Berburu Residu Kasus E KTP, Kasus yang Rugikan Negara Trilunan dan Libatkan Eks Ketua DPR RI

Kasus Korupsi Lawas E-KTP Dibuka Lagi, Siapa yang Disasar?

Sabtu, 11/01/2025 16:44 WIB
Ilustrasi: KPK Kembali membuka kasus dugaan korupsi pengadaan E-KTP. Siapa yang bakal menyusul eks Ketua DPR Setya Novanto masuk bui? (Foto: Tirto)

Ilustrasi: KPK Kembali membuka kasus dugaan korupsi pengadaan E-KTP. Siapa yang bakal menyusul eks Ketua DPR Setya Novanto masuk bui? (Foto: Tirto)

law-justice.co - Kasus E-KTP tergolong kasus megakorupsi yang melibatkan anggaran hingga Rp2,3 triliun dan sejumlah figur politisi. Di kasus ini Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar saat itu menjadi terpidana. Kasus yang mulai dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2014 namun menghebohkan di tahun 2017, kini mulai dibuka lagi. Jika menilik dakwaan, kasus ini diduga bakal menyenggol sekitar 60 anggota DPR priode tersebut.

Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Kasus ini diawali dengan berbagai kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP sehingga membuat berbagai pihak seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi.

Dalam kasus korupsi E-KTP tersebut, dalam kasus ini 8 orang telah menjadi terpidana, sebagian sudah menjalani hukuman dan menjalani pembebasan bersyarat. Mereka adalah mantan Ketua DPR RI 2014-2019 Setya Novanto; dua mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto; pengusaha, Made Oka Masagung; dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.

Selanjutnya pengusaha, Andi Narogong; Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudihardjo; dan mantan anggota DPR, Markus Nari. Pada 2019, KPK kembali menetapkan 4 orang tersangka baru dalam kasus tersebut, mereka adalah Miryam S Haryani; Dirut PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos; Dirut Perum PNRI, Isnu Edhi Wijaya; dan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik, Husni Fahmi.

Memasuki tengah tahun 2024, KPK membuka lagi kasus dugaan korupsi E-KTP ini.  KPK memanggil beberapa orang untuk menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi E-KTP, seperti Miryam S Haryani, Agun Gunandjar, dan Teguh Juwarno.

Teguh Juwarno adalah mantan Anggota DPR RI Periode 2009-2014 dan diperiksa oleh KPK terkait dugaan kasus korupsi E-KTP tersebut. Teguh ogah merinci terkait perihal pemanggilan KPK terhadap dirinya mengenai dugaan kasus korupsi E-KTP. "Tanya ke KPK aja ya," kata Teguh ketika dikonfirmasi, Rabu (08/01/2025).

Sementara itu, Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa turut menjalani pemeriksaan terkait dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Ketika diperiksa oleh KPK, Agun mengklaim dicecar terkait tersangka baru dalam kasus  dugaan korupsi yang diusut pada tahun 2010 tersebut. "Ya waktu itu, saya dipanggil untuk dimintai keterangan," kata Agun ketika dikonfirmasi, Jumat (10/01/2024).

Beberapa waktu lalu, Agun menyebut terdapat tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi E-KTP tersebut. Namun Agun tidak menerangkan lebih lanjut terkait hal itu. Agun juga tidak ingin menjelaskan mengenai substansi pertanyaan penyidik pemeriksaan tersebut. Ia menyatakan lebih baik meminta keterangan ke KPK langsung. "Ditanya ke Juru Bicara saja. Saya nggak berani kalau masuk penyidikan tanya petugas," ujarnya.

Anggota DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa usai diperiksa sebagai saksi di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/11/2024). (Detik)

Sementara itu, Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Nusa Tenggara Timur Melki Laka Lena mengaku tak tahu menahu soal proyek pengadaan e-KTP. Melki diketahui memang menjabat sebagai tenaga ahli di DPR pada 2012-2013. Melki menyatakan sebagai tenaga ahli kala itu ia hanya menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis seperti materi rapat dan hal yang berkaitan dengan daerah pemilihan. "Saya biasa disuruh siapkan materi rapat fraksi, dan kalau harus pidato, pemilihan di NTT," kata Melki ketika dikonfirmasi, Jumat (10/01/2024).

Melki yang merupakan Gubernur NTT terpilih 2024-2029 mengatakan Setnov merupakan orang yang terbuka dengan siapa saja, termasuk dalam menerima tamu di rumahnya.  Menurutnya ketika menjadi Ketua Fraksi Golkar ia kerap menerima tamu dari berbagai kalangan, mulai dari anggota DPR hingga masyarakat di daerah pemilihannya. "Pak SN itu tamunya bejibun, siapapun orangnya, saya pernah bawa dari dapil (daerah pemilihan), beberapa tempat di rumah bisa terima orang," katanya.

"Kalau yang lainnya saya tidak tahu menahu," sambungnya.

Law-justice juga mencoba mengkonfirmasi kepada Kemendagri mengenai proyek e-KTP yang dikerjakan sejak tahun 2010 tersebut. Namun pihak Kemendagri belum memberikan tanggapan terkait hal tersebut. Seperti diketahui bila dalam dugaan kasus korupsi e-KTP sejumlah nama yang merupakan Anggota DPR periode 2009-2014 disebutkan terlibat dalam kasus dugaan korupsi tersebut. Seperti diketahui nama-nama seperti Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Chairuman Harahap, Melchias Markus Mekeng, Jafar Hafsah, Tamsil Linrung, Olly Dondokambey hingga Puan Maharani sempat disebutkan dalam persidangan dugaan kasus korupsi e-KTP.

KPK Bidik Tersangka Baru

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan proses penegakan hukum kasus korupsi e-KTP memang menyasar tersangka baru. Pemeriksaan terhadap sejumlah mantan narapidana merupakan pengembangan dari sejumlah temuan lama dan baru. Temuan lama berdasar barang bukti dan fakta hukum semasa persidangan beberapa tahun lalu. Dan temuan baru merujuk pada barang bukti selama masa penyelidikan sejak 2022. “Penyidikan masih awal berjalan, tapi potensi tersangka lain dalam kasus ini terbuka,” kata Asep kepada Law-justice, Rabu (8/1/2025).

Adapun yang diperiksa KPK, sedikitnya ada tiga mantan narapidana. Mereka adalah eks Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman Zahir, mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Dirjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto dan eks anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam S. Haryani. Ketiganya diperiksa pada 2024.

Untuk nama terakhir yang disebut, bahkan KPK mengeluarkan surat pencekalan bepergian ke luar negeri. Miryam bebas usai menjalani vonis hukuman penjara lima tahun. Dia disebut sebagai penyalur uang korupsi e-KTP ke pimpinan dan anggota Komisi II DPR untuk memuluskan pembahasan anggaran proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut. Juga, Miryam disebut dalam dakwaan Miryam meminta uang sebesar USD 100 ribu kepada Dirjen Dukcapil Kemendagri, Norman Irman, untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke berbagai daerah.

Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu. (Antara via Jawapos)

Uang itu diserahkan kepada perwakilan Miryam di sebuah SPBU di Pancoran, Jakarta Selatan. Selama periode 2011-2012, Miryam juga diduga menerima uang beberapa kali dari Irman dan Sugiharto. Saat dia menjadi saksi, yang bersangkutan dianggap memberi kesaksian palsu yang membantah semua sangkaan keterlibatannya dalam bancakan ini.

Selain meminta kesaksian dari eks narapidana kasus ini, KPK pun memanggil anggota DPR dari Golkar, yakni Agun Gunandjar pada jelang akhir 2024. Seusai pemeriksaan, politisi itu mengklaim pemeriksaan dirinya untuk mengungkap dua tersangka baru. Agun sendiri merupakan kolega dari Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang menjadi narapidana kasus ini. Setya Novanto dalam fakta persidangan disebut sebagai otak dari bancakan yang menelan anggaran negara Rp 5,9 triliun ini.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, tidak heran KPK membuka kembali penyidikan kasus korupsi e-KTP. Sebab, banyak politisi yang menikmati bancakan. Dalam catatan ICW, tiga partai politik diduga terlibat menerima uang bancakan: Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP. Merujuk dakwaan jaksa, sedikitnya ada Rp 150 miliar yang mengalir ke Demokrat dan Golkar serta Rp 80 miliar ke PDIP. “Duit suap ini diduga masuk ke kas partai, bukan sekadar ke kocek pribadi anggota parlemen,” kata Egi kepada Law-justice, Kamis (9/1).

Dari catatan ICW pula, bancakan proyek jumpo pengadaan e-KTP ini direncanakan jauh sebelum proyeknya dimulai pada 2009. Pada April tahun itu, sejumlah politikus Partai Demokrat dan Golkar, disebut Egi bertemu di restoran di Jakarta Selatan. Dari Demokrat, yang hadir adalah Anas Urbaningrum, Muhammad Nazarudin, Ignatius Mulyono dan Zainal Abidin. Dari Golkar, ada hadir Mustokoweni Murdi, yang membawa Andi Narogong. Nama terakhir yang disebut adalah pengusaha yang dekat dengan politisi dan sering mengerjakan proyek di Kemendagri. “Andi meminta proyek e-KTP tak dipecah-pecah anggarannya supaya mudah dikoordinasi,” kata Egi yang merujuk dakwaan persidangan.

Agar proyek itu mulus, Andi meminta para politisi tersebut mendorong penggantian Dirjen Dukcapil yang saat itu dijabat Rasyid Saleh. Andi mendesak Rasyid diganti oleh Irman, yang kala itu berstatus direktur di Kemendagri. Walhasil, Irman pun menjadi Plt. Dirjen Dukcapil dan langsung diarahkan untuk kepentingan proyek. Egi bilang gerilya memuluskan proyek ini kian intens ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Bupati Solok Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri. Para politisi yang terlibat dalam pertemuan dengan Andi di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan itu, mengatur strategi siapa saja pihak yang harus didekati agar proyek ini lancar. Mereka adalah insitusi sekaliber Badan Anggaran, Kementerian Keuangan dan Kemendagri.

Andi Narogong, terpidana kasus korupsi e KTP mendengarkan keterangan saksi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (20/10/2017). (Antara via Bisnis)

Andi yang menjadi katalisator antara Kemendagri dan DPR meminta Irman menemui Ketua Fraksi Golkar, Setya Novanto. “Di sini, pertemuan awal antara pihak Kemendagri dengan pimpinan DPR selaku pihak yang menyetujui anggaran,” ujar Egi.

Tak lama pertemuan itu, rentang waktu Februari hingga Mei 2010, Komisi Pemerintah DPR membahas proyek e-KTP beserta anggarannya. Rapat di DPR menyepakati sejumlah hal krusial, seperti memutuskan anggaran Rp 384 miliar untuk pemutakhiran data penduduk dan pemberian nomor induk. “Anggarannya kan kurang lebih Rp 384 miliar untuk dua input proyek itu dan anggaran pengadaan KTP disepakati Rp 2,46 triliun pada APBN 2011 dan Rp 3,8 triliun pada 2012,” tutur Egi.

Politisi Demokrat yang berada di Badan Anggaran DPR, yakni Mirwan Amir, kata Egi, diminta Anas Urbaningrum untuk membahas dan memberi persetujuan atas angka tersebut. Adapun Badan Anggaran baru menyetujui pengajuan anggara triliunan itu pada September 2010 dengan skema memakai kas tahun jamak. “Nah setelah keluar anggaran, barulah dibagi-bagi,” ujar Egi.

Rinciannya, Rp 2,6 triliun sebagai modal kerja, Rp 2,5 triliun sebagai keuntungan. Kata Egi, keuntungan proyek kemudian dibagi-bagi untuk pejabat Kementerian, anggota DPR, dan konsorsium pemenang tender. Egi masih ingat betul dakwaan jaksa yang menyebut sediktinya ada 60 anggota DPR periode 2009-2014 menerima gelontoran duit untuk memuluskan penganggaran proyek e-KTP. “Kan ada dari pimpinan DPR, Ketua Badan Anggaran hingga pimpinan komisi pemerintah termasuk di dalamnya 37 anggotanya. Nilanya dari satu milar sampai puluhan miliaran rupiah menurut jaksa,” tuturnya.

Terkini, Ombudsman RI mengendus adanya potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik khususnya terkait dengan pelayanan penerbitan dan pencetakan KTP elektronik (KTP-el) pada kelompok masyarakat di daerah tertinggal, masyarakat adat dan anak asuh yang sudah wajib KTP di panti asuhan. Temuan potensi maladministrasi itu tercantum dalam kajian Ombudsman, yang sudah diserahkan ke pihak Kemendagri pada akhir Desember 2024. Anggota Ombudsman RI  Jemsly Hutabarat mengatakan potensi maladministrasi terkait inklusivitas dalam pelayanan KTP terjadi di 8 provinsi, yang meliputi 10 kabupaten/kota.

Jemsly menjelaskan terdapat beberapa potensi maladministrasi diantaranya potensi maladministrasi dalam perjanjian kinerja sesuai dengan Keputusan Mendagri No. 100.4.6-635 Dukcapil Tahun 2024. Dalam beleid itu, Kemendagri mesti menyelesaikan pendataan dan perekaman NIK penduduk. “Target capaian kinerja penyelesaian perekaman dan pencetakan KTP-el belum secara jelas membedakan antara capaian pencetakan KTP-el pertama kali dengan pencetakan KTP-el karena perubahan data atau penggantian KTP-el dan belum optimalnya sebagian pelayanan administrasi kependudukan di desa terkait dengan penyelesaian masyarakat yang belum memiliki NIK,” kata Jemsly dalam keterangan tertulisnya, dikutip Sabtu (11/1/2025).

Anggota Ombudsman RI  Jemsly Hutabarat. (ORI) 

Lain itu, Ombudsman juga menemukan adanya keterbatasan akses lokasi dan sarana prasarana perekaman dan pencetakan KTP-el dimana pelayanan pencetakan KTP-el sebagian besar hanya dapat dilakukan di Kantor Disdukcapil. Pdahal,  berdasarkan Permendagri No. 120 Tahun 2017 tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab/Kota menyebutkan bahwa UPT Disdukcapil Kab/Kota atau tempat pelayanan KTP-el di kecamatan memiliki kewenangan untuk menerbitkan KTP-el.

Kasus E-KTP ini layaknya kotak pandora, masih menyimpan ribuan misteri, serta puluhan orang yang berpotensi menjadi tersangka karena diduga turut menerima duit bancakan dari proyek ini. Di tengah badai politik, KPK tiba-tiba melakukan penyidikan lagi terhadap kasus ini. Tak main-main, KPK juga telah memeriksa anggota dewan di periode tersebut untuk mendalami kasus ini. Lagi-lagi KPK dituding bermain gendang ranah politik.

Apapun itu, jika telah melakukan pentidikan, KPK tak boleh lagi setengah hati. Kasus ini harus ditutaskan. Apalagi, sejumlah individu yang diduga terlibat dan terima duit bancakan masih menikmati posisi sebagai pejabat publik. Akibat kasus ini pun, oleh Mendagri Tito Karnavian, pernah disebut menghambat proses E-KTP yang menjadi hak rakyat, karena pejabatnya masih trauma. Kini, bola sudah di tangan KPK. Apakah KPK akan menuntaskan kasus ini untuk penegakan dan kepastian hukum ataukah KPK akan sekedar bermain gendang agar bisa turut dalam tarian politik? Tentunya waktu yang akan menjawab, KPK yang nanti akan membuktikan kepada publik dimana keberpihakannya dalam kasus ini.

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar