Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co
Analisis Hukum RUU KUHAP, Hukum untuk Keadilan Rakyat atau Kekuasaan?

Pembahasan RUU KUHAP (ist)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Meskipun KUHAP tersebut pernah menjadi tonggak kemajuan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, namun dalam perjalanannya, banyak pihak menilai bahwa aturan ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Salah satu aspek yang paling menonjol adalah ketidakmampuannya untuk mengakomodasi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) secara komprehensif, terutama dalam perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa selama proses hukum. Selain itu, kemajuan teknologi informasi telah menghadirkan tantangan baru, seperti praktik penyadapan dan penggunaan barang bukti digital, yang belum secara eksplisit diatur dalam KUHAP yang ada saat ini.
Tak hanya itu, dinamika kejahatan juga mengalami transformasi, di mana munculnya kejahatan transnasional dan terorganisir seperti perdagangan manusia, narkotika lintas negara, dan cybercrime membutuhkan instrumen hukum acara yang lebih adaptif dan responsif. KUHAP yang ada saat ini dianggap belum cukup memberikan ruang untuk penanganan efektif terhadap jenis-jenis kejahatan tersebut.
Di sisi lain, prinsip-prinsip peradilan modern, seperti fair trial dan due process of law, yang menekankan pada keadilan prosedural serta perlindungan hak-hak individu dalam proses hukum, belum sepenuhnya terakomodasi dalam sistem hukum acara pidana yang sekarang berlaku.
Oleh karena itu, hadirnya Rancangan Undang-Undang KUHAP (RUU KUHAP) menjadi langkah penting dalam upaya reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Pembaruan ini tidak hanya dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman, tetapi juga sebagai komitmen negara dalam mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih adil, akuntabel, dan sejalan dengan perkembangan global. RUU KUHAP diharapkan mampu menjadi fondasi hukum acara yang modern, berorientasi pada perlindungan HAM, adaptif terhadap teknologi, serta tanggap terhadap tantangan kejahatan masa kini.
Dalam kaitan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah memulai proses revisi terhadap KUHAP yang berlaku saat ini. Pada Februari 2025, DPR menyepakati RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai RUU inisiatif DPR.
Proses penyusunan draf dan naskah akademik diharapkan dapat segera diselesaikan agar KUHAP yang baru dapat berlaku bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1 Januari 2026 mendatang. Revisi KUHAP ini dianggap mendesak untuk segera dibahas agar dapat diselaraskan dengan KUHP yang baru, serta untuk menjamin keseimbangan keadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia
ANALISIS HUKUM RUU KUHAP
- Analisis Materi Muatan RUU KUHAP
RUU KUHAP hadir sebagai langkah strategis dalam pembaruan hukum nasional yang bertujuan untuk menyempurnakan dan memperluas cakupan pengaturan yang terdapat dalam KUHAP sebelumnya (UU No. 8 Tahun 1981). Setelah lebih dari empat dekade diterapkan, KUHAP mengalami berbagai tantangan dalam merespons dinamika hukum, perkembangan teknologi, serta kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
RUU KUHAP menyempurnakan berbagai ketentuan penting yang selama ini menimbulkan multi-tafsir dan kesenjangan implementasi. Tidak hanya itu, RUU KUHAP juga memperluas cakupan dengan mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dalam proses peradilan pidana. Penggunaan bukti digital, mekanisme pemeriksaan saksi jarak jauh, hingga sistem administrasi peradilan berbasis elektronik kini menjadi bagian integral dalam upaya mewujudkan peradilan yang lebih efisien dan modern.
Di samping itu, penyempurnaan juga dilakukan terhadap struktur kelembagaan dan mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum. RUU KUHAP mengatur prosedur yang lebih ketat dalam hal penangkapan, penahanan, dan penggeledahan, sekaligus memberikan ruang partisipasi publik melalui penguatan kontrol yudisial terhadap proses hukum.
Dengan demikian, RUU KUHAP tidak hanya menjadi penyempurna dari segi normatif, tetapi juga mencerminkan semangat reformasi hukum pidana yang berpihak pada keadilan substantif dan perlindungan hak asasi manusia. Pembaruan ini diharapkan mampu menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih responsif, terpercaya, dan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Beberapa upaya penyempurnaan dan perluasan ketentuan penting dalam KUHAP sebelumnya, diantaranya :
Pertama, Kewenangan Penyidikan. Jika di KUHAP yang lama penyidikan terpusat pada Kepolisian maka di KUHAP yang baru bisa dilakukan oleh Lembaga lain dengan mekanisme hukum yang jelas. Jadi salah satu pembaruan penting yang patut disoroti adalah pengakuan serta penguatan terhadap peran penyidik independen di luar institusi kepolisian. Hal ini mencerminkan semangat reformasi sistem peradilan pidana yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan penegakan hukum yang profesional dan akuntabel.
Penyidik dari lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), yang sebelumnya kerap berada dalam posisi yang ambigu dalam sistem hukum acara pidana, kini diberikan kedudukan hukum yang lebih jelas dan kokoh. RUU KUHAP yang baru secara eksplisit mengakomodasi keberadaan dan kewenangan mereka, namun juga mengiringinya dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen untuk menjaga integritas proses penyidikan serta mencegah potensi penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, pembaruan ini menekankan pentingnya profesionalisme dalam pelaksanaan fungsi penyidikan. Tidak hanya sekadar menjalankan tugas berdasarkan kewenangan formal, penyidik diharapkan mampu menerapkan standar kerja yang tinggi, termasuk dalam hal kemampuan teknis, objektivitas dalam pengambilan keputusan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Akuntabilitas juga menjadi prinsip utama, di mana setiap tindakan penyidikan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etis, baik kepada atasan langsung, lembaga pengawas, maupun publik.
Dengan penguatan peran penyidik independen dan penekanan pada prinsip profesionalisme serta akuntabilitas, RUU KUHAP ini diharapkan dapat membangun sistem peradilan pidana yang lebih modern, adil, dan transparan. Reformasi ini merupakan bagian dari upaya jangka panjang untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan menjamin perlindungan hak-hak warga negara dalam proses hukum.
Kedua, Mekanisme Pra-Peradilan. Jika di KUHAP yang lama, pra-peradilan terbatas (hanya pada aspek penangkapan /penahanan maka di RUU KUHAP yang baru diperluas hingga mencakup penetapan tersangka, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta tindakan penyitaan dan penggeledahan.
Perluasan objek praperadilan ini merupakan langkah progresif dan menjadi respons langsung terhadap kekhawatiran masyarakat serta praktik penyidikan yang kerap kali dinilai rawan penyalahgunaan kewenangan. Dalam praktiknya, penetapan tersangka yang dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, atau tindakan penyitaan dan penggeledahan yang tidak didasarkan pada prosedur yang sah, dapat merugikan hak-hak warga negara. Oleh karena itu, mekanisme praperadilan yang lebih luas ini diharapkan dapat menjadi alat kontrol yang efektif terhadap tindakan aparat penegak hukum, sekaligus memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia dan prinsip due process of law.
Dengan dimasukkannya objek-objek tersebut ke dalam ruang lingkup praperadilan, RUU KUHAP yang baru mengusung semangat transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam proses hukum. Ini menunjukkan komitmen negara dalam menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, berimbang, dan menjamin perlindungan hukum bagi setiap individu.
Ketiga, Perlindungan Hak Tersangka dan Terdakwa. Di KUHAP yang lama hak hak tersangka memang sudah dikenal tetapi belum maksimal. Di RUU KUHAP yang baru, hak tersangka lebih eksplisit dan diperluas ( termasuk akses pendampingan hukum dan larangan penyiksaan).
Di RUU KUHAP yang baru, terdapat penguatan signifikan terhadap perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana. Salah satu poin krusial yang diatur adalah jaminan atas hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak tahap paling awal, yakni tahap penyelidikan. Hal ini mencerminkan komitmen negara dalam memastikan bahwa setiap orang yang berhadapan dengan hukum memiliki pendampingan hukum yang memadai, demi menjamin proses yang adil dan berimbang.
Lebih lanjut, RUU KUHAP juga secara tegas memberikan perlindungan terhadap hak untuk tidak disiksa. Ini berarti bahwa dalam setiap proses penegakan hukum, aparat dilarang keras melakukan tindakan kekerasan fisik maupun psikologis terhadap tersangka maupun terdakwa. Perlindungan ini sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang universal dan menempatkan martabat manusia sebagai nilai utama dalam proses peradilan.
Selain itu, RUU KUHAP juga memuat ketentuan penting mengenai larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Dengan demikian, alat bukti yang diperoleh melalui cara-cara yang bertentangan dengan hukum, seperti penyiksaan, ancaman, atau pelanggaran prosedur, tidak dapat digunakan dalam proses pembuktian di pengadilan. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah praktik penyalahgunaan kewenangan dan menjaga integritas sistem peradilan pidana.
Secara keseluruhan, pengaturan ini mencerminkan arah reformasi hukum acara pidana di Indonesia yang lebih berkeadilan, transparan, dan menghormati hak-hak dasar setiap individu, tanpa mengesampingkan tujuan penegakan hukum itu sendiri
Ke Empat, Sistem Peradilan Berbasis Elektronik. Jika di KUHAP yang lama soal digitalisasi tidak dikenal maka di RUU KUHAP yang baru diperkenalkan mekanisme elektronik sebagai bentuk respons terhadap perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan efisiensi dalam sistem peradilan pidana. Salah satu aspek penting dari pembaruan ini adalah penguatan legalitas terhadap penggunaan e-court (pengadilan elektronik) dan e-litigation (persidangan elektronik) dalam proses pidana.
Pengakuan terhadap sistem elektronik ini bukan hanya sebatas adaptasi terhadap era digital, tetapi juga merupakan kelanjutan dari praktik yang telah diterapkan secara luas selama masa pandemi COVID-19. Pandemi menjadi momentum percepatan digitalisasi di berbagai sektor, termasuk peradilan, yang mendorong penggunaan sarana daring (online) dalam penanganan perkara, seperti pelimpahan berkas, persidangan jarak jauh, hingga penetapan putusan secara elektronik.
Dalam konteks ini, RUU KUHAP mencoba memberikan dasar hukum yang lebih kuat dan komprehensif terhadap praktik peradilan elektronik yang sebelumnya bersifat terbatas dan belum sepenuhnya diatur dalam kerangka hukum acara pidana. Dengan demikian, legitimasi e-court dan e-litigation menjadi lebih jelas, tidak hanya dalam perkara perdata dan tata usaha negara, tetapi juga diterapkan dalam perkara pidana, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip peradilan yang adil, transparan, dan akuntabel.
Kelima, Penguatan Peran Korban. Dalam RUU KUHAP yang baru, terdapat penguatan signifikan terhadap peran dan kedudukan korban dalam proses peradilan pidana. Salah satu perubahan penting yang diusung adalah pengakuan hukum yang lebih kuat terhadap hak-hak korban, yang selama ini kerap terpinggirkan dalam sistem peradilan.
Melalui RUU KUHAP ini, korban tidak lagi hanya diposisikan sebagai pihak pasif, melainkan diberikan ruang untuk lebih aktif dalam setiap tahapan proses hukum. Korban berhak untuk mendapatkan pendampingan hukum yang memadai guna memastikan suara dan kepentingannya terwakili secara adil. Selain itu, korban juga memperoleh hak untuk menerima kompensasi atas kerugian yang dideritanya, baik secara fisik, psikis, maupun materiil.
Tak hanya itu, penguatan peran korban juga terlihat dari diberikannya hak untuk berpartisipasi langsung dalam persidangan. Ini mencakup hak untuk menyampaikan pendapat, memberikan keterangan, serta mengikuti jalannya proses hukum yang melibatkan dirinya. Dengan demikian, RUU KUHAP yang baru ini mencerminkan paradigma baru yang lebih humanis, inklusif, dan berpihak kepada keadilan substantif bagi semua pihak yang terdampak oleh tindak pidana.
- Isu Isu Strategis RUU KUHAP
Revisi terhadap KUHAP menjadi agenda penting dalam reformasi hukum pidana Indonesia. RUU KUHAP yang sedang dibahas mengandung sejumlah isu strategis yang perlu menjadi perhatian publik dan pemangku kepentingan. Beberapa isu utama, diantaranya:
Pertama, Potensi Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan.Walaupun revisi ini diarahkan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum, kenyataannya, keberadaan banyak institusi yang diberikan kewenangan penyidikan justru berisiko menimbulkan konflik kewenangan antar lembaga penegak hukum.
Ketidakhadiran regulasi teknis yang rinci dan tegas terkait pembagian peran dan mekanisme koordinasi antar institusi penyidik membuka celah terjadinya ketidakharmonisan dalam praktik penegakan hukum. Hal ini tidak hanya dapat menghambat proses penyidikan itu sendiri, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, penting bagi pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan yang jelas, komprehensif, dan implementatif guna mencegah terjadinya benturan kewenangan serta menjamin bahwa prinsip keadilan dan kepastian hukum tetap terjaga.
Kedua, Kekuatan Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence). Meskipun asas ini secara eksplisit telah ditegaskan sebagai prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana, namun dalam implementasi di lapangan ternyata masih jauh dari harapan.
Dalam praktiknya, praduga tak bersalah seringkali terabaikan, terutama melalui pemberitaan media massa dan publikasi perkara yang cenderung menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai pelaku sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Fenomena ini bukan hanya mencederai asas keadilan, tetapi juga berpotensi membentuk opini publik yang bias, yang pada gilirannya dapat memengaruhi proses peradilan itu sendiri.
Ironisnya, revisi RUU KUHAP sejauh ini belum menyentuh secara konkret upaya pengaturan yang komprehensif untuk memperkuat perlindungan terhadap prinsip praduga tak bersalah. Belum ada norma yang secara tegas mengatur batasan publikasi perkara oleh aparat penegak hukum atau media, termasuk sanksi terhadap pelanggaran asas tersebut. Padahal, dalam konteks penegakan hukum yang berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia, kehadiran regulasi semacam itu sangatlah mendesak.
Ketiga, Pembatasan Proses Banding Kasasi. RUU KUHAP dalam draf terbarunya tampak mengarahkan pada pembatasan terhadap upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali (PK), yang hanya dapat diajukan satu kali.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait potensi terhambatnya akses terhadap keadilan, terutama dalam situasi-situasi khusus di mana bukti baru atau kekeliruan putusan sebelumnya baru terungkap setelah PK pertama diajukan. Pembatasan semacam ini dapat berisiko merugikan pihak-pihak yang sebenarnya memiliki dasar kuat untuk menuntut keadilan lebih lanjut, namun terkendala oleh ketentuan prosedural yang kaku.
Lebih jauh, langkah ini dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjamin hak setiap individu untuk memperoleh perlindungan hukum secara maksimal, termasuk melalui berbagai jalur upaya hukum yang tersedia. Oleh karena itu, penting bagi pembuat undang-undang untuk mempertimbangkan kembali dampak jangka panjang dari pembatasan ini, guna memastikan bahwa sistem peradilan pidana tetap menjunjung tinggi asas keadilan substantif dan tidak sekadar mengejar efisiensi prosedural semata.
Ke Empat, Overkriminalisasi dan Beban Institusi. Revisi RUU KUHAP telah memunculkan berbagai isu strategis salah satu sorotan utama adalah kecenderungan overkriminalisasi, yaitu perluasan ruang lingkup perbuatan yang dikriminalisasi tanpa pertimbangan yang proporsional terhadap dampaknya. Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa semakin banyak tindakan yang seharusnya dapat diselesaikan di luar sistem peradilan pidana justru masuk ke dalam ranah hukum pidana formal.
Lebih lanjut, beban institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dikhawatirkan akan semakin berat akibat tidak adanya pendekatan yang mengarah pada dekriminalisasi atau depenalisasi. RUU KUHAP dalam bentuknya saat ini tidak secara eksplisit mendukung prinsip-prinsip tersebut, yang pada dasarnya bertujuan mengurangi penggunaan pidana penjara untuk pelanggaran ringan atau nonkekerasan.
Ketiadaan dukungan terhadap dekriminalisasi dan depenalisasi dalam RUU ini juga memperlihatkan kurangnya keselarasan dengan pendekatan keadilan restoratif, yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta mengedepankan penyelesaian konflik di luar mekanisme penghukuman formal. Ketidakseimbangan ini berpotensi menghambat reformasi sistem peradilan pidana yang lebih humanis, efisien, dan berorientasi pada pemulihan sosial.
Ke Lima, Keseimbangan antara Kewenangan Penegak Hukum dan Hak Tersangka.Dalam konteks penegakan hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah RUU KUHAP telah secara proporsional mengatur perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa sebanding dengan kewenangan yang diberikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, mengingat adanya potensi bahwa pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada aparat penegak hukum dapat membuka celah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap ketentuan dalam RUU KUHAP tidak hanya memperkuat efektivitas proses peradilan pidana, tetapi juga menjamin adanya mekanisme kontrol dan akuntabilitas terhadap tindakan aparat penegak hukum, demi menjaga prinsip due process of law dan mencegah terjadinya praktik sewenang-wenang dalam proses penyidikan maupun penuntutan.
Ke Enam, Pengaturan Penyadapan dan Bukti Digital. Dalam draf revisi RUU KUHAP yang baru, terdapat upaya untuk memperjelas prosedur penyadapan serta legalitas dan keabsahan bukti digital sebagai bagian dari alat bukti yang sah di pengadilan. Langkah ini sejatinya merupakan respons terhadap perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat dan kompleks.
Namun, meskipun ada niat untuk memperkuat kepastian hukum, sejumlah kontroversi turut mencuat, terutama menyangkut pihak yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan, prosedur perizinan yang harus ditempuh, serta batasan-batasan yang diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi.
Perdebatan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat akan potensi penyalahgunaan wewenang, di mana penyadapan dapat dilakukan tanpa pengawasan yang memadai atau tanpa dasar hukum yang kuat. Selain itu, belum adanya standar yang jelas dalam perlindungan dan validitas bukti digital juga menimbulkan persoalan tersendiri terkait integritas proses peradilan.
Dengan demikian, revisi RUU KUHAP bukan hanya berurusan dengan aspek teknis dalam hukum acara pidana, tetapi juga menyangkut prinsip-prinsip fundamental dalam negara hukum demokratis, seperti perlindungan terhadap kebebasan sipil, hak atas privasi, dan jaminan terhadap proses hukum yang adil. Oleh karena itu, pembahasan dan penyusunan pasal-pasal terkait penyadapan dan bukti digital harus dilakukan secara hati-hati, inklusif, dan partisipatif, agar dapat menjawab tantangan zaman tanpa mengorbankan hak-hak dasar warga negara.
Ke Tujuh, Reformasi Proses Penahanan. Proses penahanan yang selama ini sering dipandang sebagai potensi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kini ingin dikendalikan lebih ketat untuk memastikan bahwa penahanan hanya dilakukan dalam kondisi yang sangat diperlukan, dengan dasar hukum yang kuat.
Namun, langkah untuk memperketat syarat penahanan ini menghadirkan tantangan yang cukup besar. Salah satu isu utama yang muncul adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara perlunya penahanan untuk memastikan bahwa tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana, dengan tetap menghormati asas praduga tak bersalah yang merupakan prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana.
Praduga tak bersalah menuntut agar setiap individu dianggap tidak bersalah sampai terbukti melalui proses hukum yang sah. Oleh karena itu, penahanan yang dilakukan tanpa alasan yang jelas dan kuat berpotensi melanggar hak-hak individu, bahkan sebelum proses persidangan dimulai.
Revisi RUU KUHAP harus mampu memberikan solusi yang bijaksana, dengan tetap mempertimbangkan kepentingan perlindungan terhadap hak asasi tersangka, sambil memastikan bahwa sistem peradilan pidana tetap efektif dalam mencegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan proses hukum, seperti pelarian, penghancuran barang bukti, atau pengulangan tindak pidana. Hal ini menjadi tantangan besar dalam merancang sebuah sistem penahanan yang tidak hanya efisien dan efektif, tetapi juga adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Ke Delapan, Ketegangan antara KUHAP Baru dan KUHP Baru. Kedua peraturan hukum ini, meskipun memiliki peran yang berbeda, saling terkait dan harus berfungsi secara harmonis untuk menciptakan sistem hukum yang efektif. Oleh karena itu, sinkronisasi antara RUU KUHAP dan KUHP sangatlah penting, guna memastikan bahwa tidak ada tumpang tindih norma hukum yang dapat menyebabkan kebingungan dalam praktik penegakan hukum.
Jika kedua aturan ini tidak diselaraskan dengan baik, potensi konflik atau ketidaksesuaian antara pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP akan sangat besar. Hal ini bisa mengganggu proses peradilan dan memperumit implementasi hukum di lapangan. Misalnya, jika prosedur hukum yang diatur dalam KUHAP bertentangan dengan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP, maka petugas penegak hukum bisa kebingungan dalam menentukan langkah yang tepat. Selain itu, ketidaksesuaian ini juga dapat menyebabkan ketidakpastian bagi masyarakat, baik dalam hal perlindungan hak-hak individu maupun dalam hal kepastian hukum.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa kedua rancangan undang-undang ini dapat saling mendukung dan tidak bertentangan satu sama lain. Dengan begitu, reformasi hukum yang tengah berjalan dapat menghasilkan sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan dapat diandalkan, serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan penegakan hukum yang efektif dan tepat.
Ke Sembilan,Substansi draft RUU KUHAP 2025 Dinilai Telah Menghilangkan Rangkaian Sejarah Pembahasan RUU KUHAP Sebelumnya. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, koalisinya sudah lama terbentuk dan terlibat aktif dalam advokasi yang berkaitan dengan hukum acara pidana. Dari mulai penanganan kasus hingga advokasi strategis untuk pembaharuan KUHAP.
Namun perannya dinilai telah dinihilkan karena draft RUU KUHAP versi 17 Februari 2025 yang kemudian berkembang menjadi draft 20 Maret 2025,dinilai tidak menjawab permasalahan KUHAP saat ini. Bahkan kebaruan-kebaruan progresif yang telah dimuat dalam RUU KUHAP versi 2012 hilang dari draft RUU KUHAP 2025. Misalnya materi krusial yang hilang yaitu hilangnya konsep hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) yang menjadi tonggak judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan bagi seluruh penilaian perlu atau tidaknya dilakukan upaya paksa dan pengujian sah atau tidak upaya paksa yang telah dilakukan, serta HPP dapat memeriksa seluruh pelanggaran hak tersangka. Konsep progresif tersebut hilang dalam draft 2025.
Draft RKUHAP saat ini dinilai telah menghilangkan materi-materi progresif yang dimuat dalam perjalanan panjang pembahasan RKUHAP dari 2004 hingga 2012. Materi lainnya seperti kepastian tindak lanjut laporan pidana untuk bisa diadukan ke Penuntut Umum, adanya habeas corpus pasca ditangkap orang harus dihadapkan ke hakim, batas waktu penahanan sebelum persidangan, hingga seluruh upaya paksa yang harus dilakukan atas izin hakim yang setidaknya menjamin akuntabilitas dan meminimalisir monopoli diskresi penyidik.
Ke Sepuluh, Draft RKUHAP Saat ini Dinilai Tidak Mengakomodir Sembilan Isu Krusial yang Perlu Masuk Dalam RUU KUHAP. Menurut Koalisi Masyarakt Sipil untuk Pembaruan KUHAP, sembilan materi krusial tersebut mulai dari 1) kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana, 2) mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny), 3) standar upaya paksa berdasarkan perlindungan HAM, 4) akuntabilitas teknik investigasi khusus, 5) peran advokat dan jaminan keberimbangan proses peradilan pidana, 6) sistem hukum pembuktian dan alat bukti, 7) aturan terkait sidang elektronik dan jaminan asas peradilan terbuka untuk umum, 8) akuntabilitas penyelesaian perkara diluar persidangan, hingga 9) jaminan pemenuhan hak-hak tersangka, saksi, korban kelompok rentan dan disabilitas.
Ke Sebelas, Partisipasi Publik dan Transparansi Belum Optimal.Isu ini muncul seiring dengan kekhawatiran publik, akademisi, dan masyarakat sipil yang merasa bahwa mereka belum diberikan ruang yang cukup untuk terlibat dalam proses penyusunan RUU KUHAP tersebut.
Selama ini, proses legislasi RUU ini dinilai kurang inklusif, mengabaikan keterlibatan berbagai elemen masyarakat yang memiliki kepentingan langsung terhadap kebijakan tersebut.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP, proses legislasi yang berjalan selama ini terkesan tidak memberikan kesempatan yang memadai untuk dialog terbuka dan partisipasi yang berarti. Mereka menyatakan bahwa kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan minimnya diskusi publik telah menyebabkan lahirnya kekhawatiran bahwa RUU ini disusun tanpa memperhatikan masukan dari berbagai pihak yang seharusnya terlibat.
Oleh karena itu, Koalisi ini mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Pemerintah lebih terbuka dalam proses pembahasan RUU KUHAP. Mereka menuntut agar partisipasi publik tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar bermakna, sehingga proses legislasinya dapat mencerminkan suara dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Tuntutan ini menekankan pentingnya transparansi dalam setiap tahap penyusunan, sehingga masyarakat dapat memahami secara jelas bagaimana setiap pasal dan kebijakan akan diterapkan. Dengan melibatkan publik secara lebih aktif dan memberikan ruang bagi diskusi yang lebih luas, diharapkan RUU KUHAP yang baru nantinya akan lebih representatif, adil, dan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat Indonesia.
- Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis hukum terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka selanjutnya dapat disampaikan sejumlah rekomendasi strategis yang bertujuan untuk memperkuat substansi hukum serta menjamin tercapainya asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Rekomendasi-rekomendasi ini disusun dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal, perkembangan kebutuhan masyarakat, serta dinamika praktik peradilan yang selama ini terjadi. Diharapkan, masukan-masukan ini dapat menjadi pertimbangan dalam proses pembahasan lebih lanjut RUU KUHAP agar menghasilkan instrumen hukum acara pidana yang lebih responsif, akuntabel, dan sesuai dengan semangat reformasi hukum nasional.
Pertama, Perlu Penyusunan Peraturan Pelaksana secara terperinci untuk menghindari multitafsir. RUU KUHAP memerlukan penyusunan peraturan pelaksana yang sangat terperinci dan mendalam guna memastikan pelaksanaan hukum yang adil dan jelas. Tanpa adanya peraturan pelaksana yang rinci, potensi terjadinya multitafsir dalam interpretasi pasal-pasal yang ada akan semakin besar.
Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan para pihak yang terlibat dalam proses peradilan, baik itu tersangka, terdakwa, korban, maupun aparat penegak hukum. Oleh karena itu, untuk menghindari kerancuan dalam penerapan hukum, peraturan pelaksana yang disusun harus mencakup segala aspek teknis dan prosedural yang ada dalam RUU KUHAP, sehingga dapat memperjelas maksud dan tujuan setiap ketentuan hukum yang ada.
Penyusunan yang matang dan komprehensif ini akan memberikan dasar hukum yang kuat, yang mampu mengarahkan pelaksanaan peradilan dengan lebih transparan dan terukur, serta menghindarkan adanya interpretasi yang dapat merugikan salah satu pihak.
Kedua, Perlu Pelatihan dan Pendidikan Hukum bagi aparat penegak hukum terkait prosedur baru dan prinsip keadilan restoratif. Untuk memastikan implementasi yang efektif dari UU KUHAP yang baru, diperlukan adanya Pelatihan dan Pendidikan Hukum yang komprehensif bagi aparat penegak hukum. Hal ini bertujuan untuk memastikan mereka memahami dengan baik prosedur baru yang diatur dalam RUU tersebut, termasuk perubahan signifikan dalam mekanisme peradilan pidana.
Selain itu, pendidikan hukum ini juga penting untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai prinsip keadilan restoratif yang menjadi salah satu aspek penting dalam reformasi sistem peradilan pidana.
Keberhasilan penerapan prinsip keadilan restoratif, yang lebih menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, sangat bergantung pada kemampuan aparat penegak hukum untuk memahami, menginternalisasi, serta mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut dalam setiap tahap proses peradilan. Oleh karena itu, pelatihan yang berkesinambungan dan berfokus pada penerapan RUU KUHAP yang baru akan sangat menentukan efektivitas perubahan sistem peradilan ini, serta tercapainya keadilan yang lebih restoratif dan berkelanjutan di Indonesia.
Ketiga, Diperlukan Penguatan Peran Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan dalam menafsirkan norma acara pidana baru yang lebih progresif. Untuk Implementasi UU KUHAP yang lebih progresif nantinya akan memerlukan penguatan peran Mahkamah Konstitusi dan pengadilan dalam menafsirkan norma-norma acara pidana yang baru. Hal ini dikarenakan RUU KUHAP yang diusulkan mengandung banyak perubahan yang berpotensi untuk memperbarui pendekatan terhadap hak asasi manusia, akses terhadap keadilan, serta prosedur hukum yang lebih transparan dan akuntabel.
Oleh karena itu, tugas Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan pengadilan sebagai lembaga penegak hukum sangat penting untuk memastikan bahwa norma-norma baru tersebut diinterpretasikan secara tepat sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional dan nilai-nilai progresif yang terkandung di dalamnya.
Penguatan peran ini juga mencakup kemampuan lembaga-lembaga tersebut dalam menangani perkara yang mungkin memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan responsif terhadap perkembangan masyarakat dan dinamika hukum. Sebagai contoh, dalam menangani isu-isu seperti hak terdakwa, prinsip praduga tak bersalah, serta perlindungan terhadap saksi dan korban, pengadilan dan Mahkamah Konstitusi perlu memberikan tafsiran yang dapat memastikan bahwa norma yang diterapkan benar-benar memberikan keadilan yang substantif.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berperan dalam menjaga agar undang-undang acara pidana baru ini tetap sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan tidak bertentangan dengan konstitusi negara.
Secara keseluruhan, implementasi RUU KUHAP yang progresif akan sangat bergantung pada kemampuan lembaga-lembaga yudikatif tersebut dalam memberikan interpretasi yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga substantif, demi tercapainya tujuan dari reformasi hukum pidana yang lebih adil dan berpihak pada hak asasi manusia.
Ke Empat, Komisi Agar Segera Membuka Akses Informasi Terkait Draft RUU KUHAP. Harapan ini sebagaimana disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP. Bahwa mereka menghrapkan Komisi III DPR-RI untuk segera membuka akses informasi terkait draf RKUHAP dan diskusi-diskusi pembahasannya dengan Kementerian/Lembaga negara yang telah tertutup sejak Januari hingga pertengahan Maret 2025.
Karena tertutupnya proses pembahasan selama ini telah mengakibatkan tidak adanya partisipasi bermakna dari berbagai pihak yang selama ini berkontribusi dalam sistem peradilan pidana, termasuk organisasi profesi, akademisi, advokat, lembaga layanan korban, komunitas korban, kelompok rentan, serta masyarakat sipil lainnya. Proses yang terkesan terburu-buru ini semakin diperparah dengan pernyataan bahwa target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi dua kali masa sidang.
Padahal, RUU KUHAP secara keseluruhan mencakup sebanyak 334 pasal dengan total daftar inventarisasi masalah (DIM) yang perlu dibahas mencapai 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. Oleh karena itu, kami menekankan pentingnya melibatkan semua elemen secara aktif dalam proses ini agar hasil akhir dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara menyeluruh.
Kelima,Segera Masukkan Sembilan Isu Krusial. Hal ini sejalan dengan desakan dari Koalisi Masayarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP yang telah mendesak agar sembilan isu krusial yang saat ini tidak diakomodir dalam draf RUU KUHAP segera dimasukkan ke dalam penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP yang akan datang.
Tanpa memasukkan sembilan isu krusial ini ke dalam draf RUU KUHAP, maka KUHAP baru yang akan dihasilkan dinilai tidak akan mencerminkan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dan tidak mengatasi masalah KUHAP saat ini. Oleh karena itu, kami menekankan urgensi untuk mengintegrasikan semua aspek tersebut demi tercapainya reformasi sistem peradilan pidana yang lebih baik dan terciptanya KUHAP yang adil dan beradab.
Bagaimanapun RUU KUHAP sejatinya bukan sekadar rangkaian pasal dan ayat, ia adalah cerminan arah keadilan dalam sebuah negara hukum. Pertanyaan krusial yang harus terus digemakan adalah: untuk siapa hukum ini dibuat? Jika hukum tak lagi berpihak pada keadilan dan perlindungan hak-hak warga negara, maka yang tersisa hanyalah instrumen kekuasaan yang membungkam, bukan mengayomi.
Oleh karena itu, publik harus tetap kritis, akademisi harus bersuara, dan pembuat kebijakan harus sadar: setiap keputusan hukum adalah investasi moral bagi masa depan demokrasi kita. Jangan sampai RUU KUHAP menjadi simbol kemunduran hukum, bukan sebagai payung keadilan bagi rakyat, tapi sebagai tongkat pemukul bagi kekuasaan.
Komentar