Analisis Hukum Birokrasi dan Netralitas ASN Dalam Pemilu 2024

Selasa, 16/04/2024 07:01 WIB
Ilustrasi Foto ASN Bekasi Kota Pamer Jersey Kaus Bola Semua Nomor 2 (Dok.Pemkot Kota Bekasi)

Ilustrasi Foto ASN Bekasi Kota Pamer Jersey Kaus Bola Semua Nomor 2 (Dok.Pemkot Kota Bekasi)

[INTRO]

Pemilihan Umum 2024 telah dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia pada Rabu, 14 Februari 2024. Layaknya sebuah pesta demokrasi, seluruh warga negara yang telah memenuhi syarat menurut ketentuan undang-undang berbondong-bondong menyalurkan hak pilihnya pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah ditentukan.

Secara umum, pemungutan suara Pemilihan Umum kali ini terlaksana dengan aman. Hal ini tercermin dari minimnya kejadian-kejadian yang mengganggu jalannya pemungutan suara, baik gangguan oleh pihak-pihak tertentu, maupun gangguan berupa bencana alam dan/atau hal-hal lain di luar perencanaan, meskipun kemudian Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merekomendasikan untuk digelar pemungutan suara ulang, pemungutan suara lanjutan, dan pemungutan suara susulan di beberapa daerah di seluruh Indonesia, yang kemudian juga terlaksana dengan baik.

Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya pelaksanaan Pemilihan Umum yaitu peran serta seluruh pemangku kepentingan terkait, di antaranya lembaga penyelenggara Pemilihan Umum (KPU, Bawaslu dan DKPP), pemerintah di tingkat pusat dan daerah, TNI, Polri, dan seluruh masyarakat, serta partisipasi Aparatur Sipil Negara (ASN) baik secara kelembagaan maupun sebagai pribadi untuk  menjadi supporting system (komponen pendukung), mulai dari perencanaan, penyusunan regulasi, dukungan sarana dan prasarana sampai dengan peranan secara langsung sebagai pelaksana di berbagai level penyelenggara Pemilihan Umum.

Keterlibatan Aparatur Sipil Negara sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan umum tentunya membawa implikasi dalam hal netralitas Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugasnya baik sebagai abdi negara sekaligus pelayan masyarakat secara adil dan merata, termasuk memposisikan diri secara benar dalam kontestasi politik, dimana sebagai ASN telah diatur rambu-rambu diantaranya  Kode etik dan kode perilaku yang bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN serta kepentingan bangsa dan negara. ASN harus memposisikan diri secara netral dengan tetap memiliki hak-hak politik dan berpartisipasi dalam Pemilihan Umum tahun 2024.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara telah menggariskan bahwa netralitas sebagai salah satu asas Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN yang berkedudukan sebagai unsur aparatur negara, dimana ASN dituntut untuk bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik, termasuk pengaruh dan intervensi pihak yang akan menjadi kontestan pada pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024, namun faktanya sebagian ASN telah dimanfaatkan, terkooptasi dan terjerumus kedalam fenomena politisasi birokrasi.

Politisasi Birokrasi menjadi fenomena yang selalu terjadi, khususnya pada saat menjelang dan selama penyelenggaraan kontestasi pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang biasanya terjadi secara massif, terstruktur dan sistematis. Pihak berkepentingan jauh hari mengkondisikan struktur birokrasi dan ASN melalui kekuasaan.

Diciptakanlah simbol-simbol baik berupa gambar dan/atau slogan yang dipersonifikasikan kepada orang atau kelompok tertentu, yang kemudian secara sistematis disebar didalam kalangan ASN secara massif dalam berbagai bentuk diantaranya dibuat dalam bentuk media publikasi sampai bentuk sederhana seperti kostum dan sticker, bahkan terkadang diduga memanfaatkan berbagai program pemerintah yang ada pada organisasi perangkat daerah guna menarik simpati masyarakat.

Sudah menjadi semacam aturan tidak baku dan dianggap lumrah bahwa pasca kontestasi politik, maka pemenang kontestasi Pemilihan Umum akan mengangkat pembantunya dari kalangan partai politik pengusung, atau pemenang pemilihan kepala daerah, akan segera melakukan perombakan komposisi pejabat organisasi perangkat daerah dan/atau jajaran struktural pemerintah daerah sampai ketingkat bawah setelah masa larangan melakukan mutasi yang biasanya berlangsung selama 6 (enam) bulan pasca dilantik sebagai kepala daerah.

Keadaan tersebut bahkan telah dikondisikan jauh hari sebelum masa pelaksanaan pemilihan itu sendiri. Pemanfaatan jabatan birokrasi dengan asumsi bahwa akan diisi oleh “orang dekat” pemenang kontestasi kemudian dimanfaatkan di satu sisi oleh pihak yang memiliki kepentingan untuk memenangkan pemilihan dengan menjanjikan atau setidaknya memberi sinyal untuk memberikan posisi jabatan tertentu bagi oknum ASN yang telah memberikan dukungan dan bekerja secara maksimal guna memenangkannya.

Dipihak lain, oknum ASN akan memanfaatkan momentum tersebut sebagai peluang untuk mendapatkan jabatan atau posisi strategis di birokrasi dengan membantu memenangkan calon kontestan pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini telah terjadi apa yang diistilahkan “simbiosis mutualisme”, saling memberi keuntungan antara kedua belah pihak. 

Dengan demikian, agak sulit untuk bicara soal kualitas kinerja dan latar belakang pendidikan sebagai basic penempatan pejabat karena pada umumnya hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan nomor dua. Dengan kooptasi seperti itu, politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi menjadi tidak netral, susah bekerja profesional, apalagi melayani rakyat secara sepenuhnya. Birokrasi malah lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan politis.  

Pada dasarnya jabatan ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara guna melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah, dan berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat serta pemersatu bangsa. Dalam menjalankan proses bisnis, birokrasi harus memastikan pelayanannya tersebut berkualitas dan netral.

Prinsip-prinsip netralitas diantaranya adalah bebas dari intervensi, tidak boleh memihak dan objektif. ASN sebagai warga negara tentu memiliki hak pilih dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, memiliki hak untuk mengikuti kampanye serta dapat menyuarakan ide serta pendapatnya terkait politik, baik di masyarakat maupun di media sosial, namun ASN dilarang menjadi pelaksana kampanye termasuk dilarang mengajak dan mengimbau siapapun untuk memilih calon tertentu. 

Terkait netralitas ASN, setidaknya ada tiga undang-undang yang menegaskan ASN harus netral.  Pertama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara mengatur bahwa penyelenggaraan kebijakan manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas (Pasal 2 huruf f). Dalam penjelasan pasal tersebut, Yang dimaksud dengan asas netralitas" adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.

Kemudian pada pasal 9 ayat (2)diatur bahwa Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga terdapat pasal soal netralitas ASN, diantaranya pasal 280 ayat (2) huruf f diatur bahwa Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Aparatur Sipil Negara, Ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye pemilihan umum.

Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan ini diatur dalam pasal 494 yang berbunyi Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/ atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (duabelas juta rupiah).

Pada pasal 282 mengatur bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye. Kemudian dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah teradapat dua pasal yang mengatur tentang netralitas ASN yaitu pada Pasal 70 dan Pasal 71. Pasal 70 ayat (1) berbunyi bahwa dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia.

Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak 6 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189. Kemudian, Pasal 71 ayat (1) berbunyi pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak 6 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 188.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil secara jelas mengatur ketentuan netralitas dalam Pemilu. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 5 huruf n, yang berbunyi: PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: Ikut kampanye;

Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau Memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.

Regulasi peraturan perundang-undangan sudah dibuat dengan maksimal guna menjangkau segala kebutuhan hukum terkait dengan pengaturan ASN agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparatur negara dapat selalu berada dalam jalur yang benar. Hanya kemudian ada saja pihak-pihak yang selalu mencari celah dan memanfaatkannya guna pencapaian kepentingan politiknya dengan memanfaatkan birokrasi dan ASN.

Untuk itu diperlukan pengawasan yang maksimal, lembaga pengawasan semacam Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Aparat Pengawasan Interen Pemerintah (APIP) perlu ditingkatkan kualitas pengawasannya. Perlu dimaksimalkan kemampuan teknis pengawasannya dan yang terpenting adalah bagaimana membentuk sumberdaya pengawasan yang memiliki integritas yang kuat, dan memiliki kompetensi yang mumpuni, yang dihasilkan melalui suatu proses seleksi yang kredibel dan transparan.

Selanjutnya penegakan aturan harus tegas dan tegak lurus sesuai peraturan dan berlaku pada semua tingkatan, sebagaimana prinsip “equality before the law”, bahwa semua dipandang sama di depan hukum, dan harus dapat memberikan kepastian hukum, dengan demikian diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelanggar peraturan, dan menjadi pelajaran bagi pihak lain untuk tidak melakukan dan/atau terlibat dalam politisasi birokrasi atau pelanggaran Netralitas ASN. (Faisal)

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar