TNI Sebut KKB Sebagai OPM, Kekerasan di Papua Dinilai Bakal Kian Subur

Sabtu, 13/04/2024 18:30 WIB
Respons TNI soal Klaim OPM Tembak Mati 16 Prajurit Kopassus. (Istimewa)

Respons TNI soal Klaim OPM Tembak Mati 16 Prajurit Kopassus. (Istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa TNI menyebut segala aktivitas kelompok bersenjata di Papua sebagai bagian Organisasi Papua Merdeka atau OPM. Sebelumnya, Polri menamakan kegiatan bersenjata di Papua dari non-Polri dan TNI sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB yang dianggap sebagai gerakan separatisme.

Namun, perubahan istilah yang dipakai TNI ini dinilai bakal mempertebal eksalasi konflik yang berdampak pada keamanan di tanah Papua. Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Ifdhal Kasim, menekankan bahwa TNI tidak lagi menyamarkan kelompok ini dengan sebutan KKB yang dianggap pengacau ketertiban dan menjadi domain Polri.

Kata Ifdhal, preseden buruk soal eskalasi konflik makin memanas bisa terlihat dalam kasus pembunuhan Danramil 1703-04/Aradide Letda Inf Oktovianus Sogalrey yang dilakukan OPM pada Kamis, 11 April 2024. "Apa yang terjadi di Paniai menunjukkan eskalasi kekerasan akan meningkat," tutur Ifdhal dalam keterangannya, seperti dikutip Tempo, Sabtu (13/4/2024).

Ifdhal menyebut, penggunaan nama OPM membawa konsekuensi pada pengakuan TNI terhadap eksistensi OPM sebagai entitas politik yang ingin mendirikan negara sendiri. Karena itu, terminologi yang dipakai TNI akan mempengaruhi pendekatan penyelesaian konflik yang ada di Papua.

"Pendekatan militer mungkin akan lebih dikedepankan ketimbang pendekatan law and order, di mana Polri yang di depan," kata Ifdhal.

Menurut dia, sebenarnya upaya yang diperlukan untuk mengatasi konflik di Papua adalah assessment atau penilaian yang jujur terhadap pendekatan yang sedang digunakan. Dia menilai, hasil penilaian ini yang seharusnya menjadi dasar dari kebijakan pemerintah untuk memutuskan pendekatan apa yang perlu dilakukan untuk menangani konflik di Papua. "Jangan terkesan sporadis," kata dia.

Adapun Agus menuding OPM telah melakukan aksi teror, pembunuhan, bahkan pemerkosaan. Aksi itu dilakukan terhadap guru, tenaga kesehatan, juga masyarakat dan personel TNI/Polri.

"Mereka kombatan yang membawa senjata. Saya akan tindak tegas untuk apa yang dilakukan oleh OPM. Tidak ada negara dalam suatu negara," kata Agus.

Menurut Agus, penanganan di Papua berbeda dengan wilayah lain. TNI pun punya metode khusus untuk penyelesaian masalah. "Senjata ya lawannya senjata," katanya.

Bicara soal kekerasan di Papua, sepanjang 2023 menurut catatan Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz, ada 209 peristiwa kekerasan kriminal bersenjata dan politik di wilayah Papua. Dari kejadian tersebut, sebanyak 79 orang tewas, terdiri dari 37 warga sipil, 20 prajurit TNI, serta 3 anggota Polri. Sementara itu, ada 19 anggota kelompok kriminal bersenjata yang tewas.

Sedangkan, berdasar emantauan KontraS pada Januari-Februari 2024 telah terjadi setidaknya 7 Peristiwa kekerasan yang menimbulkan 6 korban luka dan 4 korban tewas. Tindak kekerasan tersebut antara lain meliputi penembakan, penyiksaan, serta penangkapan sewenang-wenang. Menurut informasi yang kami himpun, beberapa korban di antaranya adalah warga sipil bahkan terdapat korban yang masih tergolong anak-anak.

Kekerasan yang terjadi di Papua dinilai berbanding lurus dengan masih diberlakukannya pendekatan keamanan dan bersenjata melalui operasi militer oleh pemerintah hingga saat ini. KontraS mewanti-wanti operasi bersenjata TNI-Polri merupakan tindakan yang mempertontonkan penggunaan kekuatan secara berlebihan sekaligus pelanggaran terhadap prinsip fair trial.

Kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus, penggunaan kekuatan oleh aparat bersenjata seharusnya dilakukan secara terukur berdasarkan prinsip nesesitas, yakni bahwa penggunaan senjata oleh aparat harus dilakukan dengan hati-hati serta sesuai dengan prinsip hukum dan HAM.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar