Apakah Hukum KPR dalam Islam Termasuk Riba? Begini Penjelasannya

Jum'at, 05/04/2024 13:42 WIB
Saat ini pembangunan rumah subsidi BTN bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bersubsi di Puri Kahuripan 7 di Dayeuh, Kec. Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sedang berlangsung. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menargetkan penyaluran KPR FLPP dan Tapera sebesar Rp 27,337 triliun pada 2023. Adapun target tersebut diasumsikan dengan harga rumah sekitar Rp 150 juta per unit kepada 182.250 unit. Robinsar Nainggolan

Saat ini pembangunan rumah subsidi BTN bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bersubsi di Puri Kahuripan 7 di Dayeuh, Kec. Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sedang berlangsung. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menargetkan penyaluran KPR FLPP dan Tapera sebesar Rp 27,337 triliun pada 2023. Adapun target tersebut diasumsikan dengan harga rumah sekitar Rp 150 juta per unit kepada 182.250 unit. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Sebagaimana diketahui, kebutuhan masyarakat untuk memiliki rumah semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Hanya saja, membeli rumah secara tunai umumnya sulit dilakukan lantaran harga rumah yang terbilang bukan barang murah.

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) baik yang konvensional maupun yang syariah, bisa jadi solusi untuk membantu masyarakat memiliki rumah.

Namun, tak sedikit yang menghindari skema KPR karena khawatir dengan praktik riba.

Lalu, bagaimana Islam memandang pembelian rumah secara kredit?

Apakah KPR termasuk riba?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu pembagian akad kredit jual beli berdasarkan akad pemberian kreditnya. Berikut penjelasannya seperti melansir detik.com.

1. Kredit dengan Uang Muka atau DP

Dalam kajian yang diunggah dalam laman NU Online, seperti dikutip detikcom, Rabu (3/4/2024), disebutkan bahwa apabila ada uang muka (termasuk di dalamnya adalah subsidi pemerintah), maka akad pembiayaan/perkreditan jenis ini disebut dengan akad musyarakah mutanaqishah bi nihaayatit tamlik.

Nama lain dari akad ini adalah akad ijarah muntahiyah bit tamlik, yaitu sebuah akad sewa guna usaha yang disertai dengan akhir berupa perpindahan kepemilikan sepenuhnya kepada pembeli.

Ciri yang dibenarkan secara fiqih bila menjalankan akad ini adalah:

● Harga barang ditentukan di awal. Uang muka yang berasal dari pembeli dan/atau berasal dari subsidi secara tidak langsung menjadi bagian dari modal/saham pembeli terhadap aset.

● Besaran harga sewa ditentukan di awal dan dibagi menurut porsi kepemilikan kedua pihak yang berserikat terhadap aset yang disewakan.

● Harga sewa semakin menurun seiring angsuran terhadap harga pokoknya. Dan apabila tidak ada penurunan harga sewa, maka akad musyarakahnya menjadi fasidah (rusak), sedangkan selisih uangnya bisa disebut sebagai riba.

ولا يجوز أيضا قرض نقد أو غيره إن اقترن بشرط رد صحيح عن مكسر أو رد زيادة على القدر المقدر أو رد جيد عن ردئ أو غير ذلك من كل شرط جر نفعا للمقرض ببلد أخر أو رهنه بدين أخر فإن فعل فسد العقد لأن كل قرض جر نفعا فهو ربا

Artinya: "Tidak boleh utang nuqud (emas/perak) atau selainnya jika disertai dengan syarat pengembalian berupa barang bagus serta tidak pecah, atau tambahan takaran tertentu, atau mengembalikan berupa barang bagus dari barang jelek, dan seterusnya, termasuk semua syarat yang memberi manfaat [tambahan] kepada orang yang memberi utang yang berada di negara lain (misal: beda kurs) atau gadai dengan hutang yang lain (agunan), maka jika dilakukan hal semacam ini (oleh muqridl), maka rusaklah akad, karena sesungguhnya setiap utang yang muqridl mengambil manfaat [dari pihak yang dihutangi] adalah sama dengan riba." (Lihat Muhammad bin Salim bin Said Babashil al-Syafi`iy, Is`adu al-Rafiq wa Bughyatu al-Shiddiq, Singapura: Al-Haramain, Tanpa Tahun, Juz: 1/142).

2. Kredit Tanpa Uang Muka (DP 0%)

Berbeda dengan jenis kredit sebelumnya, ada juga pemberian kredit yang menerapkan DP 0% atau dengan kata lain, tanpa DP.

Untuk pembiyaan kredit tanpa DP maka akad kreditnya disebut dengan akad bai` murabahah, yaitu jual beli dengan disertai tambahan keuntungan bagi Lembaga Pembiayaan atau Lembaga Perkreditan.

Ciri praktik akad ini adalah:

● Ketiadaan uang muka (down payment)

● Harga barang ditentukan di muka dan biasanya lebih mahal dari harga pembelian secara kontan

● Cicilan pembayaran memiliki jumlah tetap dari awal hingga akhir waktu angsuran.

● Ada kesepakatan lama angsuran, misalnya diangsur 2 kali selama satu tahun, 3 kali, dan atau bahkan setiap bulan.

Karena besar angsuran yang tetap ini, maka jual beli semacam ini sering diistilahkan dengan bai` taqshith, bai` muajjalan atau bai` bi al-tsamani al-ajil. Masing-masing akad, hukumnya boleh dilakukan, karena masuk kategori akad tabarru` dan ta`awun (sosial).

Apakah KPR Termasuk Riba?

Setelah mencermati uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa bahwa jual beli secara kredit adalah diperbolehkan dalam syariat dengan syarat harga ditentukan di awal.

Pembelian dengan skema KPR adalah tidak mengandung unsur riba manakala mengikuti akad musyarakah muntahiyah bit tamlik atau bai` murabahah.

Bila jual beli disertai dengan adanya DP (Down Payment) sementara besaran angsuran adalah tetap (fixed) selama berlangsungnya masa cicilan kredit/angsuran, maka hal ini menandakan ada unsur riba di dalam akad jual beli tersebut karena dalam musyarakah mutanaqishah mensyaratkan turunnya harga sewa seiring masa angsuran/penebusan kredit.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar