Nawaitu Redaksi

Misteri Dibalik 3 Ucapan Jokowi & Relasinya dengan Hasil Quick Count

Minggu, 18/02/2024 00:00 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi menteri Kabinet Indonesia Maju berkunjung ke Lapangan Sepak Bola Klumpit Tingkir, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (22/1/2024) untuk mengecek bansos atau bantuan pangan. (BPMI Setpres)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi menteri Kabinet Indonesia Maju berkunjung ke Lapangan Sepak Bola Klumpit Tingkir, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (22/1/2024) untuk mengecek bansos atau bantuan pangan. (BPMI Setpres)

Jakarta, law-justice.co - Terkait dengan pemilu 2024, deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto membeberkan tiga hal yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepadanya. Andi menyebut Jokowi menyampaikan bahwa Prabowo Subianto pasti menang di pilpres yang menggandeng anaknya Gibran Rakabuming Raka. Selain itu, Jokowi juga menyampaikan bahwa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) akan lolos ke DPR dan PDIP di pemilu legislatif nanti akan turun suaranya.

Andi mengatakan ketiga hal itu disampaikan Jokowi dua hari sebelum anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka dideklarasikan sebagai cawapres Prabowo."Kira-kira, Prabowo pasti menang, lalu PSI akan masuk parlemen, lalu yang nomor 3 suara PDI Perjuangan akan turun," kata Andi dalam Podcast Political Show CNN Indonesia.

Untuk diketahui, Andi adalah mantan Gubernur Lemhannas yang sejauh ini  dikenal sebagai "orang Jokowi" sejak lama. Andi pernah menjadi Deputi Tim Transisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) setelah Pilpres 2014 dan posisi sebagai sekretaris kabinet pernah pula di jabatnya.

Saat ini ditengah ramainya orang membicarakan polemik hasil cuick count pilpres 2024, pesan-pesan Jokowi yang disampaikan kepada Andi Widjayanto itu kembali terngiang di telinga. Bahwa ternyata pesan pesan yang disampaikan oleh Jokowi itu ada benarnya karena sudah ada wujudnya meskipun belum semuanya.

Ucapan manakah yang saat ini belum ada kenyataannya dan ucapan mana pula yang sudah berhasil diwujudkannya ?. Sejauhmana upaya yang telah dan akan dilakukan oleh rejim yang berkuasa saat ini untuk merealisasikan ucapannya ?. Mengapa dua dari tiga ucapan yang disampaikan oleh Jokowi itu belum bisa di wujudkannya ?

Berkaca Hasil Quick Count

Meskipun hasil quick count tidak bisa dijadikan sebagai patokan hasil resmi perolehan suara di pemilu Pilpres 2024, namun melalui quick qount itu paling tidak orang bisa mendapatkan gambaran mengenai perolehan suara capres-cawapres maupun partainya.

Berdasarkan hasil quick count, Pemilu 2024 yang disiarkan televisi hingga sekitar jam 19.00 WIB hari kamis tanggal 15 Pebuari 2024, parpol pimpinan putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kaesang Pangarep ini belum memenuhi batas minimal suara 4% suara. Hasil quick count sementara Pemilu 2024 dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan PSI baru memperoleh sekitar 2,95% suara.

Setali tiga uang, hasil quick count sementara Pemilu 2024 dari Poltracking Indonesia menunjukkan PSI masih berada di angka 2,67% suara. Demikian juga hasil quick count sementara Pemilu 2024 dari Indikator Politik menunjukkan suara PSI belum genap 4% atau tepatnya 3,02% suara.

Pada hal untuk bisa masuk ke Senayan, sebuah partai harus bisa meraih minimal 4 % suara. Ketentuan ini tertuang dalam UU Pemilu, tepatnya pada Pasal 414 ayat (1) yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.

Untuk diketahui, saat ini PSI menjadi satu dari total 24 partai politik peserta Pemilu 2024 yang kemungkinan besar tidak akan lolos ke Senayan Jakarta. Sejauh ini PSI baru mampu menembus DPRD DKI, dan belum ada yang menduduki kursi di Senayan.  

Oleh karena itu ketika Jokowi melalui Andi Widjayanto “menjajikan” bahwa PSI akan masuk Senayan, disambut dengan riang gembira khususnya oleh para kader dan para pendukungnya. Meskipun hingga saat ini dengan mengacu pada hasil quick count yang hampir 100 %, perolehan suara PSI masih belum mencapai ambang syarat masuk Senayan yaitu 4 % perolehan suaranya.

Dari fenomena tersebut kita bisa menilai bahwa ucapan Jokowi yang akan “membawa” PSI masuk Senayan belum terbukti adanya. Baru sebatas harapan tapi kenyataannya masih belum nampak, paling tidak jika kita berkaca pada hasil quick count yang ada.

Sementara itu berdasarkan hasil quick count juga menunjukkan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih memimpin dengan raihan suara tertinggi, disusul oleh partai partai lainnya.

Berdasarkan data yang dihimpun dari empat lembaga survei, yaitu Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Litbang Kompas, dan B-Universe, rata-rata perolehan suara PDIP mencapai 23,66% suara.

Dari hasil quick count ini, dapat dilihat bahwa PDIP masih menjadi partai pemenang dengan perolehan suara tertinggi, meskipun mengalami penurunan dibandingkan dengan pemilu 2019 yang mencapai 27,05% suara. PDIP juga masih unggul jauh dari partai-partai lain yang bersaing di bawahnya.

Dari fenomena tersebut maka terkuak fakta bahwa ucapan Jokowi yang menyatakan PDIP bakal turun perolehan suaranya di pemilu 2024, tidak terbukti adanya. Karena pada kenyataannya partai yan dipimpin oleh Megawati itu masih tetap menjadi jawara.

Sementara untuk pemilihan presiden (pilpres) berdasarkan hasil  quick count menunjukkan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka hingga sekitar pukul 12.00 WIB tanggal 15 Pebruari 2024 tercatat memperoleh lebih dari 50% atau sekitar 56,39 - 59,34% suara.

Dengan perolehan suara yang seperti ini potensial bahwa pilpres kali ini hanya akan berlangsung satu putaran saja. Begitulah data yang beredar di televisi maupun media tentang kemenangan pasangan capres -cawapres nomor dua.

Hasil Tidak Mengkhianati Proses

Ada ungkapan yang menyatakan bahwa hasil yang didapatkan seringkali memang tergantung pada proses atau upaya yang dilakukannya. Semakin keras dan sungguh sungguh upaya untuk merealisasikan keinginan atau suatu harapan maka hasilnya akan semakin menggembirakan pula pada akhirnya.Meskipun usaha maksimal hasilnya tidak selalu berbanding lurus dengan harapannya.

Sejauh ini terkait dengan ucapan Jokowi yang menginginkan PSI bisa melenggang ke Senayan, PDIP anjlok suaranya dan pasangan capres cawapres nomor 2 bisa menjadi pemenang nantinya. Ketiga tiganya belum tercapai semuanya. Hanya untuk sementara ucapan terakhir yaitu nomor tiga yang nampak sudah kelihatan hasilnya yaitu kemenangan untuk pasangan capres cawapres nomor urut dua.

Kalau kita cermati bersama mengapa keinginan Jokowi untuk nomor pertama yaitu lolosnya PSI ke Senayan, belum tercapai karena upayanya belum maksimal alias biasa biasanya saja. Meskipun partai ini sudah mengusung Kaesang Pangarep yaitu  anak Jokowi sebagai Ketua Umumnya, tapi rupanya hal ini belum cukup untuk menarik orang supaya menjatuhkan pilihan pada partainya.

Demikian juga support yang luar biasa pada PSI agar menjadi partai besar belum ada hasilnya. Saat ini muncul dibenak public kecurigaan pada partai kecil ini yang begitu massif melakukan kampanye dengan baleho balehonya yang bertebaran dimana mana.Untuk ukuran partai baru dan anggota yang sedikit, alat peraga kampanye (APK) yang dipasang dinilai terlalu banyak menyebar secara merata memunculkan tanda tanya siapa kira kira yang mendanainya. Apakah pendanaannya di back up oleh penguasa ?

Harus diakui,meskipun sampai saat ini Jokowi masih tercatat sebagai kader PDIP tapi secara tersirat dilihat dari perilaku dan arah politik, Presiden Jokowi sudah mengarah ke PSI, partai yang dipimpin oleh anaknya.

Partai kecil ini bisa dikendalikan oleh Jokowi meskipun secara formal Jokowi tidak berada didalamnya. Hal ini sangat wajar karena mengendalikan Golkar, PAN dan partai lainnya saja bisa apalagi kalau hanya sekadar PSI yang di komandani oleh anaknya.

Upaya lain yang nampak terlihat agar PSI bisa masuk Senayan adalah mengerahkan aparat desa atau kades agar mau mencarikan suara untuk PSI. Kabar ini bukan sekadar tudingan kosong belaka. Berita ini disampaikann oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto,yang menuding adanya pengerahan kades untuk mencarikan suara PSI. Hasto menyebut sejumlah desa di Jawa Timur ditargetkan memberikan 100 suara untuk partai lambang bunga mawar itu agar naik suaranya.

Hasto pun menyatakan informasi ini benar adanya dan bahkan ia berani mempertanggungjawabkan ucapannya ini di jalur hukum. Ia menganggap hal ini merupakan tekanan-tekanan kepada para perangkat desa yang menodai berjalannya Pemilu, begitu katanya.

"Di Jatim itu justru modusnya, ini saya buka. Ini saya pertanggungjawabkan di mata rakyat, di mata hukum dan di mata tuhan. Apa itu tadi tekanan-tekanan terhadap kepala desa mereka minta 100 suara buat partai baru itu dari sekian desa," ujar Hasto di kantor DPP PDIP, Senin (5/2/2024) seperti dikutip media.

Meskipun upaya telah dilakukan, namun nampaknya belum terlalu maksimal sehingga berdasarkan informasi yang dirilis hasil quick count pemilu 2024, perolehan suara PSI masih belum memenuhi syarat untuk bisa masuk Senayan sebagaimana yang diharapkan oleh penguasa.

Lalu bagaimana halnya dengan harapan Jokowi supaya PDIP menjadi turun suaranya ?. Sepertinya harapan ini tidak bisa diwujudkan karena pada kenyataaanya PDIP tetap menjadi jawaranya. Meskipun perolehan suara Ganjar hanya berkisar di 16 % saja menurut hasil quick count, namun perolehan suara PDIP melampaui suara presiden yang menjadi jagoannya.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh Jokowi tidak terlalu signifikan di partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarno ini karena terbukti tanpa cawe cawe Jokowi partai ini tetap menjadi jawara. Lagi pula sejauh ini masih belum nampak terlihat upaya nyata yang dilakukan Jokowi agar partai berlambang banteng bisa turun suaranya seperti harapannya ?. Karena memang aneh kedengarannya sebab Jokowi masih menjadi kader PDIP tetapi kok seolah olah mengharapkan partainya  turun suaranya.

Kalau harapan untuk PSI masuk ke Senayan gagal mencapai tujuannya, begitu pula PDIP yang diharap turun suaranya tetapi justru tetap menjadi jawara, maka lain halnya dengan harapan nomor tiga yaitu paslon capres nomor urut dua bisa menang karena menggandeng anaknya Gibran Rabuming Raka. Berdasarkan hasil quick count, harapan Jokowi ini nampaknya memang bisa diwujudkan meskipun sifatnya sementara.

Kiranya sangat wajar kalau keinginan ini bisa diwujudkan sesuai dengan harapannya karena upaya yang dilakukan sungguh sangat luar biasa. Karena luar biasanya upaya yang dilakukan sampai sampai dibuat sebuah film dokumenternya yang diberi judul dirty vote, yang sudah disaksikan oleh jutaan pemirsa.

Upaya yang dilakukan untuk memenangkan pasangan capres cawapres nomor urut dua itu memang sarat dengan nuansa kecurangannya baik dilakukan sebelum, pada saat coblosan maupun tahapan setelahnya.

Pada saat sebelum pemilu misalnya bagaimana kita bersama menyaksikan adanya penunjukan sekurangnya 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Bupati/ Walikota yang dipilih oleh Presiden sehingga sangat rawan misi politis yang di usungnya. Belum lagi pelanggaran atas kegiatan deklarasi desa bersatu yang menyatakan dukungan terhadap pasangan nomor urut dua yang berimbas pada kasus penyelewengan dana desa yang diduga dikonversi secara politik untuk dukungan kepada jagoannya.

Beberapa Menteri di kabinet yang sekarang berkuasa seperti Airlangga dan Zulkifli Hasan yang berkampanye menggunakan bansos yang diaku sebagai bantuan pribadi presiden yang sekarang berkuasa. Para Menteri itu tidak cuti ketika sedang berkampanye menggunakan fasilitas negara.

Nilai bansos yang luar biasa menjelang pemilu melebihi bansos saat virus corona melanda menimbulkan tanda tanya sementara untuk penyebarannya tidak menggunakan data kesejahteraan terpadu kementerian sosial yang selama ini digunakan untuk penyalurannya.

Pada saat kampanye, muncul pula indikasi pelibatan TNI/ Polri untuk memenangkan pasangan nomor urut 2 dengan keikutsertaan mereka dalam pemasangan spanduk, baleho dan sebagainya. Suatu aktifitas yang jauh dari fungsi TNI/ Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

Sementara itu pada saat coblosan, ditemukan banyaknya suara yang sudah dicoblos duluan kebanyakan milik pasangan nomor urut dua. Belum lagi pembagian uang dan barang untuk mempengaruhi pemilih yang nampaknya sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Pada saat coblosan juga ditemukan kondisi dimana daerah daerah yang dianggap bukan basis 02 surat undangan untuk mencoblos tidak dibagikan kepada para calon pemilihnya dan sebagainya.

Kondisi yang dikemukakan diatas memang tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kinerja KPU yang memang tidak sedang baik baik saja. KPU mendapatkan banyak sorotan karena diduga ikut main untuk memenangkan pasangan 02. Trik mereka untuk memainkan kartunya bisa saja tidak secara langsung namun sangat  terasa.

Diduga KPU sengaja meloloskan partai Gelora pada tahapan verikasi yang kompensasinya berupa dukungan partai Gelora kepada pasangan nomor urut dua.Ketidakpatuhan KPU terhadap putusan MK (30% caleg perempuan, Caleg Napi) diduga ada kepentingan politis dibaliknya.Selain itu KPU diduga banyak membuat laporan yang dimanipulas misalnya saja perolehan suara 02 suaranya sebenarnya 74 dilaporan ke KPU menjadi 740 dan sebagainya.

Semua gambaran yang dikemukakan diatas sebenarnya bermuara pada satu hal yaitu tidak netralnya Presiden dalam pemilu kali ini sehingga memicu banyaknya pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye, saat coblosan maupun tahapan setelahnya. Cawe cawe presiden selama pemilu memang telah mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Cawe cawe tersebut diduga tidak hanya sebelum dan pada saat coblosan saja tetapi juga pada saat selesai coblosan yaitu tahap perhitungan suara. Kemenangan sementara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka versi hitung cepat atau quick count mengingatkan kita pada pernyataan politikus senior PDI Perjuangan Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul beberapa waktu yang lalu sebagaimana banyak di kutip media.

Untuk diketahui, Bambang Pacul merupakan Ketua Tim Pemenangan Daerah (TPD) Ganjar-Mahfud untuk Provinsi Jawa Tengah (Jateng). Jauh sebelum hari pencoblosan, Bambang Pacul sempat menyatakan bahwa pertarungan pilpres 2024 ini berat, karena pihaknya harus berhadapan dengan Jokowi yang disinyalir berada di belakang paslon Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.

Pembentukan opini lewat Quick Count pemilu 2024 bisa dinilai sebagai bentuk psywar kepada KPU sendiri maupun kepada pasangan calon lain di luar pasangan nomor urut dua agar seolah olah pasangan nomor dua lah yang menjadi pemenangnya. Pada hal perhitungan dari KPU belum diumumkan secara formal sesuai dengan ketentuan yang ada.

Dengan adanya upaya yang terstruktur, massif dan sistematis sebagaimana digambarkan diatas maka sangat wajar kalau kemudian ucapan Jokowi bahwa pasangan nomor urut dua akan memenangkan pertarungan dalam pilpres bisa direalisasikan sesuai dengan rencana. Sebaliknya terhadap ucapan Jokowi yang lainnya yaitu lolosnya PSI ke Senayan dan berkurangya suara PDIP, belum bisa diwujudkan karena upaya untuk mewujudkannya terlihat belum maksimal sehingga hasilnya juga belum bisa diwujudkan sesuai keinginannya.

Sekali lagi adagium yang menyatakan bahwa proses/ upaya tidak mengkhianati hasil nampaknya memang ada benar juga. Coba kalau sekiranya “pasukan” yang dibentuk bekerja lebih keras lagi untuk meloloskan PSI dan mendegradasi suara PDIP maka hasilnya akan lain pula. Apakah memang begitu jalan ceritanya ?

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar