Harga Beras Melonjak dan Sinyal Kenaikan BBM, Picu Penurunan Ekonomi?

Sabtu, 24/02/2024 19:56 WIB
Ilustrasi Krisis Ekonomi Indonesia (aktual)

Ilustrasi Krisis Ekonomi Indonesia (aktual)

Jakarta, law-justice.co - Memasuki kuartal pertama 2024, terdapat sejumlah sinyal kenaikan harga atau tarif pada beberapa komoditas. Tak hanya pangan seperti beras yang harganya sudah terkerek naik cukup tinggi, tetapi juga kenaikan yang sama berpotensi menyasar listrik dan BBM. Dalam konteks penurunan ekonomi yang mengarah ke krisis, salah satu cirinya adalah adanya inflasi harga. Jika tarif BBM naik, selalu diiringi dengan kenaikan tarif listrik seiring BBM masih menjadi sumber energi pembangkit listrik PLN, selain batu bara.

Naiknya harga BBM juga setidaknya memengaruhi harga beras di pasaran karana kaitannya dengan melonjaknya beban biaya produksi atau rantai produksi dari produsen hingga ke pedagang yang dalam distribusinya juga menggunakan transportasi dengan kendaraan berbahan bakar minyak.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan tren kenaikan harga minyak mentah dunia masih terus berlanjut. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya BBM non subsidi di Indonesia.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, tren naiknya harga minyak dunia di dorong atas masih memanasnya konflik di Timur Tengah. Sehingga berdampak pada sisi logistik minyak mentah di dunia.

Atas hal itu, Tutuka memberikan sinyal harga BBM non subsidi di bulan depan lantaran konflik di Timur Tengah yang membuat harga minyak dunia meningkat.

"Karena intensitas Timur Tengah masih tinggi karena mengganggu logistik jadi akhirnya terpengaruh. Jadi memang perlu dicermati, saya setuju (harga BBM naik) karena harga minyak cenderung naik terus," kata dia.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani sempat mengingatkan bahwa ketidakpastian global yang menekan ekonomi makin sering berulang saat ini. Menurut dia, jarak waktu antara terjadinya satu krisis ke krisis lainnya yang berdampak ke ekonomi makin merapat. Dia mengatakan bisa jadi krisis yang berdampak pada ekonomi itu masih berlanjut pada 2024 dan 2025.

Aviliani mewanti-wanti sejumlah peristiwa ekonomi akibat ketidakpastian global yang terjadi di dunia sejak 2008 hingga 2023. Semisal pada 2008 saat terjadi krisis keuangan global dan minyak dunia. Krisis berikutnya baru terjadi 4 tahun kemudian, yaitu pada 2012 ketika Eropa dilanda krisis utang.

Jarak antara krisis itu kemudian makin merapat. Dia mencontohkan krisis minyak dunia dan penyesuaian suku bunga The Fed terjadi pada 2018. Hanya butuh satu tahun untuk kembali terjadi krisis pada 2019, yaitu perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Lalu satu tahun berikutnya pada 2020, kembali terjadi krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Dan pada 2023, terjadi perang antara Hamas dengan Israel.

Menurut Aviliani, pemerintah selaku regulator harus mempersiapkan diri atas ketidakpastian dunia yang semakin sering terjadi ini. Menurut dia, kecepatan dalam pengambilan kebijakan menjadi cara pemerintah untuk bisa menanggulangi dampak krisis itu kepada Indonesia.

Menurutnya, perlu ada kebijakan dari pemerintah yang bersifat komprehensif untuk menangkal efek ketidakpastian global terhadap ekonomi dalam negeri. “Rule based ini seringkali merugikan diri kita sendiri. Kenapa? Karena kalau rule based itu proses pengambilan kebijakannya sangat panjang, padahal krisis itu terjadi makin lama makin pendek sehingga membutuhkan kebijakan yang lebih cepat," kata dia dalam sebuah momen diskusi pada akhir Desember 2023 lalu.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar