Kawasan Hutan Dijadikan Kebun Sawit Ilegal, Kerugian Negara Capai Rp 300 Triliun
Bongkar Mafia Pemutihan Kebun Sawit di Kawasan Hutan Lindung

Ilustrasi: Kooptasi perkebunan sawit di kawasan kehutanan sudah pada tarap mengkhawatirkan. (Mongabay)
law-justice.co - Meski dinobatkan sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, dampak dari industri ini belum terasa signifikasn. Justru marak berita pembegalan keuangan dan perekonomian negara melalui industri. Modusnya beraneka rupa, mulai dari menjarah hutan hingga mengemplang pajak. Kejaksaan Agung serius menangani dugaan korupsi sektor ini. Presiden Prabowo Subianto pun memberikan perhatian khusus.
Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S Djojohadikusumo, yang juga adik Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa negara akan mendapat potensi pemasukan hingga Rp 300 triliun dari pengusaha sawit, yang mengemplang pajak atau tidak membayar pajak. Menurut dia, dalam waktu dekat para pengusaha pengemplang pajak tersebut akan menyetor Rp 189 triliun untuk tahap pertama. "Sudah dikasih laporan ke Pak Prabowo, yang segera bisa dibayar Rp 189 triliun dalam waktu singkat. Tapi, tahun ini atau tahun depan, bisa tambah Rp 120 triliun lagi, sehingga Rp 300 triliun itu masuk ke kas negara," ujar Hashim di Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (24/10/2024).
Salah satu sektor yang menjadi sasaran pengemplangan, selain pajak, adalah bea pemutihan lahan sawit. Terkait dengan pemutihan sawit, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menegaskan kebun sawit di kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi (HK) harus dikembalikan kepada negara.
Toleransi pelepasan status kawasan hutan hanya bisa diberikan kepada kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan produksi dan area penggunaan lain (APL), tapi tidak untuk sawit di hutan lindung dan hutan konservasi.
Dia menyebut saat ini ada sekitar 200.000 hektare lahan sawit ilegal yang berada dalam kawasan HL dan HK. Menurutnya, pelaku usaha yang menjalankan bisnis perkebunan sawit di atas kawasan HL dan HK itu harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan hutan kepada negara. Setelah itu, lahan dikembalikan kepada negara karena status hutan lindung dan konservasi. "Hitungannya yang HLHK itu udah sekitar 200.000-an hektare di 110 B (pasal dalam UU No.1/2020) dan itulah berpeluang kembali lagi kepada negara. Jadi mohon izin, mohon maaf sawit tidak boleh di area perlindungan dan konservasi," ujar Bambang melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Jumat (25/10/2024).
Bambang menjelaskan, aturan pengembalian lahan sawit dalam kawasan HLHK sudah menjadi keputusan Mahkamah Agung. Pemerintah melarang keberlanjutan bisnis kelapa sawit di atas HLHK, meskipun sanksi denda administratif telah dilakukan. Bambang mengklaim, pengembalian lahan sawit di kawasan HLHK kepada negara untuk dipulihkan kembali menjadi HLHK sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengendalikan dampak perubahan iklim. "Nah sawitnya yang sudah tua-tua itu nanti digantikan dengan fungsi perlindungan dan konservasi ditanami jenis pohon kembali sehingga di mana tempatnya sawit itu di tempat yang benar, di area penggunaan lain [APL]," katanya.
Menurutnya, total perusahaan yang sudah mengajukan pemutihan lahan mencapai 365 perusahaan. Pemutihan dilakukan sebagai upaya penyelesaian masalah kebun sawit yang sesuai dengan mekanisme Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja. Masalah itu terkait dengan izin lokasi dan hak guna usaha perkebunan sawit yang sering tumpang tindih dengan kawasan hutan. "Target kami 2.130 perusahaan sawit, dan 1,493 dari masyarakat," imbuhnya.
Asal tahu saja, pemerintah berencana memutihkan atau melegalkan 3,4 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang selama ini berada di kawasan hutan. Langkah ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola industri sawit yang sebelumnya dianggap tidak teratur. Dengan pemutihan ini, luas perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan, koperasi, dan masyarakat akan jelas statusnya dan mereka menjadi patuh terhadap hukum dan kewajiban pajak.
Terjadinya pemutihan lahan sawit tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi menyatakan bila Komisi IV DPR akan segera melakukan rapat kerja dengan pemerintah membahas mengenai isu yang sedang berkembang dan berkaitan dengan Komisi IV DPR RI. Politisi yang akrab disapa Titiek Soeharto tersebut menyatakan bila Komisi IV DPR saat ini baru saja diresmikan menjadi Anggota DPR RI baru dan akan mengurai terlebih dahulu isu yang terjadi belakangan ini. "Ya kita baru rapat internal nanti akan kita pelajari (soal kebijakan pemutihan sawit)," kata Titiek kepada Law-Justice di Gedung DPR RI Senayan Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024).
Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi. (Ghivary)
Namun Politisi Partai Gerindra tersebut menyatakan bila ia akan segera melakukan kajian terkait dengan beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Komisi IV DPR RI. Titiek menuturkan bila Komisi IV DPR RI berencana akan melakukan Rapat Kerja dengan Menteri Kehutanan pada pekan depan untuk membahas isu terkait. "Ya untuk rapat dengan mitra kerja nanti kita akan bahas semua, rencananya ya pekan depan udah mulai rapat bersama mitra kerja," tuturnya.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI) masih menunggu aturan teknis pemutihan lahan sawit yang masuk di kawasan hutan. Ketua Umum Gapki, Eddy Martono mengklaim seluruh pelaku usaha dibawah Gapki telah menyelesaikan proses pemutihan melalui pasal 110 A UU Cipta Kerja.
Hanya saja, pihaknya masih menunggu aturan teknis dari Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup untuk penagihan dendanya. "Nanti ada Permen yang baru akan menagih lagi. Nah yang ini kita belum tahu seperti apa penagihannya," ungkap Eddy ketika dikonfirmasi, Jumat (25/10/2024).
Menurutnya yang saat ini masih menjadi kendala adalah legalisasi lahan sawit yang melalui Pasal 110 B UU Cipta kerja. Eddy mengatakan hingga kini belum ada kejelasan terkait informasi ataupun tagihan dari pemerintah terkait berapa besaran lahan dan jumlah denda yang harus dibayar pengusaha. "Yang 110 B anggota kita belum mendapatkan informasi atau tagihan, artinya menunggu pemerintah terutama dari kementerian Kehutanan," paparnya.
Dilema Ekologi Pemutihan 3 Juta Hektar Lahan Sawit di Kawasan Hutan
Pada tahun 2023, Pemerintah telah mengupayakan penyelesaian keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare melalui pemutihan. Langkah ini dianggap oleh lembaga-lembaga pegiat lingkungan sebagai bagian dari kejahatan lingkungan. Analisis Greenpeace dan TheTreeMap (2019) menyebutkan terdapat sekitar 3.118.804 hektar kelapa sawit di dalam kawasan hutan di Indonesia. Setengahnya merupakan milik 600 lebih perusahaan perkebunan kelapa sawit, masing-masing mengusahakan lebih dari 10 ha di dalam kawasan hutan. Kebun sawit seluas 90.200 ha ditanam di hutan konservasi dan seluas 146.871 ha di hutan lindung.
Menukil data yang dihimpun Sawit Watch, sedikitnya ada 3.690 subjek hukum terkait pemutihan sawit dalam rentang Juni 2021 hingga Oktober 2023. Namun, dari angka tersebut hanya 17 subjek hukum yang diberikan pelepasan kawasan hutan dan hanya 35 subjek hukum yang dikenakan sanksi administratif seperti denda dan PSDH-DR. Pada periode 1 Januari 2023 sampai dengan 28 Oktober 2023, denda administratif yang telah terbayar berjumlah hanya sebesar Rp239 miliar, PSDH dari keterlanjuran tebang sebesar Rp61 miliar dan dana reboisasi keterlanjuran tebang sebesar Rp13 juta.
Peta Sebaran Perkebunan Kelapa Swit di Kawasan Hutan. (Pantau Gambut)
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo memepertanyakan besaran denda yang dikutip KLHK selama ini. Lain itu, KLHK disebut mengutip denda dari hanya segelintir perusahaan. Preseden janggal soal nilai denda ini, yang menurutnya, menuntun Kejagung memulai penyelidikan. “Artinya kebijakan ini dipertanyakan efektifitasnya karena berjalan tidak sesuai harapan. Seharusnya proses penegakan hukum kembali ditegakkan bagi korporasi yang melakukan kegiatan sawit secara ilegal,” kata Rambo kepada Law-justice, Kamis.
Rambo mewanti-wanti kinerja KLHK yang masih sangat rendah dan lamban menindak korporasi nakal. Misal pada 2022. Dari 1.192 subjek hukum yang sudah diminta kelengkapan data oleh KLHK, hanya 240 subjek hukum yang menyanggupi. Kemduian, hanya 65 subjek hukum yang sudah sampai tahap verifikasi lapangan dan 48 subjek hukum yang sampai tahap penafsiran citra satelit. Padahal, data-data soal luasan hutan yang dibabat untuk bisnis sawit menjadi patokan KLHK dalam mengutip denda atau melakukan pencabutan izin.
Dia menduga kinerja lamban KLHK mengejar denda korporasi memiliki motif terselubung. Sebab, tak ada alasan bagi kementerian untuk tak segera mengutip denda. Rambo memperoleh informasi bahwa adanya dugaan praktik gratifikasi soal penentuan besaran denda tersebut. “Diduga banyak kongkalikong dalam pengurusannya (antara KLHK dan korporasi),” ujar Rambo.
Transformasi Untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) mengidentifikasi terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai total lahan perkebunan seluas 3,9 juta ha. Data tersebut menunjukkan bahwa dari 3,9 juta ha lahan sawit, sebagian besar penguasaan lahan adalah oleh Sinar Mas (14 persen), Salim (8 persen), Jardine Matheson (7 persen), Wilmar (6 persen), dan Surya Dumai Group (5 persen).
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, mengatakan korporasi yang terlibat dalam operasi sawit di dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah atau secara ilegal tidak terbatas pada entitas perusahaan berukuran kecil. Tetapi, juga mencakup perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kelompok besar, termasuk yang memegang sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Berdasarkan analisis Greenpeace, terdapat 25 grup korporasi sawit besar yang entitas perusahaannya beroperasi dalam kawasan hutan. Jumlah bukaan hutan seluas 282.458 hektare.
Dari puluhan grup korporasi itu (yang termasuk RSPO), sebanyak 18 di antaranya memiliki luasan area tanam di atas 1.000 hektare. Mereka adalah; Sinar Mas dengan total area tanam 57.676 hektare. Wilmar (50.593 hektare); Musim Mas (36.481 hektare); Goodhope (34.201 hektare); Citra Borneo Indah (18.652 hektare); Genting (18.258 hektare); Bumitama (16.559 hektare); Sime Darby (12.395 hektare); Perkebunan Nusantara (5.953 hektare); Rajawali/Eagle High (4.825 hektare); United Plantations (4.628 hektare); Kuala Lumpur Kepong (4.051 hektare); Royal Golden Eagle/Asian Agri (3.900 hektare); Salim/IndoAgri (3.218 hektare); Cargill (2.240 hektare); Austindo Nusantara Jaya (1.943 hektare); Lyman (1.388 hektare); dan Grup IOI (1.224 hektare).
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra. (Kompas)
Kata Syahrul, grup korporasi yang teridentifikasi di atas memiliki keterkaitan dengan perkebunan kelapa sawit ilegal di kawasan hutan. Paling tidak, terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai total lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektar di Indonesia. Menurutnya, kerja Kejagung bakal tidak mudah dalam membongkar korupsi bisnis sawit ilegal ini. “Relasi mereka dengan perkebunan sawit ilegal menciptakan kompleksitas dalam upaya pengawasan dan penegakan hukum di industri kelapa sawit,” katanya kepada Law-justice, Kamis (24/10/2024).
Korupsi Pemutihan Sawit
Butuh waktu sekitar 15 jam untuk penyidik Kejaksaan Agung menggeledah Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada Kamis (3/10/2024). Sekira pukul 00.20 WIB atau Jumat dini hari, sejumlah penyidik baru keluar dari gedung dengan membawa empat kotak berisi sejumlah barang bukti yang disita.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar mengatakan penggeledahan terkait dugaan korupsi tata kelola perkebunan dan industri kelapa sawit periode 2005-2024 yang melibatkan KLHK sebagai pemangku kepentingan. Tim penyidik menyisir barang bukti di ruangan Sekretariat Jenderal KLHK dan Sekretariat Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian. Lain itu, penyidik memperluas pencariannya ke beberapa tempat, mulai dari ruangan direktorat yang membidangi pembayaran penerimaan negara bukan pajak berupa provisi sumber daya hutan-dana reboisasi atau PSDH-DR, biro hukum, direktorat yang membidangi penegakan hukum, serta direktorat yang mengatur pelepasan kawasan hutan.
Untuk ruangan yang diperiksa terakhir penyidik, kata Harli, penyidik menemukan sejumlah petunjuk yang menguatkan adanya dugaan korupsi ihwal pelepasan kawasan hutan. “Jadi, ada penguasaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara,” kata Herli kepada Law-justice, Rabu (23/10/2024).
Penggeledahan di Kantor KLHK berlangsung sejak Kamis (3/10/2024) pagi sekitar pukul 09.00-23.00 WIB. (Puspenkum Kejaksaan Agung)
Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, meyakini penggeledahan di kantor KLHK berkaitan dengan upaya pemutihan sawit yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menduga ada patgulipat dalam pengenaan jumlah denda atau sanksi bagi korporasi yang menanam sawit di kawasan hutan. Kasus ini berpijak pada Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. “Kalau yang digeledah adalah KLHK, artinya berkelindan dengan pemutihan sawit karena kementerian itu yang mengatur dan mengurus sesuai UU Cipta Kerja,” kata Uli kepada Law-justice, Kamis (24/10/2024).
Adapun secara garis besar, kedua pasal dalam beleid itu mengatur aturan terhadap entitas bisnis yang memiliki industri sawit dalam kawasan hutan. Pada awalnya, korporasi atau pelaku usaha sawit dapat dicabut izin usahanya secara permanen jika kedapatan menanam sawit di kawasan hutan.
Tetapi, melalui UU Cipta Kerja ini aktivitas perusahaan bisa dilegalkan selama melengkapi syarat sebelum 2 November 2023. Dalam Pasal 110A, misalnya, perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan dapat dilegalkan atau diputihkan area tanam sawitnya. Area operasi bisnisnya akan dianggap sebagai kawasan di luar hutan. Hal itu dengan catatan, jika korporasi memenuhi persyaratan yang diatur KLHK. Jika tidak, perusahaan dapat dikenai sanksi pembayaran secara administratif dan atau izin usahanya dicabut.
Sementara itu, dalam Pasal 110B dijelaskan bahwa korporasi yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku, tetapi sudah beroperasi di dalam kawasan hutan, maka mendapat kesempatan satu daur sejak masa panen dan mesti membayar denda administratif yang disetor ke KLHK. Merujuk data KLHK, ada 2.130 perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja.
Kawasan hutan yang ditanam sawit secara ilegal sekurangnya mencapai 3,37 hektare yang tersebar di 23 provinsi. Riau dan Sumatra menjadi yang terbesar dengan total gabungan 1.52 juta hektare atau hampir separuh total cakupan lahan. Per Maret 2024, terdapat 365 korporasi yang mengajukan pemutihan dari total ribuan itu. Namun, data KPK menunjukkan hanya ada 155 perusahaan yang membayar PSDH-DR. Jumlahnya cuma Rp648,8 miliar yang tidak sebanding dengan jumlah ratusan perusahaan yang ingin dilegalkan aktivitas bisnis sawitnya.
Kata Uli Arta, implementasi pengenaan denda maupun pencabutan izin sesuai dua pasal di UU Cipta Kerja itu begitu tertutup. Sehingga, memantik celah korupsi yang dimainkan antara pemangku kepentingan dan korporasi. Jumlah denda yang seharusnya dibayarkan sesuai luasan hutan cakupan bisnis rentan dikondisikan. Begitu pula dengan penegakan aturan pencabutan yang memungkinkan korporasi tak berizin bisa meneruskan bisnis sawitnya dalam hutan melalui cara penyimpangan.
Tidak cuma proses penarikan denda dan pengenaan sanksi kepada perusahaan yang sangat tertutup, Uli juga menekankan tidak diketahuinya basis data yang digunakan KLHK untuk menghitung luasan konsesi. Juga data soal berapa luas hutan yang ditanami sawit dan berapa luas tutupan hutan sebelum dibuka menjadi perkebunan oleh korporasi. “Patut dipertanyakan transparansi data yang dikeluarkan KLHK. Bisa saja itu bukan gambaran sebenarnya atau lebih banyak sekian juta realitasnya,” ujar dia.
Manajer Kampanye WALHI Uli Artha Siagian. (Tempo)
Melihat tidak transparannya data hutan yang ditanami sawit secara ilegal ini, jumlah kerugian keuangan negara diprediksi besar menganga. Apalagi, terbit Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.661/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6 pada Juni 2023 atau beberapa waktu usai UU Cipta Kerja berlaku. Beleid yang disetujui Menteri saat itu Siti Nurbaya itu, menyederhanakan formula perhitungan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP terkait PSDH-DR yang seharusnya dibayarkan perusahaan dalam proses pemutihan sawit. Diatur pula bahwa PSDH-DR tidak mempersoalkan detail jenis kayu dari kawasan hutan yang diputihkan.
Adapun rumus yang dipakai adalah taksiran volume kayu yang dikali potensi kayu berikut luas areal terbangun. Sehingga, perhitungan ganti rugi korporasi ke negara bakal jauh lebih sedikit dibanding kerusakan hutan yang dihasilkan. “Aturan dibuat meringankan perusahaan tanpa memikirkan kerugian lingkungan yang pasti berkorelasi dengan kerugian negara,” tutur Uli.
Bicara soal potensi kerugian keuangan negara, analisis TuK Indonesia merujuk satu kasus soal target pajak sawit yang tidak sesuai di Kalimantan Tengah. Dalam analisisinya, potensi kerugian negara dapat diidentifikasi melalui perbedaan antara target penerimaan pajak yang telah ditetapkan dengan yang jumlah seharusnya. Pada 2020, potensi target pajak sawit di provinsi itu mencapai Rp6,41 triliun, yang dihitung berdasarkan penerimaan PBB dan PPN. Namun, realisasinya hanya Rp2,36 triliun.
Dalam laporan TuK Indonesia disebutkan terdapat ketidaksesuaian yang mencolok ketika merujuk data pengusahaan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang terlibat bisnis sawit ilegal. Sebab, hanya ada 306 unit pabrik kelapa sawit pada tahun 2020 dan 295 unit pada tahun 2022. Di sisi lain, terdapat lebih dari 320 unit usaha perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 173 di antaranya dioperasikan secara ilegal. “Dari sini muncul dugaan bahwa sebagian besar perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah mungkin tidak termasuk dalam kategori perkebunan besar, meskipun luas lahan yang dikuasai oleh mereka rata-rata mencapai 6.000 hektar, (sehingga potensi penerimaan pajak tidak sesuai),” petik laporan itu.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan mendorong supaya pemerintah dan lembaga terkait melakukan evaluasi kepada korporasi sawit yang bermasalah hingga merugikan masyarakat. Daniel meminta pemerintah untuk memastikan semua izin yang terkait dengan hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur. "Intinya disini ya jangan sampai ada korporasi yang merugikan masyarakat dan harus mempertimbangkan asas keadilan," kata Daniel kepada Law-Justice, Kamis (24/10/2024).
Politisi PKB tersebut menekankan pentingnya dilakukan evaluasi secara menyeluruh kepada korporasi sawit yang memiliki masalah. Menurutnya, bila korporasi sawit tersebut bermasalah dengan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar maka pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas. "Saya minta penegak hukum harus netral dan transparan supaya masyarakat tidak ada lagi yang dirugikan," imbuhnya.
Daniel menyatakan bila dalam melakukan setiap kebijakan pemerintah harus hati-hati supaya tidak merugikan masyarakat setempat. Ia menyebut bila yang terpenting adalah pembangunan ekonomi melalui sektor sawit dan pelestarian lingkungan perlu dilakukan secara seimbang. "Tentu dalam melakukan pembangunan ekonomi harus seimbang juga dengan pelestarian lingkungan," tutupnya.
Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan. (eMedia DPR)
Langkah penegakkan hukum oleh Kejaksaan Agung, dengan menggeber dugaan korupsi di pemutihan lahan sawit di kawasan hutan, mestinya menjadi pintu masuk untuk lebih mengintensifkan potensi perolehan pendapatan negara dari sektor ini. Negara harus tegas terhadap kelompok usaha sawit yang nekat beroperasi di kawasan kehutanan.
Fakta, bahwa para pengusaha tersebut bahkan mengabaikan kemudahan yang diberikan oleh UU Ciptaker melalui pemutihan, menunjukkan sisi ketamakan dari pengusaha sektor ini. Pemerintah harus berani bertindak tegas dengan mengambil alih secara paksa kebun-kebun ilegal tersebut untuk di replanting menjadi hutan kembali. Jika, ada kawasan yang sudah tak memunginkan menjadi hutan, kawasan tersbeut bisa diserangkan pengelolaannya melalui BUMN PTPN untuk dikelola bersama Koperasi atau Pekebun Rakyat.
Kejahatan ekonomi pada taipan sawit tidak bisa berhenti di delik suap saja. dampaknya terhadap perekonomian di saat nyaris krisis ekonomi ini mesti diberi jeratan hukum yang lebih serius. Penyidik Kejaksaan Agung mestinya membuka option hukuman mati untuk kejahatan kebun sawit ilegal ini. sebab, negara sudah memberi kemudahan fasilitas pemutihan, namun tetap saja ditabrak. PAdahal, sektor ini semestinya dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara.
Rohman Wibowo
Ghivary Apriman
Komentar