Migrant Care Sebut Pemungutan Suara di Kuala Lumpur Boros Rp15,6 M

Minggu, 10/03/2024 10:08 WIB
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) melaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Gelanggang Remaja Bendungan Hilir, Jakarta, Selasa (20/2/2024). Rekapitulasi suara dilakukan setelah menerima kotak suara dari seluruh TPS. (Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang fokus melakukan akurasi atau sinkronisasi data numerik tampilan publik di laman pemilu2024.kpu.go.id dengan data otentik yang ada dalam foto formulir model C. Robinsar Nainggolan

Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) melaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Gelanggang Remaja Bendungan Hilir, Jakarta, Selasa (20/2/2024). Rekapitulasi suara dilakukan setelah menerima kotak suara dari seluruh TPS. (Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang fokus melakukan akurasi atau sinkronisasi data numerik tampilan publik di laman pemilu2024.kpu.go.id dengan data otentik yang ada dalam foto formulir model C. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Migrant Care menyatakan bahwa pihaknya menemukan adanya pemborosan hingga lebih dari Rp15,6 miliar dalam pemungutan suara Pemilu 2024 untuk pemilih (WNI) yang berada di Kuala Lumpur, Malaysia.

Koordinator Staf Pengelolaan Data dan Publikasi Migran Care, Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan bahwa pemborosan itu berasal dari anggaran yang digunakan untuk pengiriman logisitik surat suara via metode pos.

Setelah adanya pemborosan itu, kata Trisna, pemungutan suara di Kuala Lumpur harus diulang pula. Pasalnya, tujuh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Kuala Lumpur, Malaysia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penambahan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

"Kalau kami lihat, kami meminta data kepada KPU mengenai besaran anggaran pengiriman metode pos, ada sekitar Rp15,6 miliar anggaran dalam pengiriman surat suara pada metode pos digunakan," kata Trisna dalam konferensi pers pada Sabtu (9/3).

"Namun berujung pada PSU dikarenakan pelanggaran yang dilakukan oleh negara," imbuhnya.

Dengan adanya temuan ini, Trisna menyebut Migrant Care juga akan memantau potensi pemborosan dalam pemungutan suara di PPLN lain.

"Karena kami ingin membuktikan secara data bahwa memang ada pemborosan anggaran yang cukup besar yang dilakukan dalam metode pos," ujarnya.

Trisna mengatakan temuan Migran Care lainnya adalah sosialisasi Pemilu dilakukan serampangan oleh penyelenggara pemilu.

Bahkan, untuk PSU di Kuala Lumpur yang akan digelar besok pun juga dilakukan serampangan. Trisna mengatakan pemasangan perangkat persiapan PSU masih mencapai 60 sampai 70 persen.

"Bahkan kami sempat berbincang pada salah satu vendor yang memasang pekerja-pekerja di situ yang memasang, ketika ditanyakan vendor ini dipesan mulai kapan. Beliau mengatakan bahwa baru kemarin malam ini memang saat kebut-kebutanan untuk melakukan persiapan," jelasnya.

Sebelumnya, pada pemungutan suara Februari lalu, KPU mencatat WNI di Kuala Lumpur yang harusnya menggunakan metode pos untuk mencoblos sebesar 156.367 orang. Namun, dari angka itu, hanya 23.360 orang yang menggunakan hak pilihnya.

Bawaslu merekomendasikan pemungutan suara di Kuala Lumpur harus diulang menggunakan data yang telah dimutakhirkan.

Sementara itu, Bareskrim Polri menetapkan total tujuh PPLN di Kuala Lumpur, Malaysia, sebagai tersangka kasus dugaan penambahan DPT.

Dari hasil gelar perkara pada Rabu (28/2), Djuhandani memastikan terdapat unsur pidana pelanggaran Pemilu berupa penambahan dan pemalsuan data yang dilakukan oleh tujuh PPLN Kuala Lumpur.

Dia mengatakan dugaan penambahan dan pemalsuan data tersebut terjadi setelah KPU mengeluarkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebanyak 493.856 suara untuk wilayah Kuala Lumpur.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar