DR Esther Sri Astuti – Direktur Eksekutif INDEF

Krisis Beras Bisa Picu Krisis Ekonomi, Presiden Bisa Apa?

Kamis, 29/02/2024 13:50 WIB
Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef).

Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef).

Jakarta, law-justice.co - Belakangan, pemandangan orang antre untuk membeli beras kerap hadir di pemberitaan dan media sosial. Selain harga yang meroket, pasokan beras di sejumlah sentra niaga pun minim. Krisis beras ini jika tidak segera ditangani dengan cepat dan baik bisa memicu krisis ekonomi.

Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan beras merupakan kebutuhan pokok rakyat Indonesia dan rakyat Indonesia juga sangat bergantung pada beras. “Kenaikan harga beras, berelasi langsung terhadap inflasi,” ujar Esther kepada Law-justice, Rabu (28/2/2024).

Dia juga menekankan, kenaikan harga beras akan mengerek kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lain. Hal inilah yang akna menjadi pendorong kenaikan inflasi. Sebagai barang pokok primer, beras tergolong komoditas inelastis. Berapapun kenaikan harga beras, masyarakat pasti akan membelinya.

Akademisi Universitas Diponegoro ini menegaskan, jika pemerintah tidak segera bergerak menekan harga beras dan menambah pasokannya, krisis beras ini akan memicu krisis ekonomi. “Jangan lupa, kita memasuki masa puasa dan lebaran. Tanpa ada krisis beras pun, di masa ini inflasi bakal melambung. Apalagi ini ditambah lagi dengan beras yang langka dan harganya mahal,” ujarnya.

Esther menilai, satu-satunya cara untuk menekan harga beras adalah membanjiri pasar dengan stok beras. “Pemerintah harus bisa membanjiri pasar dengan stok beras yang berlimpah. Cuma itu saja cara agar harga beras bisa turun,” ujarnya.

Namun, dia melihat hal tersebut pun bukanlah hal yang mudah. Meskipun pemerintah telah melakukan impor beras namun dia memprediksi besaran beras impor yang akan masuk bulan Maret ini masih belum bisa mengimbangi permintaan. “Masih terdapat supply gap meskipun beras impor bakal masuk. Sebab, jumlahnya masih di bawah kebutuhan. Pemerintah mesti mencari alteratif,” tandas penyandang gelar Doktor Ekonomi dari Maastricht University Belanda.

Dia menilai, faktor lain yang bakal menyulitkan pemulihan krisis beras ini adalah pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dia anggap sudah tidak efektif lagi pasca Pemilu 2024. Dia menilai, kerja kabinet Jokowi sudah terpecah konsentrasinya selama Pemilu “Sebab kan kita lihat, ada yang posisi politiknya berbeda, malah ada juga yang sibuk pencalegan. Jadi sudah susah untuk fokus melanjutkan sisa 6 bulan masa pemerintahan,” ujarnya.

Jokowi sendiri, menurutnya, justu sudah mulai sibuk untuk memikirkan estafet kepemimpinan. Dia memberikan contoh rapat kabinet yang justru membahas masalah program makan siang gratis. Padahal, program tersebut bukan program APBN, sebaliknya ini merupkan program ada Paslon Capres-Cawapres 02.

Selain itu, Esther juga mengkritik strategi pangan nasional yang dicanangkan pemerintahan Jokowi. Dia menilai pemerintah hanya fokus pada ketahanan pangan bukan kedaulatan pangan. Artinya kalo ketahanan pangan, tidak penting pemenuhan pangan dari impor atau bukan. Tetapi kalo kedaulatan pangan harus produksi dalam negeri.

Tak heran jika kemudian, pemerintah sangat ringan untuk melakukan impor pangan terutama beras. “Salah satu alasannya, kalau meningkatkan produksi beras dalam negeri langkahnya panjang, harus membenahi problem struktur seperti sarana prasarana pertanian, pupuk juga harus dijamin tidak langka dan tidak mahal, pembibitan unggul harus dijaga. Intinya lebih panjanglah, jadi mereka (pemerintah) cari gampangnya aja, melalui impor itu" tuturnya.

Esther menjelaskan beberapa negara maju di dunia concern terhadap pangan mereka sendiri. "Di Jepang, Tiongkok, mereka masih memikirkan pertanian. Juga Belanda yang saya tahu sendiri karena 5 tahun hidup di sana, Jerman gitu, masih mementingkan pangan, mereka hanya impor yang mereka tidak bisa produksi misal singkong, kopi, mereka tidak bisa tanam di sana," tuturnya.

Padahal, pemerintah semestinya aware jika krisis beras ini bisa memicu krisi ekonomi. Insiden ini bakal bersinggungan dengan krisis politik yang mulai memanas pasca Pemilu. “Dalam sejumlah kasus, krisis ekonomi dan krisi politik ini akan saling beririsan. Kejadian yang paling ekstrim tentu saja krisis politik dan ekonomi 1997-1998,” tandasnya.

Meskipun menurutnya belum ada penelitian resmi tetang kemiripan ini, namun dia menunjuk sejumlah kesamaan, seperti adanya pemilu dan krisis pangan ini. Dia mengatakan, jika krisis beras tidak segera diselesaikan dan bersinggungan dengan masa puasa dan lebaran. Hal ini akan bersambut dengan krisis politik yang mulai terbangun akibat polemik hasil Pemilu. “Pemerintah harus belajar dari peristiwa lalu. Harus bisa mencegah al ini (krisis ekonomi dan politik) terhadi,” pungkasnya.

(Bandot DM\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar