Tak Buka Data Lonjakan Suara PSI di Madiun, Sikap KPU Mencurigakan

Jum'at, 15/03/2024 08:25 WIB
Logo PSI (Dok.PSI)

Logo PSI (Dok.PSI)

Jakarta, law-justice.co - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menyatakan bahwa keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak menyandingkan data dokumen perbedaan perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Kota Madiun dianggap mencurigakan.

"Sangat disayangkan ketidakterbukaan yang dilakukan KPU kepada publik. Hal ini yang juga patut dipertanyakan. Kenapa? Karena dokumen C.hasil itu milik publik," katanya saat dihubungi pada Kamis (14/3/2024).

Dia menganggap sikap KPU yang enggan menyandingkan data antara dokumen D.Hasil dan C.Hasil tempat pemungutan suara (TPS) PSI di Kota Madiun malah memicu dugaan ada hal yang ditutupi.

"Seolah memang KPU juga ada dugaan masuk di permainan penggelembungan suara," ujar Neni.

Menurut Neni, lembaganya banyak menerima terkait dugaan pergeseran suara antarparpol dan dari suara partai ke calon anggota legislatif (Caleg) di internal.

Sebelumnya diberitakan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) keberatan atas tidak dibukanya lonjakan suara PSI yang disebut terjadi di Kecamatan Taman, Kota Madiun, Jawa Timur.

Keberatan itu disampaikan dalam rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional yang merupakan rekapitulasi tahap terakhir di kantor KPU RI, Rabu (13/3/2024).

PKS menyatakan, berdasarkan formulir D.Hasil tingkat Kota Madiun, perolehan suara PSI mencapai 5.920 suara di Kecamatan Taman.

Sementara itu, berdasarkan data formulir C.Hasil TPS yang dihimpun PKS terhadap TPS-TPS se-Kecamatan Taman membuktikan bahwa perolehan PSI hanya 4.285 suara.

Ini artinya, ada lonjakan 1.635 atau 38,15 persen suara dari perolehan suara PSI di Kecamatan Taman, merujuk pada data PKS.

PKS pun meminta agar saat proses rekapitulasi di tingkat kota/kabupaten dan provinsi, dilakukan sanding data D.Hasil dengan C.Hasil TPS untuk menyelidiki lonjakan suara PSI itu. Namun, permintaan itu tak dikabulkan.

Pimpinan KPU RI yang memimpin rapat, Mochamad Afifuddin, justru menegaskan bahwa logika rekapitulasi berjenjang yang diterapkan untuk menetapkan hasil pemilu memang hanya memeriksa ke satu tingkat di bawahnya.

Situasi ini cukup berbeda dengan kebijakan Ketua KPU RI Hasyim Asy`ari kala memimpin rapat pleno rekapitulasi, ambil contoh rekapitulasi penghitungan suara Pileg DPR RI di Sintang, Kalimantan Barat.

Meskipun di tingkat nasional, tetapi ketika ada keberatan saksi PDI-P terhadap suatu kejanggalan perolehan suara di TPS 002 Desa Nanga Tekungai, Kecamatan Serawai, operator diminta menampilkan formulir C.Hasil TPS dari Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk diteliti bersama oleh seluruh peserta rapat rekapitulasi.

Afifuddin kemudian menyampaikan bahwa ada aturan-aturan terkait hal-hal yang bisa dibuka dalam forum-forum pleno rekapitulasi.

Ia pun menyarankan agar PKS membawa masalah ini ke Bawaslu.

"Kalau boleh disarankan dua jalur, seperti yang juga kemarin terjadi, para pihak yang keberatan pada 1 kasus untuk melakukan administrasi cepat di Bawaslu," ucapnya.

"Mekanismenya pokoknya di teman-teman Bawaslu nanti dilakukan prosesnya," tegas Afif.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar