Institusi Asing Ramal Nasib Ekonomi Indonesia Jika Prabowo Presiden

Sabtu, 02/03/2024 15:19 WIB
Ilustrasi Pengelolaan Ekonomi Indonesia di Era Presiden Baru (Ist)

Ilustrasi Pengelolaan Ekonomi Indonesia di Era Presiden Baru (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Beberapa lembaga ekonomi independen asing yang menganalisis dan memberikan pandangan mereka mengenai kondisi ekonomi Indonesia jika Prabowo Subianto menjadi presiden. Salah satunya adalah perusahaan pemeringkat kredit dari Amerika, Fitch Rating.

"Jelas kebijakan ekonomi Indonesia kemungkinan besar tidak akan berubah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto," kata Fitch dalam rilis `Indonesia Election Outcome Points to Broad Economic Policy Continuity` yang dimuat melalui websitenya dikutip pekan lalu.

"Walau ketidakpastian seputar kebijakan fiskal jangka menengah telah meningkat," tegasnya. Meski demikian Fitch menyebut terlalu dini melihat bagaimana perekonomian ke depan saat ini. Ditambahkan lebih banyak kejelasan mengenai kebijakan fiskal pemerintahan berikutnya akan di dapat setelah Prabowo mulai menjabat pada Oktober 2024. 

"Kami sudah mengantisipasi bahwa Prabowo akan tetap fokus pada pembangunan infrastruktur, termasuk pembangunan ibu kota baru, dan mempertahankan upaya pemerintah saat ini untuk mendukung hilirisasi komoditas dan memperluas manufaktur baterai dan kendaraan listrik," tutur lembaga dunia tersebut.

Fitch sudah memperkirakan pertumbuhan PDB riil Indonesia akan tetap sekitar atau sedikit di atas 5% pada tahun ini dan tahun depan, yang akan sejalan dengan kondisi sebelum pandemi. Di sisi lain, Fitch memperkirakan kebijakan moneter dan fiskal akan tetap mendukung stabilitas makroekonomi RI, setidaknya selama sisa tahun ini.

Fitch yakin risiko fiskal jangka menengah telah meningkat, mengingat beberapa janji kampanye Prabowo, termasuk program makan siang dan susu gratis di sekolah yang dapat menghabiskan biaya sekitar 2% PDB setiap tahunnya," lanjutnya.

"Adanya pernyataan Prabowo bahwa Indonesia dapat mempertahankan rasio utang pemerintah/PDB yang jauh lebih tinggi juga menunjukkan adanya risiko terhadap proyeksi fiskal dasar kami. Namun, ia juga menyerukan agar Indonesia meningkatkan tingkat pendapatan pemerintah terhadap PDB secara signifikan," tandasnya.

Sementara itu menurut laporan mingguan Pratinjau Ekonomi Asia Pasifik Moody`s Analytics, yang dirilis untuk 19-23 Februari 2024, juga menyoroti kemenangan Prabowo. Disebutkan bagaimana Parbowo kemungkinan besar memang akan menjadi Presiden RI.

"Memang hasil resmi baru akan diumumkan pada Maret, namun pada penghitungan cepat yang tidak resmi memberi suara mayoritas kepada Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden. Artinya, tidak diperlukan pemungutan suara putaran kedua," catat laporan Moody`s Analytics.

"Susunan pasti majelis rendah belum diketahui secara pasti, namun kami memperkirakan Partai Gerinda yang mengusung Prabowo akan menjadi bagian dari pemerintahan koalisi," tambahnya.

Sementara dari sisi ekonomi negara, Moody`s Analytics menyebutkan prediksi yang sama dengan Fitch Rating. Kebijakan populer Jokowi akan diteruskan. Dari segi kebijakan ekonomi, mantan jenderal yang telah menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya ini mengindikasikan bahwa ia akan tetap berpegang pada kebijakan presiden populer yang akan segera habis masa jabatannya, Joko Widodo," tulis laporan itu.

Soal Sri Mulyani

Sebelumnya, media asal Singapura, Channel News Asia (CNA), memuat analisis berjudul `Commentary: With Prabowo poised to be next Indonesia president, his challenge is to ensure Cabinet continuity`. Laman tersebut mengutip opini pakar Andree Surianta, penerima gelar PhD Australia Awards di Crawford School of Public Policy, Australian National University, yang pertama kali dimuat Lowy Institute, The Interpreter.

Analisis tersebut juga menyinggung ekonomi RI. Diungkap janji Prabowo untuk melanjutkan gaya koalisi besar dan program infrastruktur besar yang diusung Jokowi, termasuk peningkatan belanja pertahanan dan bantuan sosial.

Disebut potensi bagaimana utang mungkin bisa bertambah. Disinggung juga bagaimana bila Menteri Keuangan saat ini, Sri Mulyani, yang mungkin tak lagi menjabat padahal menjadi salah satu andalan pemerintah Jokowi.

"Koalisi besar biasanya berarti menawarkan jabatan menteri sebagai imbalan atas kesetiaan partai. Namun, strategi pendapatannya masih belum jelas, sehingga pendanaan program-program ini kemungkinan besar memerlukan lebih banyak utang pemerintah," bunyi analisisnya.

Potensi pelonggaran disiplin utang publik memicu kekhawatiran investor, mengingat Indonesia telah dipuji atas pengelolaan fiskal yang bijaksana di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan saat ini Sri Mulyani Indrawati," tambahnya.

"Kepergiannya (Sri Mulyani) diperkirakan akan memperparah kekhawatiran ini dan menghadirkan tantangan besar pertama bagi upaya Prabowo untuk mempertahankan kepemimpinannya," paparnya lagi merujuk kemungkinan bahwa Sri Mulyani tak lagi di kabinet baru Prabowo nanti.

Sebagaimana diketahui di masa kampanye pilpres terdapat sejumlah spekulasi tentang pengunduran diri menteri. Menteri Keuangan Sri Mulyani dikabarkan termasuk di antara mereka yang berpotensi mundur, selain Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

"Sri Mulyani menjabat di bawah dua presiden dan memenangkan penghargaan internasional karena berhasil membawa Indonesia melewati berbagai krisis ekonomi," muatnya lagi.

"Basuki Hadimuljono telah hadir sejak masa jabatan pertama Jokowi dan merupakan tokoh kunci dalam penyediaan infrastruktur, terutama upaya besar-besaran untuk membangun ibu kota negara yang baru. Retno Marsudi juga terdaftar pada tahun 2014 dan sejak itu terbukti menjadi diplomat terampil yang mampu mencegah KTT G20 yang kacau di tengah meningkatnya ketegangan di Eropa," lanjutnya sambil menyebut dua nama menteri lain.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar