Nawaitu Redaksi

Para Pihak yang Sedang Digiring ke "Ladang Pembantaian"

Minggu, 25/02/2024 14:39 WIB
Aksi Demo Menolak Pemilu Curang (Duta.co)

Aksi Demo Menolak Pemilu Curang (Duta.co)

Jakarta, law-justice.co -  

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang belum mengumumkan secara resmi siapa pemenang pemilu presiden (Pilpres)yang telah digelar tanggal 14 pebruari 2024 yang lalu. Namun ada pasangan calon presiden (Capres) tertentu yang sudah mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan hitungan quick qount yang belakangan diragukan kebenarannya sehingga dihentikan penayangannya.

Sementara masyarakat dihantui rasa cemas menunggu siapa sebenarnya pemenang pilpres 2024, narasi pemilu curang menyeruak kemana mana. Narasi pemilu curang itu tidak hanya di suarakan oleh para pendukung pasangan nomor satu dan nomor tiga saja tetapi juga oleh para akademisi, aktifis, tokoh tokoh organisasi kemasyararakatan, tokoh agama  dan elemen masyarkat lainnya.

Kini, meskipun gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 baru dapat diajukan setelah KPU mengumumkan penetapan hasil perhitungan suara secara nasional, namun satu pekan setelah pemungutan suara, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Prabowo-Mahfud MD telah bersiap siap untuk memperkarakannya.

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud memberikan sinyal bakal mengajukan sengketa perselisihan hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).Menurut Deputi TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, pihaknya mengajukan sengketa pilpres ke MK adalah satu-satunya jalan untuk memastikan pemilu berjalan bersih, transparan, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan yang ada.

Langkah yang sama juga akan dilakukan oleh kubu Anies-Muhaimin yang berencana mengajukan tuduhan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif yang dilakukan oleh pasangan nomor urut dua. Ini seperti dikatakan Ari Yusuf Amir, anggota tim hukum paslon tersebut dalam sebuah rilisnya.

Belajar dari pengalaman Pilpres sebelumnya, pasangan capres -cawapres yang kalah memang hampir selalu mengajukan gugatan ke MK meskipun berakhir dengan kecewa. Sejauh ini belum ada pasangan capres-cawapres yang menggugat untuk mencari keadilan kemudian di kabulkan oleh MK.

Mengapa capres-cawapres yang mengajukan gugatan ke MK di tahun 2019 yang lalu  itu gagal mencapai tujuannya ?. Bagaimana supaya gugatan yang diajukan oleh pasangan capres dan cawapres itu nantinya bisa dikabulkan tuntutannya oleh MK ?. Apakah fenomena pemilu curang yang terjadi saat ini memang sengaja di ambangkan penyelesaiannya agar pasangan nomor urut satu dan dua terdorong menyelesaikanya di MK, pada hal disanalah momentum bagi penguasa untuk “menghabisinya” ?.

Belajar dari Gugatan Sebelumnya

Soal capres cawapres yang dinyatakan kalah kemudian menggugat ke MK sudah terjadi sebelumnya.Pada Pilpres 2004, pasangan Wiranto-Gus Sholah mengajukan gugatan ke MK setelah dinyatakan tidak lolos ke putaran kedua. Mereka meminta MK membatalkan penetapan hasil penghitungan suara yang dilakukan KPU sebelumnya. Keduanya juga menuntut penghitungan suara ulang karena dinilai penghitungan yang dilakukan oleh KPU telah merugikan kubunya. Tetapi MK ternyata tidak mengabulkan gugatannya.

Pada tahun Pilpres 2009, ada dua paslon mengajukan gugatan ke MK, yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto. Tuduhan yang diajukan mereka berkaitan dengan Daftar Pemilih Tetap yang dinilai mengada ada. MK pada putusannya menyatakan tudingan tersebut tidak terbukti adanya.

Selanjutnya pada  Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo menjadi calon presiden yang mengajukan gugatan ke MK. Pada 2014 dia berpasangan dengan Hatta Rajasa, sementara pada 2019 dia berduet dengan Sandiga Uno.Pada gugatan ke MK tahun 2014, Prabowo-Hatta menuding terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif tetapi lagi lagi MK menolak untuk mengabulkan gugatannya. Pada Pilpres 2019, dalil yang serupa diajukan kembali oleh Prabowo—yang juga ditolak oleh MK.

Dalam gugatan yang diajukan oleh kubu Prabowo-Sandiaga di tahun 2019 itu setidaknya, terdapat 16 tuntutan yang dilayangkan kubu Prabowo untuk melawan kecurangan pemilu yang diduga dilakukan Tim Kampanye Nasional (TKN) dari calon terpilih Joko “Jokowi” Widodo dan pasangannya Ma`ruf Amin.

Pada sidang gugatan saat itu, kuasa hukum Prabowo lebih banyak menggunakan dalil ataupun argumen serupa yang telah terbukti ditolak MK pada 2014 yang lalu. Selain itu kuasa hukum Prabowo gagal memberikan bukti-bukti kuat yang sudah diminta pada sidang tahun 2014 sehingga menjadi alasan mengapa kemudian gugatannya juga ditolak MK.

Pada gugatan di pilpres 2019 yang lalu Kubu Prabowo menuduh ada manipulasi suara.Mereka mengklaim telah menemukan Tempat Pemungutan Suara (TPS) siluman di seluruh Indonesia dan ditemukan indikasi manipulatif daftar pemilih tanpa memberikan bukti pendukungnya. Namun ternyata kubu Prabowo saat itu gagal menguraikan dengan jelas dan rinci pada tingkat mana dan di mana terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang berakibat berkurangnya perolehan suara Prabowo dan bertambahnya perolehan suara Jokowi yang menjadi lawannya.

Kubu Prabowo di gugatan 2019 itu  juga mendalilkan adanya kecurangan karena perolehan suaranya di beberapa TPS menunjukkan angka 0. Menurut tim kuasa hukum Prabowo, hal ini dipandang mustahil dan membuktikan telah terjadi kecurangan terhadap kubunya.

Tetapi tuduhan ini dipatahkan oleh MK karena adanya perolehan 100% untuk satu peserta pemilihan umum dan perolehan 0 suara bagi peserta yang lain di TPS-TPS tertentu dianggap sebagai hal yang wajar wajar saja. Menurut majelis hakim MK, hal ini umum terjadi di daerah tertentu yang memiliki ikatan sosial kemasyarakatan adat yang kuat seperti di beberapa kabupaten di Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Maluku, Papua dan Maluku Utara.

Dalam gugatannya, kubu Prabowo saat itu juga menduga adanya mobilisasi beberapa kepala daerah untuk kepentingan pilpres pasangan yang menjadi lawannya. Tetapi menurut hakim MK, keterlibatan kepala daerah secara pribadi dan sebagai kader partai tidaklah dilarang untuk membantu memenangkan salah satu calon yang didukungnya.

Dalam Pasal 281 Ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tahun 2017, kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, gubenur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepanjang memenuhi beberapa ketentuan, seperti tidak menggunakan fasilitas negara dan tidak dilakukan dalam jam kerja. Untuk itu hakim kembali menolak dalil tersebut dengan alasan permasalahan tersebut sudah ditindaklanjuti oleh pihak berwenang lainnya, yaitu Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu).

Selanjutnya oleh kubu Prabowo, kubu Jokowi juga dituding telah melakukan berbagai tindakan pembelian suara. Kubu Prabowo menuduh Jokowi membeli suara pegawai negeri dengan menaikkan gaji mereka dan membayar Tunjangan Hari Raya (THR) lebih awal sebelum masa coblosan tiba. Namun dalam kaitan ini kubu Prabowo dinilai hakim MK gagal membuktikan bahwa terjadinya politik uang tersebut akan mempengaruhi pilihan pemilih dan signifikan terhadap perolehan suara.

Saat itu, dalil politik uang tim kuasa hukum Prabowo dinilai tidak berdasar dan tidak dibuktikan oleh kesaksian saksi yang diajukan, serta tidak disertai alat bukti lain yang memadai untuk menguatkan tuduhannya.

Atas kekalahan kubu Prabowo di MK ini  Ketua tim kuasa hukum Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma`ruf Amin saat itu yaitu  Prof Yusril Ihza Mahendra, menyebut setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebabnya

Pertama, tim kuasa hukum mereka tak bisa membuktikan adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Menurut Yusril, untuk membuktikan hal ini, salah satu ketentuannya minimal harus terbukti dilakukan di separuh jumlah provinsi yang ada

Kedua, dalam persidangan MK hakim menilai alat bukti yang diajukan kubu Prabowo-Sandiaga tidak lengkap dan berantakan datanya. Dokumen-dokumen disusun tidak secara sistematis, tak ada penjelasan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Ketiga, para saksi yang dihadirkan tim hukum Prabowo yang diketuai Bambang Widjajanto juga dinilai tak maksimal untuk memperkuat gugatannya.Yusril mencontohkan saksi Rahmadsyah dari Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Dia hadir hadir ke Jakarta dengan tidak sah karena berstatus tahanan kota. Kesaksiannya pun sulit dijadikan sebagai bukti bahwa ada kecurangan yang dilakukan kandidat petahana. Sebab, Rahmadsyah tidak menyaksikan langsung, tapi cuma mengaku melihat video di YouTube yang berisi seorang polisi mengajak warga memilih pasangan petahana.

Dari penjabaran di atas, jika nantinya tim hukum paslon nomor urut satu  dan tiga menghadirkan kembali materi gugatan yang kurang lebih sama dengan yang ditampilkan oleh tim hukum Prabowo di Pilpres 2019 maka sangat mungkin akan mengalami nasib yang sama yaitu kandas di tangan hakim MK.

Modifikasi Materi Gugatan

Seperti diberitakan oleh media, kubu Ganjar dan Anies saat ini telah bersiap untuk mengajukan ke MK selain cara lain untuk mencari solusi atas kecurangan pemilu 2024 yang baru selesai pelaksanannya. Kabarnya kubu paslon nomor urut satu  dan tiga telah meminta Pemilu 2024 diulang pelaksanaannya.

Pada sisi lain kubu Prabowo-Gibran yang telah memberikan kuasa hukum kepada  Yusril Ihza Mahendra telah bersiap untuk menyambutnya. "Dari wacana yang berkembang, kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin nampaknya akan meminta agar MK membatalkan hasil Pilpres 2024 dengan mendalilkan adanya pelanggaran TSM (terstruktur, sistematik, dan masif) dan meminta Pemilu 2024 ulang," seperti dikutip media Senin (19/2/2024).

Adapun kemungkinan materi gugatan yang akan diajukan oleh paslon nomor urut satu dan tiga diantaranya adalah adanya cawe cawe presiden Jokowi yang pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan pilpres 2024 yang berujung pada banyak kecurangan yang terjadi didalamnya.

Kecurangan tersebut terjadi bukan hanya saat pencoblosan saja tetapi juga sebelum dan sesudahnya. Adapun kecurangan yang terjadi sebelum coblosan diantaranya adalah:

  • Jokowi mengkondisikan capres dan cawapres, termasuk berkonspirasi dengan iparnya di MK untuk meloloskan Gibran anaknya menjadi cawapresnya Prabowo yang didukungnya
  • “Menyandera” para ketum Parpol dengan kasus hukum yang menjeratnya dimana hal ini dilakukan bukan saja untuk mendukung paslon nomor urut dua, tapi juga untuk “mengacak-acak” kesolidan paslon nomor urut satu dan tiga  yang menjadi pesaingnya
  • Memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mendukung paslon nomor urut dua, sebagaimana yang diungkap oleh Aiman Witjaksono dan majalah Tempo dalam sebuah pemberitaannya
  • Memerintahkan para menteri untuk mendukung dan mengerahkan bawahannya untuk mendukung paslon nomor urut dua, sebagaimana yang diungkap oleh Tempo dan media lainnya
  • Merubah Undang-undang tentang Pilkada serentak sehingga terjadi kevakuman Kepala Daerah di Seluruh Indonesia mulai dari 2-2 1/2 tahun yang akhirnya harus ditunjuk Plt yang berasal dari orang-orang istana sehingga menjadi bias orientasi politiknya untuk mendukung pemengangan pasangan nomor urut dua
  • Memobilisasi para kepala daerah, kepala Desa  dan ASN untuk mendukung dan mengerahkan bawahannya untuk mendukung paslon nomor urut dua
  • Mengendalikan Ketua KPU, Bawaslu, dan MK agar mengikuti arahannya
  • Membeli dan mengarahkan  lembaga-lembaga survey untuk membuat skenario kemenangan paslon nomor urut dua agar bisa menang satu putaran dengan cara menipu, memanipulasi, dan mencuri suara pemilih, sebagaimana yang diungkap Faizal Assegaf dalam sebuah pernyataannya
  • Menggelontorkan bansos yang luar biasa besarnya  melebihi pengalokasian bansos dimasa covid dimana penyaluran bansos itu diduga keras untuk mempengaruhi pilihan  masyarakat agar menjatuhkan pilihannya ke pasangan nomor urut dua yang di dukung oleh penguasa
  • Menyuap dan mengintimidasi para ulama, habaib, tokoh masyarakat, ketua relawan nomor urut satu, para broker dengan tujuan agar mereka “tiarap” untuk tidak lagi membela paslon yang didukungnya.

Selain terjadi pada saat sebelum coblosan, pada saat coblosan juga terjadi berbagai kecurangan dimana diantaranya adalah :

  1. Form C1 sudah tercoblos paslon nomor urut dua. Dalam hal ini walaupun pihak KPU sudah menghimbau untuk dilakukan pengecekan kertas suara, tapi pada prakteknya tidak mungkin bisa dimonitor semuanya apalagi jika dari kubu paslon nomor urut dua memang sudah dengan sengaja melakukan kecurangan, maka akan selalu  ada celah untuk melakukan kecurangan yang menguntungkan kubunya
  2. Panitia penyelenggara pemilu menjadi pelaku kecurangan dengan mencoblos form c1 yang tidak terpakai atau suara sisa sehingga menuntungkan paslon nomor urut dua yang didukungnya
  3. Adanya intimidasi dari aparat di lapangan terhadap pemilih, terutama dari aparat desa yang sejak sebelum pencoblosan telah dicurigai berpihak pada paslon nomor urut dua
  4. Panitia tidak menyebarkan undangan pencoblosan kepada warganya terutama setelah diketahui warga tersebut tidak bakal mencoblos paslon nomor urut dua seperti yang terjadi di beberapa desa di madura.
  5. Adanya pihak tertentu yang mencoblos secara berulang-ulang paslon nomor urut dua untuk menggelembungkan suara paslon yang didukungnya
  6. Adanya pemilih siluman yang tidak jelas identitasnya sengaja diberikan kesempatan untuk memberikan suaranya bekerjasama dengan penyelenggara
  7. Adanya penggelembungan suara di berapa TPS tertentu dengan nilai angka yang sangat signifikan melebih suara pemilih di satu TPS sehingga mengungtungkan paslon yang di gelembungkan suaranya

Bukan hanya sebelum dan saat pemilu saja, kecurangan juga diduga terjadi pasca coblosan tanggal 14 pebruari 2024. Beberapa dugaan bentuk kecurangan itu diantaranya adalah dengan membayar dan mengkondisika lembaga lembaga survey agar bersedia membuat quick count yang sesuai dengan kepentingan pihak yang membayarnya.

Adapun adanya indikator upaya untuk memperalat lembaga lembaga survey itu diantaranya adalah munculnya penayangan quick count pada tanggal 14 Februari tapi tertera tanggal 13 Februari 2024. Selain itu paslon nomor urut dua ketika di hari Sabtu, 10 February konon sudah mengajak Dr. Syahganda Nainggolan untuk ikut dalam deklarasi kemenangan paslon nomor urut dua di istora Senayan tanggal 14 Februari jam 16.00. Bahkan Prabowo dan Gibran berulang ulang mengatakan kita akan menang satu putaran saja. Jadi kecurangan memang sudah disengaja dan kemenangan curang memang sudah didesain sedemikian rupa

Lembaga-lembaga survey, termasuk ,Litbang Kompas diduga adalah bagian dari kecurangan secara TSM karena sudah berani menyatakan kalau paslon nomor urut dua menang 1 putaran melalui quick count, padahal penghitungan real count belum selesai dan pemilu penuh kecurangan belum diumumkan hasilnya secara resmi oleh KPU

KPU yang sedari awal tidak transparan dalam pengolahan data menjadikan KPU bisa berbuat sewenang-wenang sesuai kehendaknya.  Diperkirakan ada sebanyak 54 Juta DPT yang diduga masih bermasalah, dan janggal keberadaannya.  Dimana salinan DPT tersebut tidak dilengkapi dengan data informasi kependudukan yang lengkap dari semua pemilih, berdasarkan E KTP, dan atau KK (Kartu Keluarga) NIK tidak lengkap, tidak ada tempat tanggal lahir dan tidak alamat yang lengkap berdasarkan data di E KTP.

Belum lagi keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang pengecut tidak berbuat apa pun yang memadai, apalagi “menghukum” paslon nomor urut dua yang oleh keputusan MKMK dinyatakan melanggar etika. Sebagai lembaga pengawas beraninya cuma kepada paslon nomor urut satu  dan nomor urut tiga  saja.

Segala hal yang menyangkut substansi pelanggaran atau kecurangan pemilu yang kemungkinan akan disodorkan oleh paslon nomor urut satu dan nomor tiga sebagai digambarkan diatas tentu saja harus dibuktikan agar nantinya pihak penggugat tidak kecewa karena gugatannya dimentankan oleh hakim MK.

Sebagai contoh kalau misalnya pihak paslon nomor urut satu  dan tiga mendalilkan bahwa pihak paslon nomor urut dua telah melakukan melakukan kecurangan  atau pelanggaran Administratif Pemilu Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) maka pihak penggugat harus mampu untuk membuktikannya.

Karena pembuktian adalah hal terpenting bagi setiap pihak yang berperkara. Prinsip dalam hukum pembuktian adalah siapa yang mendalilkan, wajib untuk membuktikannya. Pembuktian tersebut, agar dapat menjadi alat bukti sah dan meyakinkan memerlukan bukti bukti pendukung lainya seperti bukti surat, saksi, ahli dan petunjuk lainnya. Antara satu alat bukti dengan bukti lainya harus saling bersinggungan berhubungan erat dan  saling melengkapi, sehingga akan tergambar secara utuh bagamana perbuatanya dan bagaimana dampak serta akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut sehingga bisa disebut telah terjadi TSM.

Pemohon harus bisa menggambarkan hubungan kausalitas secara terang benderang antara perbuatan yang dituduhkan atau peristiwa yang didalilkan dalam satu kesatuan sehingga terbangun gambaran peristiwa TSM secara nyata dan dapat mempengaruhi secara langsung dan signifikan terhadap pemilih yang menggunakan hak pilihnya.

Jika dalam satu daerah pemilihan, muncul kecendrungan kuat paslon tertentu memperoleh suara sangat besar dan merata, sedangkan paslon lainnya tidak maka patut diduga telah terjadi praktek kecurangan yang bersifat TSM disana.

Jika kondisi tersebut dikorelasikan dengan adanya jor joran pembagian BLT atau bansos sebelum hari H pencoblosan  yang diduga dinilai sebagai sarana untuk menggerakan pemilih agar memilih pasangan calon tertentu, maka harus dibuktikan kebenarannya.

Bukti bukti bisa disodorkan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pola, sumber anggaran, berapa besar nilainya, sasaranya dan bagaimana cara pembagiannya. Yang lebih penting lagi adalah pembuktian bahwa  perbuatan tersebut telah menyebabkan pemilih memilih calon tertentu sesuai yang dikehendaki oleh pihak pemberi bansos atau bentuk bentuk pemberian lainnya .

Hubungan sebab akibat ini menjadi penting untuk digambarkan korelasinya dan harus dibuktikan validitasnya. Selanjutnya akan diperdalam, siapa, kapan, dimana dan bagaimana cara perbuatan itu dilakukan dan seberapa besar pengaruhnya.

 Juga akan dilihat dari sisi tingkat persebaran peristiwanya. Memerlukan persebaran merata diatas 50% provinsi yang ada di Indonesia sehingga dengan demikian akan tergambar bahwa TSM telah terpenuhi unsur unsurnya.Selain itu harus ada bukti yang menunjukkan bahwa kecurangan itu diorganisasi sebuah entitas yang jelas eksistensinya

Yang perlu diwaspadai juga adalah terkait dengan kewenangan MK. Dalam mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil pemilu biasanya MK akan mendegradasi dirinya seolah olah hanya menjadi Mahkamah Kalkulator belaka.

Sesungguhnya MK adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu menurut Pasal 24c ayat 1 UUD 1945. Namun, ketika UU 23 Tahun 2003 tentang MK disusun, saat itu disederhanakan kewenangan MK menjadi hanya semata-mata menyelesaikan perselisihan terkait penghitungan suara.Kalau hanya ini kewenangan MK, maka mendekati kebenaran bahwa MK hanya akan menjadi lembaga kalkulator belaka.

Kalau kemudian benar nantinya bahwa MK hanya akan menjadi Mahkamah Kalkulator maka gugatan pihak paslon nomor urut satu dan tiga yang mendalilkan adanya penggelembungan suara misalnya, pihak hakim MK hanya akan mengejar pembuktian dimana kejadiannya, berapa besar suara yang digelembungkan, oleh siapa dan sebagainya.

Kalaupun jumlah suara yang diduga digelembungkan oleh paslon nomor urut dua itu berdasarkan bukti bukti yang telah berhasil dikumpulkan ternyata jumlahnya tidak sampai lebih dari 8 persen maka juga tidak akan membuat paslon nomor urut satu atau tiga maju masuk putaran kedua.

Sementara kecurangan yang terkait dengan TSM, hakim MK bisa saja menolak mengadili dengan alasan hal itu sudah menjadi ranah kewenangan Bawaslu bukan di MK. Hakim MK dengan menyitir pasal 286 UU Pemilu bisa saja menyebut pelanggaran TSM diproses oleh Bawaslu dan karenanya mereka hanya memproses perselisihan hasil pemilu saja. Mereka tak akan mencampuri ranah lembaga lainnya.

Pada lahirnya MK sebenarnya  diberikan kewenangan untuk menguji UU bukan sekadar Mahkamah Kalkulator saja.Kalau memang demikian halnya tentu menjadi sangat menggenaskan tentunya. Lalu bagaimana dengan penyelesaian  kasus-kasus tidak terpenuhinya persyaratan pencalonan atau terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif sebagaimana didalilkan oleh pihak penggugatnya ?.Seyogyanya putusan-putusan MK harus lebih mengedepankan keadilan substantif ketimbang keadilan teknis prosedural, agar tidak menghapuskan peran MK sebagai penjaga konstitusi negara

Sebagai penjaga konstitusi, seyogyanya  MK menolak menjadi `mahkamah kalkulator`, yang hanya mengadili sengketa pemilu,  berdasarkan pada hitungan-hitungan angka belaka. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kalau dalam berbagai putusan terkait dengan perkara sengketa pemilihan, khususnya pilkada, hakim MK menggunakan prinsip terstruktur, sistematis, dan massif tapi dalam mengadili perkara Pilpres, hakim MK tidak menerapkannya ?

Menuju “Ladang Pembantaian”

Di tengah kencangnya isu dugaan kecurangan, Presiden Jokowi meminta pihak-pihak tertentu tidak hanya mengeluhkan soal pelaksanaan pemilu yang disebut banyak kecurangan,jika ada bukti bahwa pelaksanaan pemilu curang maka langsung dibawa ke Bawaslu dan MK saja begitu katanya.

Jadi menurut Presiden Jokowi jika  memang ada dugaan kecurangan, ada mekanisme Bawaslu dan pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)."Saya kira sudah diatur semuanya. Jadi jangan teriak-teriak curang. Ada bukti, langsung bawa ke Bawaslu. Ada bukti bawa ke MK," tambahnya seperti dikutip media.

Seolah mendapat angin dan dukungan dari Presiden, saat ini KPU terkesan santai santai saja menanggapi berbagai dugaan kecurangan pemilu yang dialamatkan ke lembaganya. Menurut pendapat dari  Prof Nazaruddin Syamsuddin, Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, pada saat KPU bersikap “santun” seperti sekarang ini dalam mengadapi kritikan terhadap hasil pemilu, maka rakyat perlu berhati hati dan waspada

Karena menurutnya langkah tersebut sengaja ditempuh oleh orang orang yang  tidak beretika di KPU untuk menggiring paslon nomor urut satu dan tiga agar menyelesaikan perselisihan pemilu di MK. Dengan menggunakan MK sebagai “lembaga kalkulator” maka akan lebih memudahkan upaya untuk mematahkan perlawanan dari pihak yang mengajukan perkara

Oleh karena itu Prof. Nazarudin menyarankan agar paslon nomor urut satu dan tiga jangan pernah mau digiring untuk menyelesaikan perkara kecurangan pemilu ke MK. Karena  MK itu "the killing field" (ladang pembantaian) yang telah dikuasai oleh penguasa. “Tolaklah dengan cara apapun; at all cost! Ingat pengalaman Prabowo di Pilpres 2019. Oleh sebab itu Paslon nomor urut satu dan tiga harus “memaksa” KPU untuk menyelesaikan masalah ini dilembaganya saja”, begitu katanya seperti dikutip media.

Disarankan juga agar KPU berani melakukan audit forensik terhadap sistem IT-KPU oleh tim independent. Dalam hal ini KPU harus bisa membuktikan bahwa nothing wrong dengan sistem IT-nya. Kedua, KPU harus memperbaiki data mereka sesuai form C-1.  “Paslon nomor urut satu dan tiga  harus ngotot pada dua langkah ini sebagai salah satu solusinya”, tambahnya

Apa yang disarankan oleh Prof. Nazarudddin kiranya ada benarnya juga karena ibarat pertempuran, jangan mau bertempur di medan perang dimana lawan sudah menguasai medan perangnya.  Menyerahkan penyelesaian pemilu curang pada MK sangat riskan karena secara de facto lembaga pengadilan seperti MK itu sudah berada di bawah pengaruh presiden yang sekarang berkuasa. Karena bukankah Anwar Usman yang menjadi ipar dari presiden masih berada disana ?

Putusan MKMK yang mencopot Anwar Usman serta melarangnya untuk terlibat dalam persidangan sengketa Pilpres 2024 di MK nampaknya dianggap sebagai angin lalu saja. Terbukti Anwar Usman merasa tidak terima dan mengajukan gugatan agar dipulihkan jabatannya sebagai ketua MK.

Dengan ngototnya Anwar Usman yang ingin duduk kembali sebagai Ketua MK, bukankah akan muncul kecurigaan bahwa hal ini dilakukan demi untuk bisa terlibat secara penuh dalam mengadili perkara sengketa pemilu yang di ajukan oleh paslon nomor urut satu dan tiga ke MK ? Sehingga bisa tetap memenangkan jagoan penguasa yaitu paslon nomor urut dua ?, Bagaimana menurut Anda ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar