. Jumlah kebutuhan biomassa ini membuat Fazri gelisah lantaran bakal menggiring hutan dalam kondisi deforestasi. Kegelisahan Fazri beralasan karena tipikal pohon kaliandra hingga gamal yang menjadi sumber biomassa relatif tumbuh cepat, sehingga tidak butuh waktu lama untuk proses pembabatan.

“Misal kaliandra tumbuh 5 meter, lalu disisakan sampai setengah meter untuk tumbuh lagi, selebihnya ditebang untuk produksi pelet kayu. Bisa dibayangkan berapa luas hutan yang dialihfungsikan,” kata Fazri.

Bicara soal dampak ke petani, data menunjukkan memang ada penurunan pada kuantitas tanaman produktif yang saban hari dikelola masyarakat. 

Badan Pusat Statistik mencatat hasil tanaman kacang-kacangan, seperti kacang kedelai dan kacang tanah mengalami penurunan dalam beberapa tahun belakangan. Sebelum HTE dibangun, semisal komoditas kacang kedelai secara umum di Kabupaten Sukabumi memiliki luas panen 28.586 hektare dan produksi 35.092 ton pada 2018. Adapun jumlah produksi di Waluran mencapai 2.718 ton. Jumlah itu lantas turun berselang tiga tahun setelah hutan beralih fungsi. 

Ketika HTE mempengaruhi produksi komoditas yang menjadi tumpuan hidup petani, ambisi memproduksi biomassa terus dilanjutkan. Ini seiring dengan pembangunan pabrik biomassa yang berlangsung di Waluran sejak 2023. Pabrik biomassa dibangun di atas tanah seluas 1 hektare dan hanya berjarak sekira lima meter dari Hutan Pasir Piring.

Sebelum berdiri pabrik, dulunya kawasan itu masuk hutan produksi yang berisi banyak pohon damar. Tak sedikit masyarakat bergantung hidup dari hasil berkebun di kawasan tersebut.  

Pada akhir Februari 2025, saat Law-justice melihat pembangunan pabrik, tampak hampir seratus persen pabrik rampung. Dari sisi luar, banyak pekerja menyemen dan merapikan akses jalan menuju pabrik. Dalam kawasan pabrik, terlihat generator PLN, yang disebut pekerja menggunakan bahan bakar batu bara, alih-alih biomassa.

Begitu melihat ke dalam pabrik, tampak mesin conveyor dan sejumlah alat berat lain memenuhi ruangan. Tumpukan kayu juga terlihat di sisi mesin. Kata pekerja, pihak PLN sudah melakukan uji coba produksi biomassa, tapi gagal. “Hasil olahan kayu tidak berhasil diproses sampai ujung mesin,” kata seorang pekerja.

Cepatnya pembangunan pabrik biomassa yang hanya dua tahun dan alih fungsi lahan hutan alam menjadi HTE di Sukabumi dalam beberapa tahun belakang telah berpacu dengan realitas deforestasi. Merujuk perhitungan Forest Watch Indonesia, deforestasi hutan Sukabumi hampir tembus 8.000 hektare. Persisnya, deforestasi dalam periode 2017-2021 mencapai 7,803.64 hektare dan periode 2022-2023 sebanyak 184 hektare.  

Pohon kaliandra menjulang tinggi di Hutan Pasir Piring, Waluran, Sukabumi. Foto: Rohman/Law-justice

Disasarnya Hutan Pasir Piring menjadi HTE bukan tanpa perencanaan. Merujuk dokumen internal PLN Pelabuhan Ratu, kawasan hutan itu menjadi salah satu lahan yang diklaim sebagai lahan kering untuk produksi biomassa.

Proyeksi luasan kawasan hutan yang disebut lahan kering itu mencapai 777.837 hektare, dengan potensi mendapatkan biomassa sebanyak 466.702 ton. Perhitungan ini didasari pemetaan dari Perhutani dan PLN Dengan luasan lahan itu, PLN menargetkan bauran biomassa pada PLTU Pelabuhan Ratu hingga 10 persen atau membutuhkan 356.400 ton biomassa per tahun.

Adapun program co-firing di PLTU Pelabuhan Ratu mulai dikebut sejak 2021. Mulanya, bauran pasokan biomassa pada pembangkit listrik ditargetkan mencapai 10.000 ton. Jumlah itu terus naik dari tahun ke tahun.

Pada 2024, PLTU itu memiliki target pemenuhan biomassa sebesar 110.197,2 ton. Ratusan ribu ton biomassa itu digunakan sebagai bahan bakar campuran batu bara untuk menghasilkan energi listrik sebanyak 91.831 MWh. Tahun 2025, target pemenuhan biomassa pada 2025 lebih besar lagi, yakni mencapai 147 ribu ton demi menghasilkan listrik 122.500 MWh.  

Manajer Senior PLTU Pelabuhan Ratu, Bowo Pramono, mengatakan pemenuhan biomassa sekian ton tidak berdampak pada deforestasi hutan. Menurutnya, pohon energi tidak ditebang batangnya, tapi hanya dahan yang diproses produksi biomassa. “Kalau tanaman energi itu, batang besarnya dibiarkan tetap dan yang dipangkas hanya dahan-dahan. Justru itu yang menjadikan terus produktif karena dahan dipotong lalu tumbuh lagi. Lagi pula kami menanam tanaman energi di lahan kering bukan babat hutan,” kata Bowo kepada Law-justice.

Sejauh ini, PLTU Pelabuhan Ratu baru menggunakan 1-2 persen bauran biomassa pada pembangkit listrik. Bowo bilang bahwa rendahnya bauran biomassa dikarenakan terbatasnya pasokan pelet kayu. Sebelum adanya HTE, PLTU bergantung pasokan biomassa dari panglong atau pengrajin kayu. Pasokan biomassa pada pembangkit listrik juga diklaim dia bisa menekan emisi karbon yang dihasilkan PLTU dengan kapasitas 1050 Mwh.

“Saya melihat dari volumenya, kalau ada 5 persen biomassa, artinya ada 50 ribu ton. Penggunaan batu baru 13 ribu ton per hari sehingga bisa menekan 650 ton dari penggunaan batu bara,” kata Bowo.

Bantahan PLN soal tidak adanya deforestasi dari produksi biomassa tak sejalan dengan riset dari Trend Asia. Dengan asumsi luas areal tanam sebesar 38 persen dari konsesi lahan, potensi deforestasi dari sejumlah pohon energi bisa di atas 5 juta hektare. Hitung-hitungan deforestasi jutaan hektare hutan jika pasokan biomassa dipasok ke 52 PLTU. Penanaman pohon gamal menempati urutan pertama urusan deforestasi, yakni seluas 2.099.843 hektare. 

Soal emisi karbon, kajian Trend Asia juga menunjukkan pemanfaatan kaliandra pada pembangkit listrik dengan kadar 10 persen di 107 unit termasuk PLTU Pelabuhan Ratu berpotensi menghasilkan sedikitnya 13,22 juta ton karbon dioksida per tahun.

Peneliti Trend Asia, Amalya Oktaviani, mengatakan potensi deforestasi dari HTE untuk biomassa masih lebih besar lagi. Ini seiring dengan tidak terbukanya data yang disampaikan Perhutani kepada publik.

Tampak muka pabrik biomassa garapan PLN di Waluran, Sukabumi. Foto: Rohman/Law-justice

Jika merujuk data Kementerian Kehutanan, secara garis besar HTE sampai 2023 terdapat di empat KPH yang memiliki luasan 12 ribuan hektare, mulai dari Indramayu, Purwakarta, Sumedang dan Sukabumi. Areal HTE di Sukabumi menjadi yang terluas, yakni mencakup 907 hektare areal pohon gamal dan kaliandra seluas 3.446 ha.

Namun, jika merujuk konsesi lahan hutan produksi yang dimiliki Perhutani jumlahnya mencapai 1,2 juta hektare. Sehingga potensi deforestasi bisa saja mencapai jutaan hektare.

Amalya mengatakan klaim lahan 777 ribu hektare yang digunakan untuk kepentingan HTE biomassa di Sukabumi terdengar masuk akal.

 “Perhutani tidak sama sekali transparan. Satu-satunya peta hutan yang dikasih perhutani saat kami minta sebaran hutan yang dikelola, maka yang dikasih adalah hutan zaman belanda, yang domain verklaring,” kata Amalya kepada Law-justice.

Meski luasan atau potensi deforestasi belum pasti, Amalya menekankan bahwa deforestasi yang terjadi akibat pemenuhan biomassa bakal memperpanjang riwayat pembabatan hutan, khususnya di Pulau Jawa. Ini merujuk sejarah konsesi hutan lindung selepas beralih dari zaman penjajahan Belanda ke pemerintah. Kala itu Perhutani mengubah lanskap hutan Jawa dengan menanam pohon jati.

Klaim ihwal PLN membangun HTE di atas lahan kering, juga dibantah Amalya. Sejauh ini, Trend Asia menemukan penanaman kaliandra berada di atas lahan produktif. “Lahan-lahan yang masuk HTE bukan lahan kritis tapi lahan yang sebelumnya digarap petani,” ujar dia.

Lain itu, klaim bahwa biomassa berasal dari dahan pohon energi, disebut hal yang sulit diterima. Amalya merujuk pada logika bisnis dari produksi biomassa yang dilakoni PLN dan Perhutani. Tidak akan menjadi efisien bagi keuangan dan beban produksi perusahaan jika hanya menebang dahan, alih-alih batang. Dengan capaian target besar, maka kuantitas pohon yang ditebang akan dikejar.  

Bagi Amalya, HTE biomassa bakal mengubah lanskap hutan sehingga menempatkan hutan dalam kondisi kian kritis. Temuan di lapangan menunjukkan pohon kaliandra juga dibangun di kawasan lindung seperti bantaran sungai yang memiliki fungsi menahan banjir.

Bencana alam pada Desember 2024 yang melanda sejumlah kecamatan Kabupaten Sukabumi menjadi bukti nyata bahwa hutan sudah tak sanggup menjadi daerah resapan air. “Perhutani seperti menjilat ludah sendiri karena HTE dibangun bukan di lahan kritis tapi di kawasan hutan yang memiliki fungsi lindung, contoh misal di dekat hulu sungai,” kata dia.

Belum lagi dampak pada hilangnya ruang hidup petani yang sebelum ada HTE, mereka bergantung hidup pada hasil hutan. Lahan yang sudah ditanam HTE juga bakal mengubah tekstur tanah seiring penggunaan zat kimia untuk menyuburkan cepat tanaman energi macam kaliandra dan gamal.

Sehingga kata Amalya, “Program co-firing ini bermasalah di sisi hulunya (saat proses produksi biomassa), di hilir bermasalah juga karena menimbulkan emisi dan memperpanjang usia PLTU. Ini akan memperburuk tata kelola hutan dan ini bisnis saja kepentingannya,” ucap dia.

Ihwal HTE produksi biomassa disebut sebagai kepentingan bisnis saja, dia merujuk pada bauran energi yang dipakai setiap PLTU. Dari 44 PLTU yang diambil sampelnya oleh Trend Asia, rata-rata bauran biomassa hanya 1,7 persen per 2023. Adapun di PLTU Pelabuhan Ratu, hanya menyerap campuran biomassa senilai 0,74 persen, sedangkan penggunaan batu bara per tahunnya bisa mencapai 5 juta ton. 

Amalya mewanti-wanti Perhutani dan PLN menggunakan program co-firing dengan pasokan biomassa ini untuk kepentingan bisnis. Bagi Perhutani, bisnis biomassa menjadi oase di tengah lesunya bisnis sektor kehutanan.

Bagi PLN, biomassa semacam manuver greenwashing untuk memperpanjang usia PLTU dengan penggunaan batu bara melalui solusi palsu transisi energi biomassa. “Jadi kepentingan biomassa ini untuk menghidupkan kembali bisnis Perhutani karena tujuannya ekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Dan bagi PLN untuk kepentingan memperpanjang bisnis batu bara,” kata Amalya.  

Bagian petak 93 dari Hutan Pasir Piring yang dijadikan lokasi HTE untuk memasok biomassa. Foto: Rohman/Law-justice

Law-justice sudah mencoba bertanya ke Perhutani soal luasan areal HTE dan dugaan kepentingan bisnis di balik produksi biomassa. Namun, Perhutani tidak membalas hingga berita ini rilis.

Bagi Ketua LMDH Waluran, Fazri Mulyono, kehadiran HTE biomassa bukan cuma momok bagi petani, tapi juga lingkungan. Hutan pasir piring selama ini menjadi tumpuan pasokan air bagi kawasan Jampang Kulon, Waluran, hingga Kalibunder. Ketika produksi biomassa makin ekspansif, Fazri mengkhawatirkan daerah resapan air kawasan hutan bakal menyusut. Akibatnya bisa terjadi krisis air bagi masyarakat dan bencana banjir secara rutin bagi mereka yang tinggal beririsan dengan hutan.

“Kalau musim kemarau di atas 3 bulan, itu terasa sekali krisis air dirasakan warga,” kata Fazri.

Fazri dan masyarakat setempat mempunyai sikap untuk menolak menanam tanaman energi. Kendati diberi jatah sekira 30 persen dari konsesi HTE, Fazri tetap pada pendirian menanam tanaman nirkayu.

 “Kalau bicara soal nilai ekonomi, mungkin menggiurkan, tapi kami punya sikap bahwa hutan untuk kepentingan umum. Petani bisa berdaya ekonomi dari pohon berbuah tanpa merusak hutan,” tuturnya.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar