Diduga Peras Pengusaha, Pejabat Bea Cukai Dilaporkan ke KPK

Minggu, 05/05/2024 20:03 WIB
Dirjen Bea Cukai melakukan pemusnahan sebanyak 2.777.114 batang rokok dan 14.719 botol minuman keras ilegal berbagai merek senilai Rp 6.462.090.500 dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 5.524.632.922. Robinsar Nainggolan

Dirjen Bea Cukai melakukan pemusnahan sebanyak 2.777.114 batang rokok dan 14.719 botol minuman keras ilegal berbagai merek senilai Rp 6.462.090.500 dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 5.524.632.922. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Pejabat Bea Cukai di Jawa Barat berinisial REH diadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan ke komisi antirasuah didasari kejanggalan kenaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara  atau LHKPN dan dugaan tindak pidana korupsi atas jabatannya. Adapun orang yang melaporkan adalah Wijanto Tirtasana, seorang pengusaha yang pernah bekerja sama bisnis dengan pejabat Bea Cukai tersebut.

Dari keterangan kuasa hukum Wijanto, Andreas, pengaduan dilakukan karena kliennya juga merasa diperas oleh pejabat Bea Cukai itu. Wijanto disebut dipaksa membayar utang dengan nilai yang terus bertambah. Dari penelusuran, pejabat Bea Cukai Jabar yang dimaksud adalah Rahmady Effendy Hutahaean—Kepala Bea Cukai Purwakarta.

Mulanya, Wijanto melakukan bisnis bersama dengan pejabat Bea Cukai tersebut. Namun, Wijanto merasakan adanya kejanggalan menjurus tindak pidana korupsi sehingga ingin menghentikan kerja sama. Akan tetapi, selanjutnya Wijayanto dipaksa membayar utang kembali kendati utang itu sudah dilunasi, dengan alasan adanya tambahan sejumlah biaya.

"Klien kami sebelumnya berbisnis dengan pejabat Bea Cukai itu dan berutang sebesar Rp 7 miliar dan telah dibayar. Tetapi, justru klien kami diintimidasi dengan aparat untuk mengakui jika utang tersebut belum diselesaikan dan justru nilainya semakin banyak," kata Andreas di kantor KPK kemarin, sebagaimana keterangan persnya dikutip Minggu (5/5/2024).

Oleh karenanya, dirinya khawatir kerja sama disertai masalah ini bagian dari tindak pidana korupsi. Hal ini juga merujuk kejanggalan kenaikan LHKPN pejabat bea cukai itu dari Rp3,5 miliar pada 2017 menjadi Rp5,6 miliar pada 2021. Namun, dari penelusurannya, R juga disebut memiliki aset sebesar Rp60 miliar.

Selain itu, saat awal kerja sama usaha sebagaimana surat kerja sama, R mengaku sebagai pegawai swasta, bukan penyelenggara negara pejabat Bea Cukai.

Andreas menambahkan, pihaknya telah mengadukan kasus ini ke penegak hukum lainnya hingga Ditjen Bea Cukai dan Kementerian Keuangan. Namun, baru aduan ke KPK yang direspons dan kliennya telah dimintai klarifikasi komisi antirasuah itu kemarin.

"Segala upaya telah kami tempuh, termasuk menyurati Kemenkeu, tetapi belum ada balasan," jelasnya.

Adapun KPK belum mengonfirmasi adanya aduan dari pihak Wijanto ini. Namun yang jelas, KPK pernah mengungkap tindak pidana korupsi pejabat Bea Cukai berdasarkan kejanggalan LHKPN-nya. Salah satunya adalah mantan Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Yogyakarta, Eko Darmanto.

Eko diduga telah menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha impor, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) hingga pengusaha barang kena cukai dengan total sebesar Rp18 miliar dengan memanfaatkan jabatannya di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Selain itu, Eko dikenakan delik tindak pidana pencucian uang atau TPPU untuk menyamarkan hasil bancakannya.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar