Nawaitu Redaksi

Menelisik Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Dugaan Pemilu Curang

Sabtu, 06/04/2024 21:25 WIB
Massa aksi berdemo menyatakan pemilu disebut sebagai pemilu curang. Robinsar Nainggolan

Massa aksi berdemo menyatakan pemilu disebut sebagai pemilu curang. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Hari hari terakhir ini perhatian publik tertuju pada sidang sidang yang di gelar di Mahkamah Konstitusi (MK) atas dugaan adanya pemilu curang yang ditanganinya. Saat ini proses sidang tengah berlangsung dengan memanggil saksi saksi yang terkait dengan perkara dugaan pemilu curang yang di sidang MK. Diantara yang dipanggi MK ada jajaran Menteri, para pakar dibidang masing masing dan juga pihak terkait lainya.

Adu argumentasi yang berlangsung antara pengacara paslon 01 dan 03 yang mengajukan gugatan disatu sisi dengan pengacara dari paslon 02 beserta KPU dan Bawaslu disisi lainnya. Adu argumenasi itu berlangsung seru saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya. Adu argumntasi itu tentunya dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan hakim MK. Publik sejauh ini baru bisa menduga duga seperti apa kira kira keputusan MK nantinya ?.

Bagaimana sebenarnya proses atau tahapan penanganan sengketa Pilpres yang di tangani oleh MK ?. Seperti apa pula pengalaman penanganan sengketa Pilpres di MK ada era sebelumnya ?

Bagaimana peluang di tolak atau diterimanya gugatan pemohon oleh MK ?. Apakah Keputusan “jalan tengah” akan menjadi pilihan MK nantinya ?

Proses Penanganan Perkara

Kita patut mengapresiasi siapa pun atau pihak mana pun yang telah mengajukan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke MK karena upaya PHPU di MK merupakan bagian dari mencari keadilan elektoral (electoral justice) yang merupakan hak setiap warga negara.

The International IDEA (2002) menyebutkan salah satu dari indikator pemilu demokratis ialah kepatuhan dan penegakan hukum pemilu sesuai ketentuan yang ada. Karena regulasi pemilu telah memberikan kesempatan dan juga waktu kepada para pihak yang merasa hak elektoral mereka dirugikan, untuk menyampaikan perselisihan (complaint) atas hasil pemilihannya.

Upaya mengajukan PHPU ke MK juga untuk memastikan proses pencarian keadilan pemilu tersebut dapat dilakukan dengan adil, akuntabel, dan tepat waktu.

Adanya upaya penyelesaian perselisihan pemilu dengan sendirinya harus  dipandang sebagai upaya untuk pencari keadilan bagi para pihak yang merasa hak elektoral mereka dirugikan, tetapi juga merupakan upaya untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi sistem politik. Untuk itulah diperlukan adanya mekanisme penyelesaian sengketa pemilu (election dispute resolition) yang dapat menjamin stabilitas sistem politik dan dapat menjamin implementasi hak-hak politik dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis di Indonesia.

Adapun secara ringkas mekanisme penyelesaian sengketa pemilu dapat di urutkan mulai adanya pengumuman KPU  tentang hasil rekapitulasi suara secara nasional yang sudah dilakukan pengumumannya dimana pasangan Prabowo-Gibran menjadi pemenangnya.

Jika kita mengacu pada Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, MK telah membuka pendaftaran keberatan terhadap hasil itu selama tiga hari setelah penetapan perolehan suara.

MK sudah menyediakan format permohonan sengketa hasil pemilu yang meliputi uraian yang jelas nama dan alamat pemohon, kewenangan MK, kedudukan hukum pemohon sebagai capres dan cawapres dan tenggang waktu pengajuannya.

Selain itu juga format tentang pokok permohonan yang memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU dan pemohon serta petitum yang memuat pembatalan penetapan perolehan suara hasil pemilu dan menetapkan hasil yang benar menurut pemohon.

Setelah tiga hari waktu yang diberikan untuk pengajuan gugatan, paslon nomor urut 01 dan 03 telah mengajukan pendaftaran untuk gugatan ke MK. Dalam kaitan ini petugas MK telah mengecek kelengkapan berkas, dan kemudian telah pula melakukan registrasi di e-BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi).

Sesuai ketentuan yang ada, paling lama empat hari sejak permohonan diregistrasi, MK akan menggelar sidang perdana (khusus untuk sengketa pilpres) dengan agenda memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi sengketa, serta pengesahan alat bukti yang ada. Sidang perdana telah  dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 2024.

Saat ini  sidang akan memasuki agenda pembuktian dengan menghadirkan saksi-saksi baik dari pemohon sengketa, KPU, maupun pihak terkait. Untuk menguatkan dalil-dalil yang diajukan, tiap-tiap pihak biasanya mengajukan saksi ahli yang dimilikinya

Untuk diketahui, MK hanya memiliki waktu 14 hari kerja untuk menyelesaikan perkara sengketa pilpres terhitung sejak perkara dicatat dalam e-BRPK. Menurut rencana, MK akan memutus perkara sengketa pilpres tersebut pada 16 April atau hari pertama setelah libur Hari Raya. Sebelum menjatuhkan putusan, delapan hakim MK—minus Anwar Usman yang dilarang oleh Majelis Kehormatan MK menangani sengketa pemilu—akan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada tanggal 8-15 April 2024

Adapun ada tiga macam putusan yang bisa dikeluarkan meliputi putusan (final), putusan sela, dan ketetapan. Putusan sela berisi perintah kepada KPU atau pihak lain untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan obyek yang dipersengketakan. Ini, misalnya, berupa pemungutan suara ulang (PSU), penghitungan suara ulang, dan lainnya.

Apabila putusan sela dijatuhkan, MK akan menggelar persidangan kembali untuk mendengarkan laporan pelaksanaan hasil putusan sela sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan (final).Sementara ketetapan dikeluarkan apabila permohonan ternyata bukan menjadi kewenangan MK, ditarik kembali, atau pemohon/kuasa hukumnya tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Bukan Hal Yang Baru

Persoalan perselisihan hasil pemilu yang kemudian dibawa ke MK sebenarnya bukan terjadi kali ini saja. Dalam pemilu pemilu sebelumnya, MK sudah biasa menerima aduan pihak pihak yang merasa dirugikan selama proses pemilu untuk dicarikan solusinya

Selama proses penanganan sengketa pemilu di MK, salah satu hal yang mungemuka adalah makin bertambah dan berkembang serta bervariasinya dalil dalil yang diajukan oleh para pemohon dalam gugatannya.

Sebagai contoh sengketa pilpres tahun 2004 fokus pada selisih perhitungan suara. Pada sengketa pilpres tahun 2009, persoalan daftar pemilih tetap (DPT), penghapusan tempat pemungutan suara (TPS), pelibatan pihak asing, serta penggelembungan dan pengurangan suara menjadi isu yang mewarnai ”perang” bukti dan saksi dalam persidangan di MK.

Sementara itu sengketa hasil pemilu yang dibawa ke MK pada pilpres tahun 2014,  selain soal perselisihan hasil pemilu juga dugaan adanya  kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagai bahan yang juga didalilkan dalam sengketa Pilpres 2014.

Disamping itu ada pula persoalan mobilisasi pemilih melalui DPTb (daftar pemilih tambahan) dan DPKtb (daftar pemilih khusus tambahan), serta politik uang yang marak di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Selatan. Ada pula masalah intervensi pejabat setingkat gubernur yang disoal, yaitu Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Kalimantan Tengah.

Pada Pemilu 2019, sengketa pilpres di MK diwarnai dengan masalah cacat formil syarat calon wakil presiden, yaitu Ma’ruf Amin, yang tidak mundur dari jabatannya di badan usaha milik negara (Dewan Pengawas Syariah dari Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah).

Pemohon sengketa juga mempersoalkan pelanggaran TSM, di antaranya penyalahgunaan APBN untuk menaikkan gaji dan membayar rapelan gaji PNS, TNI, dan Polri; menjanjikan gaji ke-13 dan THR lebih awal; dan menaikkan gaji perangkat desa. Selain itu, menaikkan dana kelurahan, mencairkan dana bansos, menaikkan dan mempercepat penerimaan Program Keluarga Harapan, dan menyiapkan skema rumah DP nol persen untuk ASN, TNI, dan Polri.

Terhadap dalil-dalil TSM tersebut, kita bisa menguak kembali pertimbangan MK dalam putusan sengketa Pilpres 2019. Disebutkan, terhadap dalil yang dikelompokkan sebagai pelanggaran TSM, MK menemukan fakta bahwa pemohon sengketa tidak melaporkan hal itu ke Bawaslu sebagai institusi yang berwenang menanganinya. Bawaslu menyatakan tidak pernah menerima laporan ataupun mendapatkan temuan sesuai yang didalilkan oleh para pemohon.

Ada pula laporan, tetapi sudah ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.Adanya TSM seperti dituduhkan oleh para pemohon, pada gugatan pemilu 2019 itu MK berpendapat bahwa pelanggaran yang bersifat TSM tidak beralasan hukum atau dianggap tidak ada.

Seperti halnya gugatan pemohon pilpres pada tahun 2019, pada gugatan pilpres di 2024 ini isu pelanggaran TSM juga diajukan dalam gugatannya.Beberapa petitum Anies-Muhaimin juga menjadi petitum kuasa hukum pemohon Ganjar-Mahfud. Misalnya, pertama, kuasa Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan untuk memutuskan menyatakan batal surat keputusan (SK) Nomor 360/2024 tentang penetapan hasil pemilu Pilpres, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional dalam Pemilu 2024.

Kedua, kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berharap MK menyatakan diskualifikasi paslon Prabowo-Gibran. Ketiga, kuasa hukum Anies-Muhaimin mengharapkan MK menyatakan batal Keputusan KPU RI Nomor 1632 tentang penetapan paslon pilpres berkaitan dengan paslon Prabowo-Gibran.

Keempat, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa mengikutsertakan paslon Prabowo-Gibran. Alternatifnya adalah mengganti Gibran sebagai cawapres.Kuasa hukum Ganjar-Mahfud mengharapkan pemungutan suara di seluruh Indonesia selambat-lambatnya tanggal 26 Juni 2024, di mana MK diharapkan memerintahkan KPU melaksanakan putusan.

Kelima, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan Bawaslu melakukan supervisi. Keenam, juga berharap MK memerintahkan presiden bertindak netral, tidak memobilisir aparatur negara, dan tidak menggunakan APBN sebagai alat untuk menguntungkan salah satu paslon dalam pemungutan suara ulang.

Ketujuh, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan kapolri beserta jajarannya untuk melakukan pengamanan proses pemungutan suara ulang pilpres secara netral dan profesional.

Kedelapan, kuasa hukum Anies-Muhaimin berharap MK memerintahkan TNI beserta jajarannya untuk membantu pengamanan proses pemungutan suara ulang pilpres sesuai kewenangannya.

Diterima atau Di tolak ?

Apakah gugatan paslon nomor urut 01 dan 03 akan diterima atau ditolak oleh MK, sejauh ini pertanyaan itu masih menggelayut di benak publik sampai nantinya keputusan itu benar benar tiba. Tetapi sebelum keputusan MK itu datang, banyak orang yang sudah memprediksi seperti apa keputusan MK nantinya tentunya disertai dengan argumentasi masing masing sesuai dengan kadar pemikirannya.

Mereka yang berpandangan bahwa MK akan mengabulkan tuntutan paslon nomor urut 01 dan 03 berpandangan bahwa soal  bahwa penggugat pemilu tak selalu kalah dalam gugatannya di Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti di ungkapkan oleh Mahfud MD (cawapres paslon nomor urut 3), ia menyebut MK pernah membatalkan hasil pemilu curang.  Mahfud mencontohkan gugatan Khofifah Indar Parawansa saat kalah melawan Soekarwo di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2008. Kala itu, Mahfud yang masih menjabat sebagai hakim konstitusi, membatalkan hasilnya dan meminta pemilu diulang pelaksanannya.

Setahun setelahnya, Mahfud juga mencontohkan Pilkada Bengkulu Selatan yang akhirnya memenangkan kubu yang semula kalah."Hasil pilkada Kota Waringin Barat, sama dengan Bengkulu Selatan dan banyak lagi kasus di mana ada pemilihan ulang, terpisah, daerah tertentu, desa tertentu dan sebagainya. Dengan memikian,kecurangan pemilu yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif telah memiliki yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia “,kata Mahfud seperti dikutip media.

Mahfud MD juga mengungkapkan daftar negara yang pernah membatalkan hasil pemilu karena terindikasi kecurangan. Hal tersebut disampaikan Mahfud sebagai prinspal pemohon dalam sidang perdana perkara sengketa atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).  

“Beberapa negara membatalkan hasil Pemilu yang dilaksanakan secara curang dan melanggar prosedur seperti Australia, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi dan Thailand serta Belarusia. Beberapa negara itu dinilai sebagai shame institution atau institusi pengadilan palsu karena selalu diintervensi oleh pemerintahnya," imbunya.

Keyakinan bahwa gugatan paslon 01 dan 03 akan dikabulkan oleh MK juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Prof Denny Indrayana. Ia memprediksi MK akan memutuskan untuk membatalkan kemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 sesuai versi KPU.Prediksi itu diungkapkan Denny melalui unggahan narasi di akun media sosial X pribadinya yakni @dennyindrayana, Rabu (27/3/2024).

Optimisme bahwa hakim MK akan menerima tuntutan dari paslon 01 dan 03 pada umumnya didasarkan pada telah terjadinya kecurangan yang luar biasa yaitu adanya penyalahgunaan kekuasaan yang membuat pemilu tidak terlaksana sebagaimana mestinya.

 “Saat ini pemerintah menggunakan segala sumber daya negara untuk mendukung kandidat tertentu, saat aparat keamanan digunakan untuk membela kepentingan politik pribadi, maka saat itulah, kita harus bersikap tegas bahwa kita menolak semua tindak intimidasi dan penindasan,” papar Ganjar yang juga didampingi oleh Calon Wakil Presiden Moh. Mahfud MD beserta tim kuasa hukum sebagai Pemohon Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024. Sidang perdana perkara ini digelar pada Rabu (27/3/2024).

Sementara itu ketika membacakan pokok permohonan, Deputi Tim Hukum Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud yang diwakili oleh Todung M. Lubis dan Annisa Ismail menyampaikan dalil-dalil pokok permohonan dari Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 secara bergantian. Menurut Pemohon telah terjadi kekosongan hukum dalam UU Pemilu untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan akibat dari nepotisme yang melahirkan abuse of power yang terkoordinasi. Pelanggaran ini menjadi pelanggaran utama yang terjadi dalam Pilpres 2024.

Tindak nepotisme dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam mendorong Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan calon Wakil Presiden Nomor Urut 2. Hal ini, sambung Annisa, melahirkan berbagai bentuk abuse of power di seluruh jenjang kekuasaan dan pemerintahan. Fakta ini tampak pada keberadaan UU Pemilu tidak memiliki mekanisme untuk menangani wujud pelanggaran TSM yang diatur, sehingga kekosongan hukum yang ada pada UU Pemilu terlihat jelas.

Berikutnya, Pemohon juga menilai instrumen penegak hukum pemilu yang saat ini tidak efektif yang tampak pada tidak adanya independensi dari Termohon dalam melakukan Pilpres 2024, DKPP melindungi Termohon dengan cara tidak mengindahkan putusannya sendiri, dan Bawaslu tidak efektif dalam menyelesaikan pelanggaran yang dilaporkan.

“Pemilu 2024 sarat pelanggaran dan nepotisme, ketidakefektifan penyelenggara pemilu terlihat dari tidak independennya penyelenggara. Bahkan terlalu formalistiknya Bawaslu terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi di lapangan. Sehingga kewenangan MK terhadap pelanggaran TSM yang terjadi ini, MK yang didesain untuk melindungi konstitusi, maka tidak boleh terjebak sebagai Mahkamah Kalkulator,” urai Annisa dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) oleh para pemohon juga dinilai telah  mengontrol pejabat negara dan kepala desa mengikuti sikapnya yang mendukung salah satu calon peserta pilpres yang ada anaknya maju sebagai calon wakil presiden.

Presiden Jokowi dan menteri-menteri loyalisnya selaku pembantunya, telah kasak-kusuk dengan berbagai cara sesuai kewenangan yang dimiliki untuk memenangkan Pilpres 2024 untuk pasangan calon (paslon) 02. Kenyataan ini terlihat secara jelas dalam berbagai pemberitaan di media massa.Tindakan yang masuk dalam ketegori ‘fraud’ (curang) terjadi kasat mata. Ini tampak melalui liputan media, yaitu dengan digunakannya fasilitas negara dalam mendukung kemenangan paslon 02, dan tidak diambilnya cuti di luar tanggungan negara oleh Presiden Jokowi dan menterinya. Bahkan dari dalam mobil dinas kepresidenan muncul acungan dua jari sebagai kode paslon 02.

Tindakan Presiden Jokowi dan para pembantunya itu pasti berkontribusi terhadap capaian suara paslon 02.Lanjutnya, pada saat yang bersamaan tindakan itu sekaligus juga telah merugikan paslon 01 dan paslon 03.

Padahal konstitusi negara menyatakan presiden itu harus netral dalam pemilu. Maka presiden selaku kepala negara sekaligus juga kepala pemerintahaan tidak dapat melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan pihak lain dan dirinya sendiri.

Sama halnya dengan menguasai pejabat negara,  Presiden Jokowi juga melakukan penggalangan para kepala desa. Hal ini dilakukan lewat penggalangan kepala desa pada berbagai pertemuan dan komitmen untuk mengegolkan Revisi UU Desa No.6/2014, yang antara lain memuat penambahan lama masa menjabat kepala desa dari enam tahun menjadi delapan tahun per periode.Bahkan, Presiden Jokowi menerima sendiri delegasi kepala desa di Istana Negara tanpa didampingi menteri terkait.Hal ini jelas tidak diperbolehkan karena aturan perundangan menyatakan kepala desa tidak dapat terlibat dalam politik praktis

Dengan demikian, apa yang dilakukan paslon 02 maupun Presiden Jokowi tentu telah mendongkrak suara paslon 02 di desa-desa pada Pilpres 2024 yang baru lalu itu. Perolehan suara paslon tersebut terdongkrak naik berkat wibawa dan pengaruh kepala desa kepada warganya/konstituennya.

Maka itu kemudian jelas terbukti bila perilaku paslon 02 yang menyeret kepala berpolitik telah menabrak aturan UU Desa No.6/2014 yang melarang kepala desa ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilu.Para pejabat kepala daerah yang berwenang mencegah tindakan kepala desa tersebut umumnya melakukan “pembiaran” (tutup mata) tindakan curang itu

Atas segala pelanggaran yang terjadi tersebut, Mahfud MD mendorong agar Majelis Hakim Konstitusi berani menembus masuk ke relung keadilan substansif dan bukan hanya sekadar keadilan formal prosedural semata. Dalam pelanggaran pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) memperkenalkan pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Indonesia.

Selain itu, Mahfud juga menyebut MK di berbagai negara telah banyak melakukan judicial positivism dengan membatalkan pemilu yang penuh kecurangan dan pelanggaran prosedur, seperti di Australia, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, Thailand, dan beberapa negara.

“Akhirnya, kami tahu sungguh berat bagi MK dalam sengketa hasil pemilu ini. Pastilah ada yang datang untuk mendorong Yang Mulia agar permohonan ini ditolak. Dan pasti ada pula yang datang untuk mendorong agar permohonan ini dikabulkan. Yang datang tentu tidaklah harus orang ataupun institusi, melainkan bisikan hati Nurani yang datang bergantian di dada para hakim,” ujar Mahfud.

Selain bukti bukti secara substantive, optimisme gugatan paslon 01 dan 03 bakal dikabulkan oleh MK didasarkan pada beberapa fakta diantaranya:

Pertama, Ada dua Hakim baru di MK yang masih terjaga kredibiltasnya.Dua hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur yang dilantik pada 8 Desember 2023 dan Hakim Konstitusi Arsul Sani yang dilantik 18 Januari 2024.

Kedua, Hakim MK Anwar Usman tak ikut perkara dalam sengket pilpres 2024. Khabar tidak ikutnya paman Usman dalam mengadili perkara pilpres tentu menjadi berita yang sangat dirindukan karena gara gara Anwar Usman, anaknya Jokowi Gibran bisa ikut pilpres meskipun melanggar etika. Anwar Usman tak bisa ikut karena sanksi yang diberikan MKMK atas putusan 90/PUU-XXI/2023 yang menyebabkan Gibran boleh mendaftarkan diri sebagai cawapresnya Prabowo.

Dengan tidak terlibatnya Anwar Usman, maka ada harapan bahwa sengketa Pilpres yang dibawa ke MK akan diputuskan secara lebih adil dan fair sesuai dengan bukti bukti yang terhidang selama masa proses persidangan yang dimiliki oleh para pihak yang berperkara.

Nampaknya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang melarang pihak yang berkepentingan untuk menyidangkan kasus tertentu memperlihatkan bahwa lembaga peradilan itu ingin “kembali ke rel yang seharusnya” yaitu menggembalikan marwah MK agar kembali menjadi institusi yang dipercaya.

Ketiga, adanya Putusan MK akhir akhi ini yang berpihak pada harapan publik. Optimisme gugatan paslon 01 dan 03 akan dikabulkan MK tidak terlepas dari kinerja MK akhir akhir ini yang nampak sudah mulai kembali menunjukkan kredibilitasnya. Sebagai contoh dua putusan MK pada Kamis (21/03) yang menolak gugatan larangan tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil, juga tentang pencemaran nama baik yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatia yang juga dikabulkan oleh MK sehingga memberikan secercah harapan bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Beberapa putusan MK terakhir memang terkesan cukup progresif dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya. Karena mengubah pattern [pola] kepatuhan MK kepada partai politik menjadi kepatuhan kepada Konstitusi yang menjadi dasar pijakannya. Tentu kita berharap, mudah-mudahan hal ini juga akan terus berlanjut sehingga mengubah situasi terutama dalam perselisihan hasil pemilu dan MK ikut terlibat membongkar kecurangan pemilu brutal sungguh luar biasa.

Jika sekarang MK tidak melakukan teroban untuk memberikan sanksi terhadap pelaksanaana pemilu curang ini  maka bukan tidak mungkin proses penyelenggaraan pemilu ke depan hanya akan menjadi seremonial belaka karena seseorang yang menang sudah ditentukan jauh-jauh hari dengan berbagai kecurangan yang ada.

Optimisme bahwa gugatan paslon 01 dan 03 bakal diterima oleh MK memang boleh boleh saja. Tapi kubu yang digugat yaitu kubu 02  tidak tinggal diam tentunya. Mereka yakin betul kalau gugatan paslon 01 dan 03 akan ditolak oleh MK.

Terkait dengan tuduhan telah terjadinya pelanggaran pemilu secara TSM-misalnya, perlu diingat bahwa pelanggaran TSM tersebut merupakan domain Bawaslu bukan MK yang harus memutuskanya. Kalau para penggugat sudah membayangkan adanya pelanggaran TSM, tapi tidak melaporkan ke Bawaslu terlebih dahulu, maka bisa dipastikan nanti MK akan mempertanyakan juga. Bisa jadi MK tidak akan mengabulkan dalil itu dengan mempertimbangkan preseden sebelumnya.

Selain itu beberapa petitum para penggugat yang berharap MK menetapkan untuk memutuskan menyatakan batal surat keputusan (SK) Nomor 360/2024 tentang penetapan hasil pemilu Pilpres, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional dalam Pemilu 2024 dan juga mengharapkan  MK menyatakan diskualifikasi paslon Prabowo-Gibran dinilai mengada ada karena melampui sengketa perselisihan hasil pilpres 2024.

Demikian juga keinginan pemohon yang mengharapkan MK menyatakan batal Keputusan KPU RI Nomor 1632 tentang penetapan paslon pilpres berkaitan dengan paslon Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.

Selain itu adanya keinginan dari para penggugat untuk adanya pembatalan hasil pemilu 2024 SK 360/2024, mempunyai konsekuensi juga turut membatalkan penetapan hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional, sekalipun pihak yang bersengketa hanyalah kuasa hukum pilpres.Pembatalan pemilu secara nasional yang seperti ini sungguh amat sangat merugikan pihak-pihak yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pihak yang bersengketa tentang pilpres.

Petitum dari kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang seperti yang dikemukakan diatas  terkesan sungguh melampaui sengketa perselisihan hasil pilpres, karena persoalan diperluas oleh kedua kuasa hukum kepada persoalan pileg.

Di samping itu semua sengketa pilpres pada setiap tempat pemungutan suara (TPS) sesungguhnya telah dilakukan penghitungan ulang, rekapitulasi ulang, pemungutan suara ulang, dan pemungutan suara susulan secara berjenjang oleh penyelenggara pilpres.

Dalam hal ini kedua kuasa hukum para penggugat terkesan menolak membicarakan sengketa perselisihan perolehan suara hasil pilpres, melainkan melakukan langkah mundur ke dalam persoalan pelanggaran yang berada di luar wewenang MK tentang perolehan hasil pilpres yang tidak memengaruhi kemenangan hasil suara pilpres, yaitu mengenai pelanggaran administratif dan pelanggaran proses pemilu, yang berada dalam kewenangan Bawaslu.

Kubu 02 menilai, kuasa hukum Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud terkesan sangat kuat telah mengalami kebingungan, yang luar biasa tentang siapa sesungguhnya yang menjadi pangkal persoalan dari tuduhan-tuduhan di balik sumber kecurangan dalam pilpres.Ambigu dari kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud terkesan amat sangat kuat telah menyimpang sama sekali terhadap penyampaian posita, yang menduga penyalahgunaan kekuasaan dari presiden, namun mempersalahkan bukan hanya untuk Gibran, bahkan keduanya, yaitu Prabowo-Gibran.

Selain itu sesungguhnya tim kuasa hukum paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dinilai tidak punya dasar hukum untuk mempersoalkan penyalahgunaan kekuasaan dari presiden kepada MK. Sebab, berdasarkan UUD 1945 hasil Amandemen keempat satu naskah (Pasal 24C ayat (2)) menyatakan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden. Jadi, hanya pengajuan pendapat oleh DPR saja yang mesti diputuskan oleh MK, namun bukanlah atas posita dan petitum dari kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dalam ranah sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024.

Kalau pasangan paslon 02 mau didiskualiifikasi maka diskualifikasi itu sebenarnya bukanlah ranah kewenangan MK, melainkan Bawaslu. Kuasa hukum yang mempersoalkan keikutsertaan Gibran sebagai cawapres, namun persoalan disampaikan hanya setelah kalah pasca pengumuman penetapan pemenang pilpres oleh KPU.

Artinya, diskualifikasi Gibran sebagai cawapres tidak mempunyai dasar hukum. Demikian tuduhan kemenangan Prabowo-Gibran menang satu putaran disebabkan oleh kecurangan terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh presiden, juga tidak mempunyai dasar hukum untuk digunakan sebagai argumentasi guna mendiskualifikasikan paslon Prabowo-Gibran.Jika pihak yang diduga curang adalah presiden, maka kecurangan tidak dapat dibebankan kepada Gibran, terlebih untuk dibebankan kepada paslon Prabowo-Gibran.

Sementara itu untuk mempersalahkan dugaan penyalahgunaan presiden, itu hanya dapat diajukan dari DPR kepada MK, namun menggunakan persyaratan yang amat sangat ketat sesuai dengan ketentuan untuk mempersalahkan penyalahgunaan kewenangan oleh presiden. Persoalan ini sama dalam forum wewenang MK untuk ranah memutus sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024.Implikasi tidak dapat dilakukan diskualifikasi, maka penetapan kemenangan satu putaran paslon Prabowo-Gibran oleh KPU juga tidak dapat dibatalkan.

Atas dasar argumentasi sebagaimana dikemukakan diatas, kubu 02 yakin betul bahwa gugatan para pemohon tentang dugaaan adanya pemilu curang akan ditolak oleh MK lewat keputusannya. Tetapi apakah nanti MK akan menolak atau mengabulkan tuntutan para pemohon secara hitam putih seperti dikehendaki oleh masing masing kubu yang bersengketa ?

Jalan Tengah

Diperkirakan MK dalam keputusannya nanti tidak mengambil sikap untuk menolak atau menerima secara hitam putih gugatan para pemohon yaitu paslon 01 dan 03. MK seperti biasanya akan mencari jalur aman untuk keputusan yang diambilnya. Karena sangat kecil juga kemungkinan MK bisa berlaku adil ketika harus  mengoreksi kesalahan dan menghakimi lembaga negara serta institusi pemerintah yang melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum sementara saat ini ia sedang berkuasa.

Rasanya tidak mungkin mereka yang melakukan kecurangan dan mereka juga yang mengadili akan membuat keputusan (ruling) yang menjatuhkan dirinya sendiri,sebab kalau ini terjadi politik bunuh diri namanya.

Sepertinya MK akan mencari jalan tengah yaitu tidak membatalkan hasil Pilpres 2024 tetapi juga tidak menolak seluruh gugatan kecurangan Pilpres 2024 secara TSM. Hakim hakim MK itu rasanya tidak mungkin berani melawan penguasa dengan keputusan diambilnya untuk membatalkan pemilu yang telah memenangkan jagoanya. Karena hakim hakim itu adalah bagian dari penguasa.

Tetapi disisi lain, para hakim MK itu juga tidak cukup berani untuk menolak seluruh dalil yang diajukan oleh paslon 01 dan 03 atau menolak tuntutannya. Karena kalau ini terjadi bisa memunculkan gejolak yang bisa memicu huru hara. Sebab berbeda dengan pemilu 2019, pemilu kali ini diikuti tiga pasang calonn dimana pasangan 01 dan 03 menggugat MK pada hal seperti diketahui dua kubu itu banyak massanya dan kecurangan pemilu menurut mereka sudah begitu kasat mata.

Oleh karena itu, jalan tengah yang barangkali akan diambil oleh MK adalah : tidak membatalkan hasil pemilu tetapi mengoreksi, mengontrol dan meluruskan pelanggaran hukum, abuse of power dan kecurangan Pilpres 2024 yang sudah terjadi untuk supaya tidak terulang lagi ke depannya.

Serangkaian pelanggaran pelanggaran hukum yang sudah terungkap di persidangan harus dibuka seterang terangnya agar rakyat mengetahuinya. Tetapi harus diakui hal ini tidak mudah karena intimidasi terhadap para saksi penggugat kabarnya terus terjadi sehingga mereka takut memberikan kesaksiannya.

Kemudian sebagai konsekuensi telah terjadinya kecurangan pemilu adalah menghukum mereka yang melakukan pelanggaran hukum, menyalahkangunakan wewenang dan kekuasaan/ abuse of power dan menindak mereka yang melanggar Undang-Undang (UU) pemilu serta peraturan komisi pemilihan umum No.19 tahun 2023.

Disinilah pentingnya hak angket agar supaya DPR bisa mengorek secara lebih mendalam pelanggaran pelanggaran yang diduga telah dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan jajarannya. Karena atas dasar hasil angket ini nantinya DPR bisa meminta pendapat dari MK untuk menilai Presiden yang di anggap telah menyalahgunakan kewenangannya.

Dengan jalan tengah itu maka lagi lagi yang akan dikorbankan adalah para penyelenggara pemilu dan penyelenggara negara yang dianggap ikut andil dalam pelaksanaan pemilu curang sehingga hasilnya merugikan paslon lainnya. Mungkin sanksinya seperti yang  telah diterima oleh Anwar Usman yang dinilai telah melanggar etik oleh hakim MKMK dengan ganjaran dicopot dari posisinya sebagai ketua MK.

Keputusan MK nantinya diprediksi tidak sampai membatalkan hasil pemilu karena terlalu tinggi resikonya. Lagi pula belum ada sejarah sebuah lembaga seperti MK mengambil keputusan yang begitu ekstrim yaitu berani melawan kehendak penguasa meskipun sebenarnya kebenaran ada dipihaknya.Itulah yang terjadi di negeri Wakanda.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar