Radhar Tribaskoro, peneliti sosial politik dan aktivis pergerakan mahasiswa era 80-an

Figur Hakim Parasit Melawan Siapa?

Minggu, 21/04/2024 19:54 WIB
Peneliti sosial politik, aktivis pergerakan mahasiswa era 80-an, Radhar Tribaskoro Foto: Kedai Pena

Peneliti sosial politik, aktivis pergerakan mahasiswa era 80-an, Radhar Tribaskoro Foto: Kedai Pena

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan perkara sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh kubu 01 Anies-Muhaimin dan kubu 02 Ganjar-Mahfud. Perkara yang disengketakan kali ini sangat penting sebab akan menentukan bagaimana wajah demokrasi Indonesia di masa depan. Arti penting itu ditunjukkan oleh banyaknya  pihak yang mengajukan diri sebagai Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan).

Menurut catatan sampai artikel ini ditulis tidak kurang dari 33 orang/kelompok mengajukan diri sebagai Amicus Curiae, diantaranya adalah 303 akademisi, Megawati Soekarnoputri, Din Syamsuddin bersama Habib Rizik Shihab dkk, Asosiasi Pengacara Indonesia Amerika dan yang lain. Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun, apa kiranya keputusan MK?

Lazimnya, MK memiliki 3 opsi putusan, yaitu MK bisa menerima, menolak atau menerima sebagian dan menolak yang lainnya dari tuntutan pihak paslon 01 dan 03, yang mengajukan sengketa. Opsi lain yang beberapa kali dilakukan oleh MK adalah merumuskan masalah sendiri dan mengambil putusan menurut rumusan baru itu. Apa yang akan dipilih oleh MK?

Menurut hemat saya, pilihan MK akan tergantung kepada bagaimana sikap MK terhadap 3 faktor berikut ini: (a) bagaimana MK melawan diri sendiri, yaitu terkait Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang prosesnya dinyatakan tidak etis; (b) bagaimana MK melawan akal sehat, dan (c) bagaimana MK melawan fakta.

MK melawan diri sendiri 

Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah membuka pintu bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon presiden/wakil presiden. Lepas dari kontroversi atas isi putusan tersebut, sidang Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan bahwa proses putusan tersebut telah melanggar etika. Berkaitan dengan hal itu, Ketua MK Anwar Usman dicopot dari jabatannya. Terkait putusan yang meloloskan Gibran kemudian menjadi cawapres Prabowo Subianto, MKMK telah menyatakan semua hakim MK melanggar etika, namun dalam derajat berbeda sehingga hukumannya bervariasi mulai dari teguran lisan, tertulis dan pencopotan jabatan.

Namun Putusan MK No.90 itu dinyatakan tetap berlaku, sebab putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Dengan sendirinya Gibran tetap melenggang ke arena pilpres. Hal ini tentu menimbulkan masalah dalam fundamental negara, memecah-belah negara, sebab pelanggaran etika mestilah dianggap pelanggaran berat, apalagi pada level kepala negara. Tidak mungkin kerusakan yang ditimbulkan oleh pelanggaran etika itu diabaikan, semata karena putusan sudah terlanjur dibuat.

Sengketa pilpres membawa masalah tersebut ke level baru. Terdapat bukti-bukti baru bahwa putusan tidak etis itu berkaitan dengan perilaku tidak etis lainnya. Pada kesempatan pertama, keputusan KPU untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres dinyatakan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai pelanggaran etika. Alasan utamanya adalah karena KPU melampaui kewenangannya ketika menyurati semua partai politik agar memedomani Putusan MK terkait.

Adapun KPU tidak punya hak untuk itu, ia seharusnya berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, Ketua KPU Hasyim Ashari dinyatakan tidak profesional karena secara langsung menyatakan dokumen pendaftaran Gibran lengkap, sehingga melanggar aturan tertuang dalam PKPU No.19/2023. Aturan tersebut juga belum diubah agar menyesuaikan diri dengan Putusan MK.

Maka telah terjadi pelanggaran etika ganda dalam proses pencalonan Gibran. Hal ini membuktikan bahwa pelanggaran etika yang dimulai oleh MK telah menimbulkan efek berantai yang menimbulkan pelanggaran-pelanggaran lain. Melihat kenyataan bahwa etika semakin diabaikan di dalam penyelenggaraan negara, maka MK harus bertindak untuk meluruskannya. Mereka tidak boleh berlindung di balik argumen “keterlanjuran”.

MK melawan akal sehat

Lepas dari bukti-bukti hukum yang telah disampaikan oleh Paslon 01 (Anies-Muhaimin) dan 03 (Ganjar-Mahfud), bukti terkuat sesungguhnya adalah akal sehat. Bagaimana MK melawan akal sehat?

Akal sehat yang saya maksud adalah bahwa pencawapresan Gibran memiliki hubungan logika yang sangat erat dengan upaya presiden membangun dinasti politiknya sendiri. Mengabaikan hubungan logika itu menyebabkan MK berpikir parsial, misalnya pemikiran yang melihat kejadian penyaluran bansos sebagai kebijakan biasa yang terlepas dari circumstances (situasi, kondisi, konteks) berjalannya pemilu pada saat bersamaan.

Logika tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. Tujuan Presiden Jokowi adalah membangun dinasti politiknya sendiri. Ia merasa berkemampuan sebab survei-survei menyebutkan tingkat kepuasan masyarakat melebihi 80%.
  1. Jokowi berusaha memperoleh restu Megawati untuk merealisasikan tujuannya itu. Ia menghendaki Megawati mendukungnya mengikuti pilpres ketiga. Ketika Megawati menolak memberi dukungan, Jokowi mengajukan usul perpanjangan masa jabatan melalui penundaan pemilu atau perintah parlemen. Megawati bergeming, ia tidak mau melanggar UUD 1945.
  1. Lalu Jokowi muncul dengan gagasan baru lagi yaitu menjadikan Ganjar Pranowo sebagai capres boneka. Inisiatif ini gagal lagi karena Ganjar hanya mau menjadi capres PDIP dan Ketua Umum menolak kadernya dijadikan boneka Jokowi.
  1. Setelah semua kegagalan itu, Jokowi akhirnya memilih Prabowo untuk menjadi presiden bonekanya. Prabowo Subianto adalah capres yang sejak awal menyatakan bersedia menjadi boneka Jokowi. Berulangkali ia memuji kepemimpinan dan kebijakan Jokowi dan berjanji akan meneruskan kebijakan Jokowi, selain tentu saja memberikan tempat terhormat kepada Jokowi saat ia menjadi presiden.
  1. Jokowi tidak begitu saja percaya kepada Prabowo, lawannya dalam dua pilpres terakhir. Ia meminta jaminan untuk kelancaran dinasti politiknya, dalam hal ini ia meminta putra sulungnya Gibran Rakabumingraka menjadi cawapres Prabowo.
  1. Pencawapresan Gibran tidak dimungkinkan secara hukum. Menurut Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) seorang cawapres harus telah berusia 40 tahun. Dan disinilah bermula kecelakaan hukumnya: Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal di atas sebagai konstitusional bersyarat, mahkamah mengoreksi dengan menambahkan norma “Pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”. Lebih celakanya lagi perubahan itu dilakukan dengan campur tangan Ketua MK Anwar Usman yang tidak lain adalah paman Gibran sendiri.
  1. Walau proses pengambilan keputusan itu dinyatakan melanggar etika, Gibran tetap bisa melenggang sebagai cawapres Prabowo. Dan Presiden Jokowi pun tidak berhenti cawe-cawe. Presiden aktif berkeliling negeri, tentunya untuk mempromosikan pasangan Prabowo-Gibran.
  1. Melalui restu presiden Jokowi jutaan paket Bansos disalurkan pada masa kampanye. Upaya ini ditengarai sebagai bagian dari politik uang atau pembelian suara.

Akibatnya kemenangan Prabowo-Gibran menimbulkan protes besar di masyarakat. Masyarakat pun semakin terpolarisasi. Pada satu sisi semakin menguat pendapat bahwa pelanggaran etika oleh presiden sudah melampaui batas dan tidak mungkin ditoleransi lagi.

Dalam konteks di atas, dimana posisi MK. Apakah MK akan melawan akal sehat?

MK melawan fakta

Fakta-fakta yang diajukan oleh pengacara Paslon #01 dan #03 sebetulnya sudah sangat melimpah. Fakta itu; mulai dari kunjungan Jokowi ke ratusan titik sepanjang masa kampanye tanpa urgensi kenegaraan yang setimpal; konsentrasi bansos yang paralel dengan konsentrasi perolehan suara Paslon 02; penggelontoran Bansos pada bulan Januari-Maret 2024 yang melanggar hukum; hingga Pengerahan aparat negara untuk memenangkan Paslon #02

Apakah semua fakta itu diterima atau ditolak oleh Majelis Hakim MK bukan sebuah pilihan hukum, melainkan pilihan moral. Sejatinya, pengadilan sengketa pilpres 2024 ini adalah pengadilan moral bukan sekadar pengadilan kejahatatan atau kecurangan pemilu. Di sini moralitas semua pihak menjadi persoalan, termasuk moral para hakim MK.

Dimana posisi moral para hakim MK? Apakah mereka Hakim Parasit bagian dari Elit Parasit Indonesia, atau Hakim Adil bagian dari penghuni surga sebagaimana diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW?

Kita tunggu besok!

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar