Bacakan Eksepsi di Sidang, SYL Minta Dibebaskan dari Tahanan

Rabu, 13/03/2024 13:33 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Muhammad Hatta usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Jumat (13/10/2023). Syahrul Yasin Limpo merupakan tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dalam jabatan, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan). Robinsar Nainggolan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Muhammad Hatta usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Jumat (13/10/2023). Syahrul Yasin Limpo merupakan tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dalam jabatan, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Terdakwa kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi yang juga merupakan mantan Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo (SYL) meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat membebaskan dirinya dari tahanan.

Hal itu disampaikan SYL melalui tim penasihat hukumnya dalam sidang pembacaan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/3).

"Kami memohon ke hadapan majelis hakim yang mengadili perkara ini kiranya berkenan untuk menjatuhkan putusan sela yang sekaligus pula sebagai putusan akhir, memerintahkan terdakwa Prof. Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH dibebaskan dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan," ujar penasihat hukum SYL, Djamaludin Koedoeboen, saat membacakan eksepsi.

Menurut tim penasihat hukum, surat dakwaan yang disusun jaksa KPK tidak cermat, jelas, lengkap, dan kabur. Oleh karena itu, ia meminta majelis hakim menyatakan surat dakwaan batal demi hukum.

Djamaludin keberatan dengan cara jaksa KPK yang menerapkan dakwaan alternatif terhadap kliennya, yaitu Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Dia menilai seharusnya tindak pidana yang didakwakan adalah tindak pidana khusus sehingga harus berbentuk dakwaan tunggal. Hal itu mengingat perbuatan materiel di antara ketiga dakwaan adalah satu secara substansial.

"Bentuk surat dakwaan yang berbentuk alternatif ini menunjukkan bahwa penuntut umum sendiri ragu terhadap nilai pembuktian yang dimiliki oleh masing-masing tindak pidana tersebut," kata dia.

Djamaludin menganggap tidak terdapat unsur perbuatan melawan hukum sebagai bestandel delichten (delik pokok/delik inti) dalam uraian dakwaan primer jaksa secara cermat dan rinci yang menggambarkan perbuatan terdakwa sebagai syarat mutlak sempurnanya dakwaan dalam dugaan tindak pidana korupsi.

Terlebih, menurut dia, tuduhan terhadap terdakwa tidak ada kaitannya dengan penyalahgunaan kewenangan yang berakibat merugikan keuangan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, baik itu yang bersumber dari proyek APBN maupun penyalahgunaan kewenangan lain.

Djamaludin menyoroti tuduhan jaksa yang menyebut SYL menggunakan uang diduga hasil korupsi untuk charter pesawat dan hal lainnya pada masa pandemi Covid-19.

Dia menjelaskan hal tersebut dalam rangka melaksanakan tugas negara dengan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

"Semua itu sudah ada dalam anggaran dan pengelolaan, serta penggunaannya selalu bersandar pada SOP yang telah ditetapkan. Dengan demikian, maka pengelolaan dan penanggung jawab anggarannya adalah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dari masing-masing Direktur Jenderal atau bagian Kesekjenan yang semestinya bertanggung jawab terhadap tuduhan dimaksud," ucap Djamaludin.

Djamaludin yakin keberatan yang disampaikan akan dipahami jaksa dan majelis hakim sudah memasuki pokok perkara. Namun, ia berpandangan kelengkapan surat dakwaan bukan saja tentang identitas terdakwa, lamanya penahanan dan apakah dalam surat dakwaan tersebut telah tercantum persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

Akan tetapi, lebih daripada itu, kata Djamaludin, apa yang tercantum dalam surat dakwaan adalah suatu fakta yang sebenarnya dan relevan antara satu dengan yang lainnya, sehingga dapat mengarah kepada terdakwa sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa.

"Apabila fakta yang tertuang dalam surat dakwaan tidak mencerminkan fakta hukum, tidak ada korelasi antara satu dan yang lainnya dan tidak mengarah kepada unsur tindak pidana yang ditujukan kepada terdakwa, maka dakwaan tersebut patut untuk dibatalkan atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima," ucap dia.

SYL yang merupakan politikus Partai NasDem didakwa melakukan pemerasan hingga mencapai Rp44.546.079.044 dan menerima gratifikasi dianggap suap sejumlah Rp40.647.444.494 selama periode 2020-2023.

Tindak pidana itu dilakukan SYL bersama-sama dengan dua terdakwa lainnya yaitu Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan Muhammad Hatta.

SYL menggunakan uang diduga hasil pemerasan untuk keperluan istri; keluarga; kado undangan; Partai NasDem; acara keagamaan dan operasional menteri; charter pesawat; bantuan bencana alam atau sembako; keperluan ke luar negeri; umrah; hingga kurban.

SYL didakwa melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf f jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dia juga didakwa melanggar Pasal 12 B jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar