Kenapa Thailand Masih Bisa Ekspor Beras Meski Sama-sama Kena El Nino?

Jum'at, 23/02/2024 13:55 WIB
Dukung Buwas Bongkar 2 Menteri di Balik Rencana Impor Beras , foto:oke.zone.com

Dukung Buwas Bongkar 2 Menteri di Balik Rencana Impor Beras , foto:oke.zone.com

Jakarta, law-justice.co - Seperti diketahui, Fenomena El Nino yang terjadi sejak Juli 2023 lalu memicu kekeringan ekstrem di sejumlah negara sehingga banyak yang mengalami gagal panen, termasuk di Indonesia.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi sisa efek ganasnya masih akan bertahan hingga Maret 2024.

Ada negara yang kewalahan, tapi segelintir lain malah sanggup menumpuk cuan. Itu tergambar dalam kondisi perberasan Indonesia dan Thailand yang berbeda 180 derajat, meski sama-sama diterjang El Nino.

Kekeringan di Tanah Air sampai-sampai membuat lonjakan harga beras di pasar, kelangkaan di toko ritel modern, hingga berujung banjir impor demi perut warga Indonesia bisa tetap terisi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menggelontorkan bantuan pangan berupa beras 10 kg hingga bantuan langsung tunai (BLT) El Nino sebesar Rp200 ribu per bulan sebagai bantalan.

Kontras dengan Thailand yang masih gagah perkasa menghadapi kekeringan ekstrem tersebut. Meski terkena El Nino, Negeri Gajah Putih itu tetap bisa mengekspor beras ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan Thailand masih bisa cuan dari ekspor beras karena konsumsi dalam negerinya yang sedikit. Surplus besar itulah yang akhirnya `dibagi` ke beberapa negara lain.

"Thailand juga terdampak El Nino. Produksi beras 2023 kemarin diprediksi turun 871 ribu ton gara-gara El Nino, total produksinya jadi 25,8 juta ton," jelasnya seperti melansir cnnindonesia.com, Jumat (23/2).

Kata dia penduduk Thailand yang lebih sedikit dari Indonesia membuat konsumsi berasnya hanya 11 juta ton per tahun. Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), populasi di Negeri Gajah Putih sekitar 70,27 juta jiwa.

Sementara itu, penduduk Indonesia hampir menyentuh 270 juta orang. Ini berbanding lurus dengan konsumsi beras di dalam negeri yang semakin banyak.

"Kalau Indonesia konsumsinya cukup tinggi, sekitar 30,8 juta (ton per tahun). Sedangkan produksinya pada 2023 karena El Nino 30,9 juta ton," tambahnya.

Masih ada surplus tipis tahun lalu. Akan tetapi, pemerintah memutuskan mengimpor 3 juta ton beras tahun yang yang berasal dari India sebesar 1 juta ton dari India, lalu 2 juta ton sisanya dari Thailand.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut keputusan impor ini sudah diteken sejak Februari 2023 lalu. Diharapkan beras-beras impor itu bisa masuk pada Maret 2024 mendatang.

Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari menilai kenaikan harga pangan dalam suatu periode tertentu adalah hal lumrah. Masalah vitalnya, bagaimana pemerintah merespons dan memitigasi krisis pangan tersebut.

"Di negara-negara lain seperti India, China, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Pakistan, semua negara tersebut telah memiliki sistem pengamanan pangan dalam negeri dengan memperkuat cadangan pangan nasionalnya," katanya, Desember 2023 lalu.

"Mereka melakukan riset dan pengembangan teknologi dengan investasi cukup besar untuk memperkuat cadangan pangan nasional. Sedangkan Indonesia, sampai saat ini tidak ada political will dari pemerintah untuk memperkuat cadangan pangan nasional. Akibatnya, ketika terjadi krisis pangan bingung mencari sumber pangan dari mana," sambungnya.

Dia lantas mengkritik jalan impor dan operasi pasar yang dilakukan pemerintah lantaran tak berefek pada penurunan harga di pasar. Biang keroknya adalah beras impor lebih banyak digunakan untuk bantuan sosial ketimbang operasi pasar.

Belum lagi, imbuhnya, permainan pengaturan kuota impor yang membentuk kartel yang bersekongkol menetapkan harga di distributor dan konsumen.

"Akibatnya, harga beras di pasar tetap tinggi karena memang jumlah beras yang beredar lebih kecil dari kebutuhan konsumen. Seharusnya pemerintah juga memprioritaskan bagaimana membanjiri beras di pasar agar harga beras kembali turun," kritiknya.

"Sementara itu, tata kelola impor pangan juga masih dipenuhi dengan permainan rente ekonomi sehingga membuat harga pangan impor, seperti bawang putih dan gula rafinasi di konsumen menjadi mahal," tandasnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat akan ada surplus beras pada Maret 2024. Akan tetapi, surplus itu jatuh dibandingkan periode yang sama di tahun lalu.

Oleh karena itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyarankan adanya percepatan tanam dan optimasi lahan pertanian di tanah air.

"Kita bandingkan Maret 2023 dengan Maret 2024, jadi di Maret 2023 ini adalah puncak panen mencapai 5,13 juta ton. Sementara di Maret 2024 ini potensi diperkirakan panen itu sebesar 3,51 juta ton," jelasnya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, dikutip dari YouTube Kemendagri, Senin (19/2).

"Sehingga kalau kita bandingkan antara konsumsi dengan produksi, maka surplus yang akan terjadi pada Maret 2024 ini jauh lebih rendah dibandingkan surplus Maret 2023," tambah Pudji.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar