Husni Agus, Komunitas Wartawan Senior-Jawa Barat

Ketika Presiden Jokowi Versus Rakyat Indonesia

Minggu, 17/03/2024 15:31 WIB
Jokowi dan Putra Sulungnya Gibran Rakabuming Raka (Demokrasi)

Jokowi dan Putra Sulungnya Gibran Rakabuming Raka (Demokrasi)

Jakarta, law-justice.co - Mengapa di akhir-akhir masa jabatannya sebagai kepala negara (presiden), Jokowi malah memperlihatkan perilaku “ugal-ugalan” dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara?

Melancarkan emotional war untuk membungkam harapan masyarakat akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik (demokratis).

Sudah bukan rahasia lagi, Jokowi mengaduk-aduk emosi masyarakat dengan berbagai manuver serta keputusan yang tak lazim, kontroversial, melanggar konstitusi dan bahkan disebut-sebut merusak tatanan kehidupan berdemokrasi Indonesia, yang sudah susah payah dibangun setelah 32 tahun pemerintahan otoriter.

Jokowi sedang melawan rakyat Indonesia. Tentu, apa yang dilakukan Jokowi bukan tanpa alasan atau sebatas nekad belaka, begitu berani memposisikan diri berhadapan dengan rakyat Indonesia. Betapa tidak.

Sebagai kepala negara (presiden) yang “ditempatkan” di tampuk kursi kekuasaan oleh para penyokong dana (sebut saja oligarki) serta kepentingan politik asing, Jokowi tentunya harus memenuhi kebutuhan, keinginan, maupun tujuan mereka.

Dan Jokowi merasa belum mampu untuk itu. Ini terlihat dari tiga perilaku (behavior) yang mengindikasikan hal tersebut:

1. Withdrawal (menarik diri)

Di akhir masa jabatannya dan sekaligus untuk melanggengkan kekuasaannya, Jokowi withdrawal dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang telah membesarkannya untuk membangun barisan baru, Partai Koalisi Indonesia Maju yang secara kebetulan atau tidak disingkat jadi PKI Maju.

Langkah ini sebagai pernyataan sikap tidak puas terhadap PDI-P yang tidak mendukung gagasan tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden. Selain itu, sebagai partai nasionalis PDI-P tak ingin ditarik ke jalur kiri, bahkan tetap mempertahankan ideologi Pancasila dan menjaga tatanan demokrasi.

Tidaklah mengherankan bila Jokowi mendorong putranya (Kaesang Pangarep) tampuk sebagai ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang logo partainya serupa dengan logo Partai Komunis Spanyol. Partai ini pula yang mengebu-gebu mengkampanyekan “Jokowisme” serta bermanuver untuk bisa lolos ke parlemen.

Tidak cukup PSI, gosip politik yang beredar menyebutkan Jokowi juga mengincar posisi atas di Partai Golkar, meski belum ada tanda-tanda dibukakan pintu masuk.

2. Aggression (menyerang)

Beberapa tahun terakhir menjelang masa akhir jabatannya, perilaku Jokowi bisa dikatakan kontroversial, nyeleneh, ugal-ugalan, bawa karep sendiri dengan menyerang masyarakat melalui berbagai keputusan maupun tindakan yang menghancurkan tatanan demokrasi.

Menerabas konstitusi, tata aturan hukum, merontokkan etika serta benteng moralitas masyarakat.

Banyak catatan mengenai perilaku agresi Jokowi yang tak perlu dirinci lagi. 3. Rationalization (rasionalisasi). Meminjam pemahaman Van Hooser, mentor leadership asal Australia, rasionalisasi diartikan sebagai upaya menyampaikan kebohongan-kebohongan rasional (rationalize is to tell rational lies).

Nah, bukankah Jokowi tanpa rasa malu telah memproduksi kebohongan demi kebohongan sehingga kemudian secara satire diberi hidung memanjang seperti boneka kayu pinokio?

Dorongan kuat untuk memenuhi kepentingan oligarki dan kepentingan politik asing, membuat Jokowi memposisikan diri sebagai kepala kekuasaan bukan lagi sebagai kepala negara, meski harus berhadapan dengan rakyat Indonesia yang semula diperkirakan tidak akan memberikan perlawanan – mengingat tingkat kepuasan rakyat atas kinerja Jokowi disebut-sebut mencapai 80%.

Rakyat melawan. Berbagai seruan pemakzulan terhadap Jokowi riuh digemakan berbagai elemen masyarakat, memadati halaman-halaman social media dan media berbasis internet lainnya.

Terakhir ini, muncul gagasan hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang erat kaitannya antara Jokowi dengan pelaksanaan Pemilu 2024.

Tinggal menunggu waktu. Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Jokowi atau Rakyat Indonesia? Jika Jokowi menang, maka tamatlah sudah demokrasi Indonesia, dan selamat datang regim baru otoriter di bawah kendali Jokowi serta konco-konconya.

Dan sambil bertepuk dada, Jokowi pun berseru: “Kekuasaan adalah Aku!”

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar