Transisi Energi

Mereka yang Bergantung Hidup pada Energi Gas

Kamis, 31/10/2024 20:04 WIB
Petugas dari PGN Gagas mengecek distribusi aliran gas dari truk Gaslink ke wadah yang ada di SPBG cabang Kecamatan Citeureup, Bogor. Foto: Rohman/Law-justice.

Petugas dari PGN Gagas mengecek distribusi aliran gas dari truk Gaslink ke wadah yang ada di SPBG cabang Kecamatan Citeureup, Bogor. Foto: Rohman/Law-justice.

Jakarta, law-justice.co - Ponsel Wawan bergetar mendapat pesan dari pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMPN 1 Citeureup, Bogor. Bunyi pesannya meminta Wawan segera menjemput para siswa yang beres mengikuti masa orientasi. Pesan itu dinanti karena upahnya bisa menambal beban setoran angkutan kota (angkot).  

Tak pikir lama, pria berusia 30 tahun ini langsung tancap gas ke titik jemput. Perjalanan sekira 30 menit melewati beberapa persimpangan jalan. Tiba di lokasi, angkot Wawan parkir sekira 10 menit menunggu siswa-siswi yang masih baris-berbaris. Setelahnya, dalam hitungan cepat, angkot terisi penuh siswa-siswi yang menggendong ransel. Mereka diantar balik ke sekolah sesuai kesepakatan.

Pagi itu, Sabtu (26/10), angkot Wawan bukan satu-satunya yang mendapat pesanan jemput rombongan OSIS itu. Sekira lima angkot lain pun disewa. Dari jasa jemput ini, Wawan dan sopir lain diganjar Rp 150 ribu. “Uang setoran udah aman. Tinggal cari lebihnya aja sama bahan bakar,” kata Wawan tersenyum lebar.

Saban hari, angkot Wawan sejak pukul 5 pagi sudah mengaspal. Dia narik angkot sepagi itu, dengan trayek Jalan Karanggan-Cagak, Citeureup. Pagi itu, dia hanya mendapat Rp 50 ribu dari hasil tiga kali pulang-pergi (PP). Dalam hitungannya, penghasilan puluhan ribu itu termasuk sepi penumpang.

Memenuhi uang setoran menjadi momok bagi sopir angkot. Bos Wawan mematok Rp 120 ribu per harinya. Di masa moda transportasi yang mulai beragam, penghasilan Wawan dan sopir angkot lainnya kembang-kempis. Sopir angkot mesti berbagi rezeki dengan sopir transportasi daring, yang jumlahnya tak kalah banyak.

Namun, pelik mencari uang setoran mulai bisa disiasati Wawan sejak angkotnya beralih energi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG). Sudah setahun belakangan, bos angkot Wawan mengkonversi energi armadanya ke BBG. Kata Wawan, efisiensi bahan bakar dan ramah lingkungan menjadi bahan pertimbangannya bosnya. Dengan ongkos Rp 7-8 juta, empat angkot milik bos Wawan diubah sistem bahan bakarnya ke energi gas.

“Bos juga mikir narik sedang masa sulit, kalau setoran enggak bisa tercapai, ya rugi juga. Sopir juga jadi enggak dapat duit karena bayar bensin. Bensin lagi, bensin lagi,” tutur Wawan.

Sejak angkotnya terpasang tabung gas seberat 13 kilogram, saat itu pula beban bayar setoran berkurang. Kala angkot berbahan bakar minyak, target setoran memang lebih rendah, yakni Rp 80 ribu. Tapi, kata Wawan hasil sewa penumpang bisa sebagian besarnya terkuras untuk bensin. Perbandingan konsumsi antara BBM dan BBG bisa lebih dari setengahnya.

Trayek angkot Wawan berjarak sekira 15 kilometer dan membutuhkan waktu selama 30 menit untuk satu kali PP. Saat masih bergantung pada BBM, Wawan mesti merogoh kocek hingga Rp150 ribu untuk seharian narik. Dengan kapasitas 15 liter di tangki bensin, angkot Wawan hanya sanggup 10 kali PP.

Sedangkan kini, dia hanya perlu mengeluarkan uang Rp 50 ribuan untuk mengisi penuh tabung gasnya. Efisiensi bahan bakar, diakuinya juga karena angkot mampu bolak-balik trayek sebanyak 15 kali lebih setiap harinya. “Di jalur Karanggan-Cagak ini, pas saya hitung paling boros PP-nya kalau pakai gas itu cuma 5 ribu. Pas pakai bensin bisa 10 ribu,” ujarnya.

Wawan (30), sopir angkot trayek Karanggan-Cagak, yang angkotnya menggunakan BBG sedang parkir di depan SPBG Citeureup. Foto: Rohman/Law-justice.co

Bahkan, menurut pengalamannya tahun lalu, konsumsi BBG hanya bermodal Rp 28 ribu untuk rute berjarak 80 kilometer lebih. Saat itu, dia mendapat sewa antar-jemput dari Citeureup ke Ragunan. Jika menggunakan BBM, dia memperkirakan bisa habis tujuh liter Pertalite atau setara Rp 70 ribu. Disparitas nilai antara BBM dan BBG ini yang menjadi tolok ukurnya. Satu liter Pertalite seharga Rp 10 ribu, sedangkan satu kilogram BBG hanya Rp 4.500 atau hemat lebih dari setengahnya.

Sejak angkotnya beralih ke energi gas, pendapatan Wawan otomatis naik. Margin keuntungan dari porsi bahan bakar minyak yang semulanya mengambil banyak pendapatan, kini bisa ditekan hingga 50 persen lebih. “Misal narik dapat 250 ribu, kan setoran itu 80 ribu (setoran masih memakai BBM), sisa 170 ribu, tapi kan harus modal lagi untuk bensin pagi. Kalau beli minyak 70 ribu, tinggal sisa 100 ribu. Tapi kalau pakai gas misal dapat 250 ribu, beli gas hanya 40 ribu seharian. Jadi, kalau narik lagi ramai, enaknya terasa,” tutur Wawan.

Wawan memang detail saat menjelaskan pendapatannya. Baginya, narik angkot adalah segala-galanya. Dari seribu-dua ribu, dia beserta anak dan istrinya masih bisa bertahan hidup. Sedikitnya, dia mesti membawa pulang uang sebesar Rp 100 ribu per hari. Setengahnya mesti menjadi jatah Vino, anaknya yang kini berusia 6 tahun. Putra Wawan mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak (TK), yang sekurang-lebihnya membutuhkan biaya—mulai dari kegiatan, peralatan sekolah hingga jajan sehari-hari. Setelah kebutuhan anak, barulah sisa pendapatan dipakai untuk kebutuhan makan dan sewa kontrak rumah.

Kala nasib baik tak berpihak padanya, penghasilannya sempat minus. Besar dan kecil pendapatannya tergantung dari anak sekolah yang menjadi penumpang dominan. Trayek angkot Wawan melintasi sejumlah sekolah dan pabrik, tapi selama ini cuan hanya didapat dari para siswa-siswi. Sedangkan, angkot yang beroperasi berjumlah 40 unit untuk trayek yang berjarak cuma belasan kilometer, dengan tarif maksimal Rp 6 ribu itu. Sehingga, Wawan mau tak mau mesti lebih cerdik mengatasi ketatnya persaingan, apalagi saat angkot masih memakai BBM.

“Kalau kondisi seperti itu, saya narik dulu pagi-pagi demi cari pengeluaran untuk anak atau saya ambil dari tabungan. Pas pakai bensin, saya bisa nombok 2-3 kali seminggu,” katanya.

Tapi beruntungnya, hanya ada delapan angkot di trayek Wawan yang sudah beralih ke energi gas. Dengan keunggulan efisiensi bahan bakar, dia bisa mendapat total penghasilan lebih dibanding sopir angkot berbahan bakar minyak. Kendati demikian, dia tak sanggup hati membayangkan rekan sejawatnya yang kesusahan menutup setoran dan minim pendapatan karena uang habis untuk beli bensin.

“Setiap hari ada orang keliling di pangkalan nawarin pinjaman. Sopir terpaksa ngutang kalau kepepet banget,” ujar Wawan yang tak menafikan sempat berutang.

Realitas sama dirasa Radit (17). Pria yang masih duduk di bangku SMK ini sudah sejak SMP narik angkot. Turun mencari uang mesti dilakoni karena himpitan ekonomi. Ayah Radit juga berprofesi sopir angkot. Saban hari, dia berbagi jadwal narik dengan ayahnya. Dari pukul 5 hingga 10 pagi, ayahnya yang mengemudi. Sedangkan Radit keluar narik selepas waktu sekolah. Biasanya dia mengendarai angkot 08 trayek Citeuterup-Pasar Anyer itu mulai sore hingga malam hari.

Sewaktu angkotnya menggunakan BBM, target setoran sukar dicapai. Sementara, setoran ke bos mencapai Rp 240 ribu. Posisi Radit tak seenak Wawan. Sebab, sebagian besar angkot 08 sudah beralih ke energi gas. Juga jumlah angkot dengan jarak trayek 40 kilometer (PP) ini bisa mecapai ratusan unit. Sehingga, persaingan tak jarang membuat pendapatannya tak menentu.

Keadaan pelik sempat Radit rasakan saat uang setoran tidak cukup terkumpul. Pada suatu hari, dia dan ayahnya terpaksa menombok uang setoran dari hasil narik hari sebelumnya demi bos tidak marah. “Pas itu cuma bisa kasih setoran 220 ribu. Padahal emang jujur dapat segitu. Tapi bos enggak percaya dan bandingin sama sopir lain yang bisa setoran penuh,” kata Radit saat dijumpai, Sabtu (26/10).

Radit (17), sopir angkot trayek Citeureup-Ps. Anyar, yang angkotnya menggunakan BBG. Foto: Rohman/Law-justice.co

Rezeki Radit dan ayahnya mulai lancar ketika angkotnya beralih ke energi gas sejak 2018. Tarif maksimal Rp 14-15 ribu dapat mereka maksimalkan setiap harinya lantaran tidak terbebani biaya bahan bakar. “Bisa 200 ribu seharian kalau pakai Pertalite. Kalau pakai gas lebih hemat. Semisal bensin 70 ribu untuk dua kali PP, kalau gas cuma 40 ribu untuk dua kali PP,” ujarnya.

Jadi, bisa memperkirakan setiap harinya membawa pendapatan bersih hingga ratusan ribu, jika sewa penumpang sedang ramai-ramainya. “Bisa 135 ribu sehari untuk (biaya) gas. Terus setoran 240 ribu. Kelebihan paling besar 150 ribu dan udah dipotong uang makan,” katanya.

GasKu tancap gas transisi energi

Transisi energi menuju Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 tak bisa luput memperhitungkan emisi karbon dari sektor transportasi. Menukil temuan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), tercatat moda transportasi menyumbang emisi 150 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Sepeda motor menjadi pendulang jejak karbon terbanyak hingga 54,1 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Lain itu, transportasi mobil juga tak kalah menyumbang emisi dalam jumlah banyak, yakni 32,7 juta ton karbon dioksida ekuivalen atau 21,8 persen dari total emisi. Masih dalam lima posisi teratas, kendaraan berat untuk logistik meninggalkan jejak karbon hingga 30 juta ton karbon dioksida ekuivalen dan menyusul bus yang berkontribusi membuang emisi sebanyak 18,7 juta ton karbon dioksida.

Jika ditilik, selain transisi energi berbasis energi listrik, pemanfaatan energi gas juga menjadi opsi alternatif. Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) dalam waktu belakangan, mulai melirik energi gas sebagai bahan bakar moda transportasi. Tepatnya, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk sebagai subholding gas Pertamina mulai getol meningkatkan layanan gas bumi untuk digunakan di berbagai kendaraan. Melalui produk dan layanan bernama GasKu, energi gas bumi digadang-gadang juga bisa menjadi sumber energi yang lebih ekonomis, selain ramah lingkungan.

Adapun GasKu merupakan merek produk BBG berbasis Compressed Natural Gas (CNG) yang dikelola oleh anak perusahaan PGN bernama PT Gagas Energi Indonesia (PGN Gagas). Kendaraan yang hendak dikonversi ke BBG mesti dipasang converter kit dan tabung yang menjadi medium aliran gas. Dalam mendukung rantai pasok dan implementasi BBG, sempat ada intervensi pemerintah berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) nontunai pada periode 2021–2023. Dari bantuan itu, telah dibangun perluasan sarana dan prasarana jaringan gas hingga infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).

Radit sedang memperlihatkan converter kit yang bisa jadi medium aliran BBG. Foto: Rohman/Law-justice.co

Melalui produknya, PGN Gagas pun mengimplementasikan konversi BBG ke sejumlah kendaraan, mulai dari sepeda motor, kendaraan roda empat (taksi konvensional dan daring), bajaj, kendaraan penumpang hingga logistik. Pemanfaatan secara masif BBG di sejumlah kendaraan tampak realistis, jika mengacu pada cadangan gas bumi di Indonesia. Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2022-2030, diperkirakan produksi gas dalam negeri bakal mengalami surplus hingga 1.715 juta kaki kubik per hari (MMscfd) dalam 10 tahun ke depan.

Potensi cadangan gas demikian yang tampaknya membuat akselerasi pemanfaatan BBG kian masif. PGN Gagas sedikitnya telah memasok gas ke 50 titik pengisian BBG dan berencana menambah jumlah SPBG mencapai puluhan lokasi yang tersebar di sejumlah provinsi. Direktur Utama PGN Gagas, Muhammad Hardiansyah, menekankan penggunaan BBG bagi kendaraan dapat menghemat biaya bahan bakar sebanyak 30-50 persen sehingga berdampak pada penurunan emisi buang.

“Jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, emisi yang dihasilkan GasKu 25–35 persen lebih rendah. Pemakaian BBG mendukung program ‘langit biru’ Pertamina untuk mewujudkan Net Zero Emission,” kata Hardiansyah dalam keterangan tertulis, dikutip Februari 2024.

Jika pemerintah melalui Pertamina berharap besar pada energi gas untuk menekan jejak karbon, hal yang tampak serupa juga diharapkan Wawan, Radit dan ayahnya. Bagi mereka, transisi energi dan dampak emisi karbon mungkin menjadi obrolan ‘langitan’. Namun, bergantung hidup pada energi gas menjadi cara mereka bertahan hidup.

“Pernah dapat 500 ribu omset narik angkot pas pakai gas (BBG). Istri saya saat itu senyum dikasih uang gede. Istri nanya, ‘uang dari mana ini,” ujar Wawan yang berpikir dirinya dan istrinya jarang-jarang memperoleh penghasilan besar.

Begitu pun harap Radit, yang ingin segera lulus sekolah. Kelak, dia ingin sepenuhnya mendulang penghasilan dari ngangkot sembari mencari celah bekerja di pabrik. Dia membayangkan dapat melihat ayahnya pensiun dini narik angkot, dan menggantikan posisinya menanggung beban keluarga sekuat-kuatnya. “Kasian papa sudah tua, sudah terlalu capek,” ucapnya.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar