Kritik Impor Beras RI, Sejumlah Ekonom Sebut `Gaya Orba` & Serampangan

Rabu, 28/02/2024 08:48 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi menteri Kabinet Indonesia Maju berkunjung ke Lapangan Sepak Bola Klumpit Tingkir, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (22/1/2024) untuk mengecek bansos atau bantuan pangan. (BPMI Setpres)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi menteri Kabinet Indonesia Maju berkunjung ke Lapangan Sepak Bola Klumpit Tingkir, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (22/1/2024) untuk mengecek bansos atau bantuan pangan. (BPMI Setpres)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah Pakar Ekonomi melontarkan kritikan soal kebijakan impor beras ala Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai serampangan, bahkan `bergaya` Orde Baru (Orba).

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Eliza Mardian mempertanyakan justifikasi impor beras yang dilakukan pemerintah. Ia lantas membedah data perberasan pada 2023 lalu.

Meski dilanda El Nino, Eliza mengatakan produksi beras Indonesia sebenarnya hanya turun 650 ribu ton menjadi 30,9 juta ton. Sedangkan konsumsi sepanjang 2023 hanya 30,8 juta ton alias masih surplus tipis 100 ribu ton.

"Tapi kita lihat impornya (2023) sampai 3 juta ton, berarti artinya ini impornya gak sesuai dengan kebutuhan atau berbasis data. Ini yang perlu kita kritisi, jika tujuan impor itu untuk menutup produksi dalam negeri yang gak cukup, harusnya seimbang antara penurunan dengan impornya, tetapi ini impornya sangat-sangat tinggi bahkan tingginya hampir setara krisis waktu Orde Baru," ucapnya dalam diskusi virtual Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Selasa (27/2).

Impor beras pada zaman keruntuhan Orba mencapai 2,79 ton pada 1998 dan bengkak ke 3 juta ton pada 1999.

Eliza curiga adanya permainan beras yang dipegang swasta. Menurutnya, lonjakan harga beras tidak hanya imbas pola kenaikan di setiap awal tahun.

Dia juga menyoroti tingginya permintaan beras, terlebih Indonesia baru saja menjalani pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang akan dilanjutkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada September mendatang. Di lain sisi, Ramadan dan Idulfitri 2024 sudah menanti.

"Jadi, selain karena pattern tahunan tadi, ada juga persoalan lain yang membuat semakin kisruhnya persoalan beras. Ini yang paling mendasar adalah persoalan ketiadaan data yang valid dan realtime di rantai pasok," ucap Eliza.

"Kita hanya bisa menelusuri beras yang ada di pemerintah, itu cuma 10 persen. Sedangkan 90 persen beras yang dikuasai swasta tidak bisa ditelusuri, berasnya ada berapa di penggilingan itu tidak bisa kita tracking. Dan karena itulah membuat seolah-olah langka segala macam karena kita tidak bisa menelusuri di mana sih beras itu ada," tambahnya.

Bahkan, Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University, Dwi Andreas Santosa menyebut impor beras di rezim Jokowi memecahkan rekor dalam 25 tahun terakhir.

Dia menegaskan rekor tersebut akan kembali pecah di akhir kepemimpinan Jokowi jika seluruh impor beras di 2024 ini terlaksana.

"Kalau 2024 ini dilaksanakan semua, maka 2024 mencetak rekor baru impor beras, karena keputusan impor 2024 diambil di Desember 2023 sebesar 2 juta ton, dua hari lalu pemerintah memutuskan lagi tambahan impor 1,6 juta ton. Sehingga 2024 beras impor pemerintah 3,6 juta ton. Kalau ditambah swasta biasanya sekitar 300 ribu ton-400 ribu ton, sehingga akan mendekati 4 juta ton di 2024. Ini sudah barang tentu ini akan sangat berdampak buruk pada sedulur petani kita," jelas Andreas.

"Impor 2023 diputuskan dengan asumsi kita akan mengalami penurunan produksi sangat tajam akibat El Nino, itu alasan yang sering disampaikan. Untuk itu, ini saya sebut keputusan impor serampangan karena tanpa data, dasar, dan perhitungan. Dan itu diulang kembali di 2024. Tahunnya belum ada, di akhir 2023 pemerintah sudah memutuskan impor 2024 sebesar 2 juta ton," sambungnya.

Padahal, Andreas memperkirakan produksi padi tahun ini akan mengalami peningkatan karena sudah tak ada El Nino. Meski panen raya bergeser, produksi padi tahun ini diperkirakan naik 2 persen hingga 3 persen menjadi 31,5 juta ton-31,8 juta ton.

Dia pun melihat bahwa pemerintah hanya berkelit dengan mencari alasan mengapa banjir impor kudu dilakukan. Andreas dan Eliza kompak mengatakan ada narasi defisit beras yang digaungkan Jokowi Cs sehingga membuat masyarakat awam panik.

Andreas mengatakan cara pemerintah berkelit adalah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait defisit produksi beras bulanan di Januari 2024-Februari 2024. Padahal, cara menghitung stok beras tidak seharusnya seperti itu.

"Memang betul terjadi defisit di Januari 1,63 juta ton, Februari 1,15 juta ton, hampir 2,8 juta ton, itu terus menerus disampaikan. Masyarakat awam panik, `wah ini memang betul-betul defisit beras Republik Indonesia ini` sehingga rakyat panik, kemudian ritel modern kosong, itu menyebabkan panic buying," jelas Andreas.

"Padahal, stok awal beras kalau perhitungan saya 6,1 juta ton di awal 2024. Sehingga pemerintah seharusnya menyampaikan bahwa Januari 2024-Februari 2024 surplus 3,9 juta ton, tapi kalau itu yang disampaikan, lalu dari mana justifikasi impor?" sindirnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar