Di Sekitar Penyalahgunaan Kekuatan Kepolisian

Sabtu, 14/12/2024 21:46 WIB
Puluhan massa yang tergabung di ormas Pekat Indonesia Bersatu melakukan aksi di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (22/7). Dalam aksinya mereka menyampaikan bahwa masih banyak masyarakat yang percaya dan mendukung penuh kepada Kepolisian. Kordinator Lapangan Pekat IB, Lisman Hasibuan mengatakan Kehadiran kami disini untuk mendukung Kepolisian, khususnya Kapolri bapak Listyo Sigit dengan tagline Polri Presisi. Robinsar Nainggolan

Puluhan massa yang tergabung di ormas Pekat Indonesia Bersatu melakukan aksi di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (22/7). Dalam aksinya mereka menyampaikan bahwa masih banyak masyarakat yang percaya dan mendukung penuh kepada Kepolisian. Kordinator Lapangan Pekat IB, Lisman Hasibuan mengatakan Kehadiran kami disini untuk mendukung Kepolisian, khususnya Kapolri bapak Listyo Sigit dengan tagline Polri Presisi. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Ada tiga insiden penembakan polisi. Pertama terjadi pada Jumat, 22 November 2024 di Solok Selatan, Sumatera Barat. Ajun Komisaris Dadang Iskandar, Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Solok Selatan, menembak rekannya, Kepala Satuan Reserse Kriminal AKP Ryanto Ulil Anshar, atas tuduhan pembekingan tambang ilegal. P

Dua peristiwa tambahan terjadi pada tanggal 24 November 2024. Pertama, seorang warga bernama Beni ditembak oleh anggota Brigade Mobil Kepolisian Daerah Bangka Belitung atas tuduhan mencuri buah sawit. Kedua, anggota Polres Semarang, berinisial R, yang mengaku sedang membubarkan tawuran, melemparkan peluru ke seorang siswa SMK berinisial GR.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana, menyatakan bahwa rentetan peristiwa di atas merupakan akumulasi tata kelola institusi kepolisian yang bobrok. Pengunaan senjata secara serampangan menjadi pintu masuk abuse of power Korps Bhayangkara. Dia meminta pemerintah segera mengevaluasi otoritas polisi untuk membawa senjata api. Laporan yang diterima YLBHI menyatakan bahwa ini adalah akibat dari banyaknya kasus penggunaan senjata api yang tidak sah oleh polisi dalam beberapa tahun terakhir. YLBHI mencatat setidaknya 35 peristiwa penembakan oleh aparat dalam lima tahun terakhir, yang mengakibatkan kematian 94 orang.

Menurut Arif Maulana, kendati tidak ada regulasi yang kuat saat ini untuk penggunaan senjata api, penggunaan senjata api secara tidak sengaja oleh aparat terus terjadi, "Tapi levelnya terlalu rendah untuk mengikat semua institusi yang menggunakan senjata api," kata Arif kepada Law-justice, Kamis (12/12/2024).

Arif juga menekankan banyaknya penyimpangan aturan yang terjadi di lapangan. Dia menunjukkan bagaimana senjata api dapat membubarkan massa. Misalnya, catatan YLBHI mencatat beberapa pembubaran massa dengan senjata api yang mengakibatkan kematian. Ketika datang ke situasi seperti demonstrasi, aturan seringkali hanya menjadi formalitas. Dia menyatakan bahwa tidak ada pendidikan, sosialisasi, atau evaluasi yang serius terhadap penerapannya.

Dia juga mengkritik sistem yang tidak efektif untuk memantau penggunaan senjata api oleh militer. Dia terus melakukan pemeriksaan rutin inventaris senjata hingga peluru, yang sering terabaikan. Proses pelaporan penggunaan senjata api juga sering dilanggar. "Ketika satu peluru keluar, seharusnya ada laporan resmi. Dan itu tidak dilakukan mereka,” ujarnya.

Arif mewanti-wanti masalah budaya di lembaga kepolisian. Dia menyatakan bahwa budaya impunitas dan arogansi semakin menyebar di institusi yang berusia 78 tahun itu. Ia mencontohkan kasus penembakan Brigadir Yosua, yang menyeret Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Ia mengatakan bahwa terjadi upaya untuk menyembunyikan kejadian tersebut sebelum kasus ini akhirnya terungkap. "Kasus Sambo adalah contoh bagaimana fakta dimanipulasi dan pembelaan terhadap anggota yang salah melanggengkan pola penyalahgunaan kekuasaan,” tutur Arif.

Dia mengatakan bahwa kejadian di Semarang juga sebelas-dua belas. Dia menekankan bahwa aksi itu sebagai upaya untuk melindungi anggota polisi sebagai pelaku penembakan dan di sisi lain menyudutkan korban sebagai pelaku tawuran. “Sekali lagi, institusi kepolisian menghalalkan segala cara untuk menyembunyikan kesalahannya,” ujar dia.

Kata Arief, sedikitnya ada empat regulasi yang menjadi pedoman penggunaan senjata api oleh institusi kepolisian. Di awal ada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian Lain itu, ada Perkap Nomor 10 Tahun 2021 tentang Tata Cara Tes Psikologi bagi Calon Pengguna Senjata Api Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Calon Pemilik dan/atau Pengguna Senjata Api Non-Organik Polri/TNI. Dan teranyar ada Perkap Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Standar Polri, Senjata Api Non-Organik Polri/TNI, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api.

Adapun Pasal 8 Perkap Nomor 1 Tahun 2009 menjelaskan bahwa polisi hanya bisa menggunakan senjata api dalam kondisi genting atau keselamatan pribadinya terancam. Penggunaan senjata api bisa dilakukan pula jika tidak memiliki alternatif tindakan lain, atau untuk mencegah larinya pelaku kejahatan yang merupakan ancaman terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. Merujuk Pasal 5 ayat (1) huruf f beleid pun menyebutkan penggunaan senjata api oleh polisi merupakan tahapan akhir atau jika tidak ada cara lagi.

“Artinya jelas, ada prosedur dan regulasi mengikat bagi polisi dalam penggunaan senjata. Jadi, tidak boleh sewenang. Apa yang terjadi selama ini terkait penggunaan senjata oleh polisi jelas telah melanggar aturan yang dibuat oleh polisi sendiri,” kata Arif.

Dalam beleid itu pula disebutkan, polisi mesti berupaya lima tindakan, sebelum akhirnya melepaskan tembakan ke sasaran. Mula-mula harus ada upaya pencegahan. Jika itu tidak efektif, polisi mesti mengeluarkan perintah secara lisan. Kemudian, polisi bisa melakukan pengendalian situasi denga tangan kosong dan juga endali tangan kosong keras. Terakhir, polisi bisa lebih dulu menggunakan senjata tumpul hingga senjata kimia termasuk gas air mata dan semprotan cabai maupun alat lain sesuai dengan standar kepolisian.

Arif menekankan  implementasi regulasi itu masih jauh api dari panggang. Yang paling mendasar saja, seperti tes psikologis bagi personel yang tercantum dalam Perkap 10 Tahun 2021, rupanya selama ini seperti prosedur belaka. "Jadi hanya semacam formalitas tes psikologi, yang mana sebenarnya jadi esensi penting kepemilikan senjata saat bertugas,” kat dia.  

Menurutnya, mesti ada aturan soal pembatasan penggunaan senjata api dan senjata berpeluru tajam bagi kepolisian. Lagi-lagi, polisi yang dibekali persenjataan saat bertugas adalah mereka yang berada dalam kondisi geografis atau situasi yang mengancam keselamatan. Namun, otoritas penggunaan senjata ini tidak boleh lepas dari pengawasan. “Bisa saja ditempuh adanya pengawasan secara digital sehingga aksi polisi yang melepas tembakan bisa terdeteksi atau termonitor,” katanya.

Pakar hukum pidana dari Univesitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoroti regulasi ihwal penggunaan senjata api oleh kepolisian bisa dirombak kembali. Dengan segala peristiwa yang ada mulai dari pembunuhan hingga penyalahgunaan senjata oleh polisi, Abdul mendesak seharusnya perbaikan kompetensi aparatur dan menghapus budaya organisasi yang arogan. “Selama ini petugas yang diberikan senjata bisa bersikap arogan. Bahkan dalam kondisi tertentu digunakan untuk kepentingan pribadi. Kasus-kasus polisi tembak polisi yang diduga mereka terlibat dalam pengamanan kepentingan ekonomi orang tertentu menjadi presden buruk,” ujar Fickar kepada Law-justice, Jumat (13/12).

Dari sisi mens rea, kata Fickar, konflik dan persaingan di antara sesama personel polisi berjalan keras sehingga ini yang menyebabkan berulang kasus polisi tembak polisi. Menurutnya, kasus AKP Dadang yang menembak rekannya terjadi karena tekanan ekonomi. Dalam konteks kasus ini, Dadang berusia 57 tahun dan sedang masuk masa pensiun. Sehingga tekanan ini yang membuat dirinya mencari penghasilan dari bisnis ilegal. “Dia menembak jelas karena motif ekonomi,” ujarnya.

Kata dia, setidaknya ada tiga penyebab peristiwa penembakan antar-polisi terus terjadi. Paling fundamental adalah polisi memiliki perilaku dan integritas yang lemah. Hal itu lantaran jajaran kepolisian rerata bersikap pragmatis dan materialistik.

Adapun perilaku yang materialistik itu, bisa gampang terlihat dari gaya hidup hedonis. Ini yang menyebabkan pengambilan keputusan polisi bersifat pragmatis. Alih-alih bersikap mengayomi masyarakat, justru sebalinya menjadi presden buruk bagi tatanan sosial. “Semua (keputusan) diambil atas dasar materialistik sehingga putusan rasional kerap kali dinihilkan. Beking usaha ilegal yang menyebabkan polisi tembak polisi menjadi contohnya kan,” kata dia.

Integritas kepolisian dalam penggunaan senjata diperparah dengan lemahnya Kapolri dalam menegakkan hukum bagi anak buahnya. Sejauh ini, tendensi Kapolri melindungi anak buahnya, meski terang secara fakta lapangan dan hukum terbukti melanggar. Menurut dia, hal ini telah mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban di jajaran kepolisian sendiri.

Di saat yang sama, tidak ada pengawasan efektif dari Kompolnas terhadap keputusan Kapolri. Sejumlah penyalahgunaan kekuasaan kepolisian, termasuk dalam penggunaan senjata bakal terus terulang kalau Kapolri dan Kompolnas tidak bisa bersikap independen. “Inkompentensi ini yang menjadi kombinasi di balik maraknya aksi koboi polisi,” kata dia.

Sementara itu, Anggota Kompolnas Gufron Mabruri, tidak menafikan reformasi kepolisian menjadi keniscayaan, jika merujuk sejumlah kasus yang melibatkan kepolisian sebagai pelaku, terutama dalam penggunaan senjata. Selama ini, katanya, fungsi pengawasan yang lemah di kepolisian menjadi pangkal masalahnya.

“Kepolisian memang ada celah, tapi itu akan ditambal. Perbaikan demi perbaikan mesti dilakukan,” kata Ghufron kepada Law-justice, Jumat.

Baginya, tugas Kompolnas juga turut menjaga marwah kepolisian. Melalui arahan kebijakan  ke institusi kepolisian, katanya, Kompolnas akan mengevaluasi segala kinerja kepolisian. “Kami harus memastikan apakah kinerja kepolisian bersifat trasnparan. Selain transparan, apakah akuntabel, termasuk penggunaan senjata,” ujar dia.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar