Triliunan Dana Bansos Dibagikan Jelang Coblosan Pemilu 2024, Untuk Penerus Dinasti Politik

Hilirisasi Mafia Bansos, Dari Penganggaran Sampai Pembagian

Sabtu, 10/02/2024 16:03 WIB
Ilustrasi: Bagi-bagi Bansos jelang Pemilu berpotensi penyimpangan yag berbau korupsi. (Bing)

Ilustrasi: Bagi-bagi Bansos jelang Pemilu berpotensi penyimpangan yag berbau korupsi. (Bing)

law-justice.co - Pemerintah tiba-tiba membagikan sejumlah bansos di awal tahun, hanya berilang pekan saja dari masa pencoblosan Pemilu 2024. Sontak saja in mengundang polemik. Program yang terkesan terburu-buru dan tak terprogram ini pun lantas dikaitkan dengan kampanye salah satu paslon. Penganggaran yang tidak jelas, pengadaan yang misterius, serta pembagian serampangan membuat bansos kali ini rawan penyimpangan dan berbau korupsi. Tak heran jika kemudian muncuk pemeo hilirisasi penyimpangan bansos pemilu.

Pemerintah pada awal tahun ini atau satu bulan sebelum hari pencoblosan sudah mendistribusikan bansos berupa beras seberat 10 kilogram. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang langsung turun tangan membagikannya. Seperti pada Senin 8 Januari lalu, Jokowi membagikan bantuan beras di gudang beras Bulog yang ada di Serang, Banten. Aktivitas Jokowi itu menjadi sorotan lantaran ada banyaknya baliho paslon 02 Prabowo-Gibran di sekitar lokasi. Menariknya, pada hari dan wilayah yang sama, Jokowi pun meresmikan Terminal Pakupatan. Dalam kawasan sekitar terminal, juga terpampang spanduk paslon 02 itu secara masif. 

Sebelumnya, Jokowi pada Rabu (27/12/2023) mendatangi Kantor Pos Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur untuk membagikan BLT El Nino kepada masyarakat secara langsung. Dalam acara tersebut, Jokowi menyatakan BLT senilai Rp400 ribu per penerima tersebut diberikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat karena kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok karena krisis iklim. 

Lalu, beberapa pekan sebelumnya, tepatnya pada Rabu (13/12/2023), Jokowi juga menebar bantuan uang tunai kepada sejumlah petani senilai masing-masing Rp1,2 juta dan paket bahan pokok di Kecamatan Kesesi, Pekalongan, Jawa Tengah. Provinsi ini menjadi lumbung suara bagi PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dalam Pilpres. Pada awal Desember pun, Jokowi sempat membagikan bansos beras dari Bulog di kawasan Labuan Bajo, NTT.    

Menariknya, Jokowi selalu menggunakan agenda kunjungan kerja kepresidenan saat membagikan bansos. Lantaran agenda kepresidenan, protokoler mengharuskan adanya pendampingan, semisal dari menteri hingga pejabat daerah. Semisal saat membagikan bansos di Banyuwangi, Jokowi didampingi Menteri Perdagangan Zulkifili Hasan dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa serta Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani. Untuk dua nama yang disebut di awal, mereka termasuk tim pemenangan Prabowo-Gibran. 

Dalam aktivitas politiknya di Kendal, Jawa Tengah pada akhir Desember, Zulhas sempat mengatakan bahwa bansos merupakan bantuan dari presiden, alih-alih bersumber uang rakyat yang berasal dari APBN. “Yang kasih bansos sama BLT siapa? Yang suka sama Jokowi angkat tangan! Pak Jokowi itu PAN. PAN itu Jokowi. Makanya kita dukung Gibran. Cocok?" kata Zulhas.

Lantas pada Minggu (14/1/2024), Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pembagian bansos di Lombok, juga meminta masyarakat untuk berterima kasih kepada Jokowi. Hal yang sama dilakukan Airlangga saat menebar bansos di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Adapun Partai Golkar yang dipimpin Airlangga masuk gerbong koalisi pendukung Prabowo-Gibran dan dirinya pula duduk di kursi ketua dewan pengarah koalisi pemenangan. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi menteri Kabinet Indonesia Maju berkunjung ke Lapangan Sepak Bola Klumpit Tingkir, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (22/1/2024) untuk mengecek bansos atau bantuan pangan. (BPMI Setpres)  

Pemerintah lewat Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menghentikan sementara penyaluran bantuan sosial atau bansos beras mulai besok Kamis (8/2/2024) hingga hari pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 pada Rabu (14/2/2024).  Bapanas melalui Surat No.117/TS.03.03/B/02/2024 tertanggal 6 Februari 2024 menginstruksikan Perum Bulog untuk menghentikan penyaluran cadangan beras pemerintah (CBP) untuk bantuan pangan selama 8 Februari-14 Februari 2024.

"Dalam rangka mendukung terwujudnya kelancaran penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, serta mempertimbangkan tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, kami sampaikan agar Perum Bulog menghentikan sementara penyaluran cadangan pangan pemerintah untuk bantuan pangan beras pada tanggal 8-14 Februari 2024 di seluruh wilayah," tulis surat tersebut yang diterima Bisnis, Rabu (7/2/2024).

Kepala Badan Pangan Arief Prasetyo Adi menekankan bahwa penyetopan sementara penyaluran bantuan beras tersebut tidak berkaitan dengan isu politisasi bantuan sosial (bansos) yang tengar beredar. "Memang tidak ada politisasi bantuan pangan," ujar Arief.

Dia mengatakan, alasan penghentian sementara penyaluran bantuan pangan lebih dikarenakan untuk menghormati Pemilu dan pemutakhiran data penerima bantuan. Arief menyebut penyaluran bantuan beras akan dilanjutkan kembali pada 15 Februari 2024.

Sementara itu Direktur Utama Bulog Bayu Krisnamurti menyangkal jika progran yang mereka jalankan adalah Bansos. Saat dikonfirmasi Law-justice dia mengatakan kalau pihaknya hanya menjalankan program bantuan pangan. “Saya tidak tahu soal Bansos.  Bulog mendapat tugas untuk melaksanakan Bantuan Pangan, 10 kg beras untuk 22 juta keluarga penerima manfaat,” kata Bayu, Jumat (9/2/2024)

Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menyatakan bila bantuan sosial atau bansos adalah alat negara. Kebijakan dan penganggarannya diputuskan bersama di DPR dan pemerintah yang mewakili seluruh kekuatan politik. “Sesungguhnya tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa program bansos prakarsa atau keberhasilan kelompok tertentu,” ujar Said Abdullah dalam keterangan yang diterima Law-Justice pada Senin (05/02/2024).

Said mengingatkan jangan jadikan rakyat miskin sebagai dalih untuk mengeruk suara pemilu, seolah-olah tampil bak robin hood membagi-bagi sembako dan uang tunai tanpa perencanaan yang matang. Padahal, menurut Said, cara-cara seperti itu tidak akan mengentaskan rakyat miskin keluar dari kubangan kemiskinan, tetapi hanya menjadikan orang miskin sebagai kendaraan politik. Said berharap seluruh penerima bansos tetap teguh pendirian politiknya dan rakyat miskin tetap bisa berdaulat menentukan pilihan politiknya pada pemilu 2024.

Ketua DPP Perjuangan ini mengingatkan tidak usah khawatir atas ancaman penghapusan data dirinya tidak menerima bansos kelak di kemudian hari. Tidak ada kaitannya penentuan hak suara dengan penghapusan bansos. “Penentuan hak suara adalah hak politik semua warga negara dan penerima bansos adalah hak ekonomi warga negara. Keduanya dijamin oleh hukum,” ujar Said.

Lebih lanjut, Said mengatakan apabila presiden berkehendak pun, tanpa persetujuan DPR, tidak akan mungkin ada program bansos. Sebab kebijakan dan anggarannya harus sepersetujuan DPR. Bansos sebagai alat negara agar rakyatnya terentas dari kemiskinan dan menjadi lebih berdaya. “Itulah sebabnya di dalam paket-paket bansos beragam rupa program, selain bantuan uang tunai, beras, tetapi juga beasiswa dan uang pra kerja serta kartu Indonesia sehat,” ujar Said.

Lebih lanjut, Said mengatakan orkestrasi kebijakan ini dimaksudkan agar rakyat miskin tidak semata-mata di kasih uang dan sembako, tetapi diberikan akses atas pemeliharaan kesehatan. Sebab dengan tubuh yang sehat mereka bisa produktif, anak-anaknya diberikan akses terhadap pendidikan. Dengan pendidikan yang lebih baik, menurut Said, kelak mereka punya kecakapan sehingga bisa berbuat produktif dan berpenghasilan yang lebih baik daripada orang tuanya. Hal ini adalah proses yang panjang, tidak cukup diguyur bansos setahun lalu mereka menjadi tidak miskin semua.

“Saya sungguh sedih ketika kebijakan teknokratis yang mulia dari negara kemudian diprivatisasi oleh Bapak Presiden dan sebagian menterinya, seolah-olah budi baik mereka,” ujar Said. Terus terang saja, kata Said, melonjaknya anggaran bansos Rp 496,8 triliun sungguh mengkhawatirkan dari sisi penyalahgunaan. Pada saat covid19 saja, di tahun 2020 anggaran perlindungan sosial hanya Rp 234,33 triliun dan realisasinya Rp 216,59 triliun. Padahal masa covid-19 ekonomi nasional nyaris terhenti, negara hanya membutuhkan belanja bansos sebesar Rp 216,59 triliun.

Saat ini situasi perekonomian nasional telah pulih, bahkan sejak 2022 diakui oleh dunia Indonesia bisa pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat akibat pandemi Covid-19.  “Kenapa anggaran bansos melonjak drastis, bahkan tidak melibatkan Kementerian Sosial sebagai kementerian teknisnya? Sebagai Ketua Banggar DPR saya sangat prihatin, APBN yang kita bahas berbulan-bulan, kita niatkan untuk menggerakkan seluruh tujuan pembangunan, memperbaiki infrastruktur, meningkatkan perumahan rakyat," paparnya.

Selain itu, menguatkan kemandirian pangan, energi, meningkatkan industri dan daya saingnya, meningkatkan ekspor, meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan budaya, menghapuskan kemiskinan ekstrem, pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara. “Semuanya dipotong dan sebagian anggarannya direlokasi ke bansos menjelang pemilu,” ujar Said.

Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah. (Parlementaria)

Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid menyebut soal bansos ini merupakan hal yang harus ditetapkan dengan prinsip aturan yang berlaku dan jangan sampai dipolitisasi. Politisi yang akrab disapa HNW itu menyebut bila Bansos ini sempat dibahas dalam Rapat Paripurna penutupan DPR oleh Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS Wisnu Wijaya.

Menurutnya, ada laporan dari warga bahwa penerima bansos tersebut terdapat intimidasi untuk memilih calon tertentu dan akan dicabut bila tidak memilih calon tertentu. "Tadi bansos juga sempat dibahas di rapat paripurna penutupan DPR, dari Mas Wisnu Anggota Komisi VIII juga Fraksi PKS dapil Jawa Tengah I menyampaikan laporan dari warga bahwa para penerima bansos itu diintimidasi untuk memilih calon tertentu dan bila tidak memilih akan dicabut," kata HNW kepada Law-Justice, Selasa (06/02/2024).

HNW mengatakan bila hal ini tentu yang sangat bertentangan dengan prinsip penyaluran bansos. Bansos diberikan untuk membuktikan kehadiran negara bukan untuk aset elektoral. "Dana ini milik negara melalui APBN dan harus diberikan sesuai dengan penerimanya dan saya ikut mengkritisi kenapa pihak Komisi VIII tidak dilibatkan bahkan kemensos juga tidak dilibatkan, dalam penyaluran bansos juga tidak ada Menteri Sosial," katanya.

Politisi PKS ini menyebut bila urusan bansos ini merupakan domain dari kemensos dan Komisi VIII sebagai mitra ini akan kita terus kritisi. Ia juga menceritakan bila kemarin senin sebenarnya ada rapat kerja dengan mensos tapi tiba-tiba dibatalkan dan ini tentu sangat disayangkan. "Padahal rapat itu harusnya bisa dilaksanakan untuk berdiskusi terkait polemik bansos ini. yang membahas soal bansos itu ya Komisi VIII dan Kemensos," imbuhnya.

HNW juga membantah pemerintah bila penyaluran bansos menjelang pemilu ini sudah dibahas dengan DPR. Menurutnya, pembahasan bansos yang dilakukan dengan Mensos itu tentang persoalan reguler. "Belum pernah ada bahasan soal penyaluran bansos jelang pemilu ini misalnya ada pembahasan itu soal reguler. kalau yang soal dirapel itu belum pernah dibahas dan seharusnya BU mensos yang protes," urainya.

"Saya sesalkan juga rapat dengan mensos tiba-tiba dibatalkan jangan sampai bansos ini dipolitisasi apalagi melibatkan aparat. soal bansos ini tentu harus berpacu sesuai dengan DTKS dan bansos ini memang menjadi tugas mensos," sambungnya. 

Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan pembagian bantuan sosial (bansos) yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah sesuai. Pasalnya, masih banyak lapisan masyarakat ekonominya masih tahap pemulihan pasca pandemi COVID-19. "Saya melihat pemberian bansos ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam situasi seperti sekarang karena memang dari sisi ekonomi masyarakat di basis paling bawah belum stabil. Apalagi setelah pasca pandemi (COVID-19) masyarakat sedang berkonsolidasi untuk daya daya beli dan ekonominya masing-masing," kata Saleh dalam keterangannya, Jumat (09/02/2024).

Wakil Sekretaris TKN Prabowo-Gibran mengatakan polemik pembagian bansos oleh Jokowi di tahun pemilu tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, bansos tersebut sudah direncanakan sejak 2023 dan disetujui oleh seluruh partai politik. "Bansos ini sudah ditetapkan pemerintah sebelum 2024 artinya perencanaannya itu sudah jauh hari," tuturnya.

Dia menjelaskan pembicara di DPR terkait bansos sudah dilakukan pada Agustus 2023 lalu. Ketua Fraksi PAN DPR RI ini menjelaskan hampir tidak ada fraksi di DPR yang menolak rencana bansos para waktu itu. "Ketika DPR berbicara terkait APBN itu pembicaraannya (bansos) Agustus 2023 dan sudah disahkan semua parpol ada di sana. Dan semuanya ikut menyetujui itu juga sesuai dengan keterangan dan Kemenkeu memang anggaran untuk bansos ini sudah disetujui oleh DPR dan tidak ada satu fraksi pun di DPR yang menolak ini," tegasnya.

Dia pun menjelaskan kementerian terkait pun turut terlibat dalam pembagian bansos. Sebab Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hanya dimiliki oleh Kemensos. "Keterlibatan Bu Risma ini saya perlu tegaskan. Ibu Risma tetap terlibat persoalan bansos karena semua data-data penerima bansos di Indonesia sumbernya cuma satu DTKS. (Data) itu tidak dimiliki Presiden Jokowi (secara pribadi) tapi dimiliki Kemensos. Dan Tentu itu diambil dari Kemensos," tutupnya.

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. (Ghivary)

Sarat Penyimpangan, Rawan Korupsi

Pakar ekonomi dari Politic, Economy, Policy Study (PEPS) Anthony Budiawan blak-blakan mencurigai sejumlah penyimpangan dalam pembagian Bansos jelang Pemilu. Dia menangkap ada upaya yang sistematis dari Presiden Joko Widodo untuk menggunakan Bansos sebagai perangkat kampanye untuk mendukung anaknya Gribran Rakabuming Raka yang menjadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto.

“Presiden Joko Widodo di rapat kabinet 6 November 2023 tiba-tiba memutuskan untuk memperpanjang pemberian bantuan sosial sampai Juni 2024, yang seharusnya sudah berakhir pada November 2023,” ujar Anthony, Kamis (8/2/2024).

Dia menilai keputusan bantuan sosial secara dadakan ini terindikasi kuat melanggar UU Keuangan Negara dan UU APBN 2024. Karena, anggaran bantuan sosial dadakan Joko Widodo ini tidak ada di dalam APBN 2024, yang diundangkan  pada 16/10/23. Memberikan bantuan sosial tanpa ada mata anggaran melanggar UU APBN.

Dia menuding Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba ‘memanipulasi’ anggaran, dengan cara mengambil anggaran bantuan sosial dadakan ini dari anggaran kementerian dan lembaga lainnya. Caranya, dengan melakukan pemblokiran anggaran atau automatic adjustment senilai Rp50,2 triliun.

“Sri Mulyani mengaku, ‘manipulasi’ anggaran bantuan sosial dadakan ini sesuai arahan, atau atas instruksi, Presiden Joko Widodo,” ujarnya.

Cara realokasi anggaran dari kementerian dan lembaga menjadi bantuan sosial seperti dilakukan Sri Mulyani terindikasi melanggar Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara (No 17/2003), yang berbunyi: “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja”.

“UU APBN yang sudah disetujui DPR tidak boleh diubah pihak manapun, termasuk Presiden Joko Widodo, melalui pemblokiran automatic adjustment. APBN hanya dapat diubah melalui mekanisme Perubahan APBN yang disetujui DPR,” tegas Anthony.

Pakar ekonomi dari Politic, Economy, Policy Study (PEPS) Anthony Budiawan

Pakar kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mengatakan alokasi anggaran untuk bansos sarat konflik kepentingan. Maksudnya, politik anggaran bansos dirancang oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik untuk salah satu kandidat capres-cawapres, yakni paslon 02. Ada tiga bukti, katanya, yang pertama adalah mulai tidak dilibatkannya secara signifikan Kementerian Sosial. 

Dia mewanti-wanti adanya perbedaan sikap dan pilihan politik antara Jokowi dan PDIP yang mengakibatkan Kemensos tidak dilibatkan secara berarti. Sebab, Mensos dijabat oleh kader PDIP, Tri Rismaharini. Adapun pihak yang menjadi pelaksana adalah Badan Pangan Nasional (Bapanas). Disebut-sebut, data yang digunakan tidak mengacu persis dengan data Kemensos, tetapi merujuk data yang dihimpun Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dipimpin Muhadjir Effendy. Muhadjir dalam posisi yang menyangkal bahwa Mensos tak dilibatkan dalam kebijakan bansos dan menyangkal adanya politisasi bansos. 

“Padahal kita tahu dari dulu, bansos dikerluarkan oleh Kemensos. Ini bisa menunjukkan kepada publik bahwa mensosnya (dari) PDIP sehingga ada bisikan ke telinga presiden bahwa ini akan dimanfaatkan oleh lawan politik Prabowo-Gibran, maka dialihkan ke institusi lain yaitu Badan Pangan Nasional,” kata Achmad kepada Law-justice, Kamis (8/2/2024). 

Selain itu, kata dia, konflik kepentinga begitu kelihatan ketika pemerintah menggunakan dalih krisis iklim—badai el nino untuk pencairan bansos berupa BLT. Achmad yang juga mengajar studi ekonomi di UPN Jakarta, menilai bahwa dalih itu hanya akal-akalan belaka. “Konflik kepentingannya kentara dengan dipercepatnya pencairannya. Padahal efek el nino itu diprediksi Juni atau Juli 2024. Tapi argumentasi yang dibangun untuk mencairkan bansos di Januari dan Februari ini adalah el nino. Kenapa? Karena ingin mengejar kepentingan elektoral 14 Februari,” ucap dia.  

Kejanggalan lain, dia menyoroti adanya penangguhan anggaran setiap kementerian hingga Rp50 triliun untuk digeser ke dana bansos. Hal itu diungkap langsung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Bahkan, Sekjen PDIP juga mengutarakan bahwa anggaran masing-masing Kementerian/Lembaga dipotong sekira 5 persen untuk keperluang bansos.

Achmad berpendapat langkah Sri Mulyani sebagai bentuk kekhawatiran bahwa APBN akan terbebani secara signifikan akibat adanya alokasi anggaran jumbo bansos. Sebab, sumber anggaran ratusan triliun dipertanyakan, menyusul belum adanya pemasukan semisal dari pajak. Jika anggaran tidak jelas, akibatnya mempengaruhi postur anggaran APBN yang sudah mapan. 

“Kenapa di-hold? Karena sebetulnya khawatir keberlanjutan APBN kalau digenjot untuk bansos yang jumlahnya 496 triliun sampai akhir tahun, itu bisa membuat goncang APBN. Tetapi Sri Mulyani kan hanya menteri, yang kalau membantah pemerintah, pilihannya mungkin akan mengundurkan diri,” kata dia. Menurut Achmad, isu soal bakal mundurnya Sri Mulyani yang berembus belakangan ini menjadi bukti sekian yang menunjukkan adanya konflik kepentingan dalam anggaran bansos. 

Politisasi bansos, kata dia, untuk pemenangan paslon 02 sudah kian terang. Politisasi bansos merupakan instrumen yang sekian kalinya yang digunakan kekuasaan demi kepentingan elektoral Prabowo-Gibran. “Pemilu 2024 ini ada permainan yang dilakukan oleh penyelenggara negara untuk memenangkan salah satu kandidat. Politik bansos ini sebagai keberlanjutan bahwa ada penggunaan anggaran negara. Ini tentu saja perilaku koruptif, ada benturam kepentingan di dalamnya,” kata dia. 

“Saya menilai ini adalah alasan (pencairan bansos) yang dicari-cari supaya menjelang 14 Februari nanti. Masyarakat berpikir pemerintah berbaik hati dan mau mengikuti pilihan kandidat dari presiden,” ia menambahkan. 

Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)  Badiul Hadi mengatakan efek ekonomi ke rakyat dan perekonomian negara dari program bansos ini tidak berdampak signifikan. Justru yang ada, politisasi bansos merupakan penyelewengan keuangan negara dan sekaligus penyalahgunaan kekuasaan jabatan. 

“Belanja keuangan negara sudah diatur. Kalau kemudian diada-adakan karena kepentingan politik, itu penyelewengan. Pendistribusian bansos, maka harus diawasi," kata Badiul kepada Law-justice, Kamis (8/2/2024). 

Dia mewanti-wanti politik anggaran bansos ini sarat indikasi politik gentong babi-suatu terminologi dari teori politik yang merujuk fenomena relasi pekerja-majikan di Amerika Serikat. Menurutnya, anggaran untuk perlindungan sosial selalu melonjak di tahun politik, sementara realitas semisal tingkat kemiskinan tidak membutuhkan kenaikan anggaran. “Kami melihat ini terpola setiap menjelang pemilu. Indeks kemiskinan kita saat ini menurut. Tapi anggaran perlindungan sosial kenapa dinaikkan?" kata dia.

Bicara soal politik anggaran yang juga melibatkan Kementerian Keuangan, sumber kami di Kemenkeu mengatakan bahwa ada desakan kepada Sri Mulyani untuk meneken anggaran bansos di tahun politik. Komunikasi terkait kenaikan anggaran bansos dilakukan pihak istana kepada Sri Mulyani ketika Putusan MK soal batas usia capres-cawapres keluar pada Oktober tahun lalu. Ketika putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming dinyatakan sebagai cawapres bagi Prabowo, pembahasan soal anggaran bansos lantas dipercepat. 

Namun, Sri Mulyani bukan tanpa perlawanan. Sumber kami menuturkan sang menteri sempat mengutarakan pendapatnya soal besaran BLT el nino. Mulanya Jokowi menginginkan besaran nominalnya Rp500 ribu per penerima manfaat, tetapi Sri Mulyani tak setuju lantaran alasan APBN yang bakal terbebani. Hingga akhirnya disepakati BLT tersebut sebesar Rp200 ribu per orang. 

Bansos, Minim Manfaat Rawan Dikorupsi

Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini mengkritik keras pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap meniru gaya Presiden Soeharto. Ia mengatakan bahwa Jokowi telah mobilisasi birokrasi untuk kepentingan khusus, bukan untuk kepentingan rakyat.

Didik Rachbini menyampaikan kritiknya dalam diskusi daring pada Rabu (7/2/2024). Ia mengatakan bahwa Jokowi telah menjadikan negara sebagai alat otoriter dan menjadikan dirinya sebagai raja.  “Sudah seperti zaman Pak Harto. Mobilisasi Golkar pada waktu itu, ya sudah terjadi (saat ini) dan hanya terjadi ketika kekuasaan itu otoriter. Sekarang sudah sempurna otoriternya dan presiden sudah seperti raja,” ujar Didik Rachbini kepada Law-Justice, Kamis (08/02/2024).

Didik Rachbini menyoroti anggaran negara yang belakangan mengalir deras untuk bantuan sosial (Bansos). Ia menuding bahwa Bansos tersebut sarat unsur politis dan digunakan Jokowi sebagai alat politik belaka. Didik Rachbini mengatakan, Jokowi melancarkan niatnya melalui berbagai macam cara. Mulai dari cara yang terang-terangan, tidak langsung, hingga isyarat simbolik. “Jadi most probably, bukan most likely, bansos ini akan dipakai sebagai alat politik. Dan itu sudah dilakukan dengan berbagai cara, langsung, tidak langsung, simbolik-simbolik, dan seterusnya,” ujarnya.

Dia memaparkan, Presiden Soeharto meninggalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp 50 sampai 60 triliun sebelum lengser. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) memulai dengan Rp 200 sampai Rp 500 triliun di akhir masa jabatannya. “Pak SBY mulai dengan Rp 200 triliun, Rp 300, terakhir Rp 500 triliun sebelum lengser. Nah, Pak Jokowi ini karena ekonomi berkembang, sampai Rp 3.000 triliun,” tuturnya.

Jika dikaji dengan kondisi perpolitikan saat ini yang merupakan tahun panas politik, kata Didik Rachbini, APBN digelontorkan jor-joran untuk pemberian Bansos.  “Sudah dibicarakan internal mereka untuk kepentingan istana, kepentingan kekuasaan, kepentingan kelanggengan. Memobilisasi anggaran sosial yang Rp 500 triliun itu untuk kepentingan politik.”

Didik Rachbini mengamini bahwa dugaan tersebut memang sulit dibuktikan. Akan tetapi, dampaknya sudah dirasakan jelas. “Apapun alasannya, ya memang tidak mudah membuktikan, tetapi ini sudah seperti kentut. Kentutnya ada, kita rasakan,” kata dia.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) DR Esther Sri Astuti.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai program bantuan sosial (bansos) tidak efektif menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. "Bansos ini menurut saya tidak efektif. Kenapa? Selama (hampir) 12 tahun, angka kemiskinan hanya turun (sekitar) 2 persen," kata Esther saat diskusi publik di Jakarta, Senin, menanggapi soal bansos, yang disinggung calon presiden dalam debat Pilpres 2024, Ahad (4/2/2024).

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada September 2012 sebesar 11,66 persen. Pada Maret 2023, persentase penduduk miskin sebesar 9,36. Dengan demikian, angka kemiskinan hanya turun sebesar 2,3 persen.

Di sisi lain, anggaran perlindungan sosial (perlinsos) pada tahun ini lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 2024, pemerintah menggelontorkan anggaran perlinsos sebesar Rp 496,8 triliun. Angka tersebut hampir setara dengan masa saat pandemi COVID-19 pada 2020 senilai Rp498 triliun. Anggaran perlinsos pada 2024 juga lebih tinggi dibandingkan 2023 sebesar Rp443,5 triliun, 2022 sebesar Rp460,6 triliun, dan 2021 sebesar Rp468,2 triliun.

Esther menilai bahwa program bansos bukan solusi jangka panjang untuk menekan angka kemiskinan. Dia juga menyampaikan kekhawatirannya atas isu politisasi bansos mengingat anggaran bansos pada tahun pemilu cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan 2009, 2014, dan 2019. Dia mengingatkan bahwa bansos pada dasarnya merupakan jaring pengaman sosial. Esther menyarankan agar bansos diberikan kepada masyarakat dalam bentuk uang tunai yang disalurkan melalui bank.

Besaran bansos pun harus disesuaikan dengan biaya hidup atau living cost di setiap daerah. Dengan begitu, niat baik pemerintah melalui penyaluran bansos diharapkan tidak menimbulkan prasangka negatif terlebih pada saat tahun politik. "Di negara-negara lain, orang dapat bansos atau safety social net itu lewat transfer saja. Terus nanti tiap bulannya diambil lewat bank. Mereka mau belanja beras, mau belanja apa, terserah dia. Jadi, mereka bisa mendapatkan uang atau pendapatan yang layak, seperti halnya orang-orang yang tidak miskin," kata Esther.

Menanggapi Bansos jelang Pemilu, Esther menilai Bansos kali ini sangat rawan penyimpangan. Anggaran yang digunakan pun menurutnya masih misterius. Sebab, dia meyakini, anggaran Bansos Rp496 Triliun yang disebut Sri Mulyani adalah akumulasi seluruh bantuan sosial dan jaminan sosial yang dterima oleh warga negara yang berhak.

Sementara, menurutnya anggaran khusus untuk bansos awal tahun ini masih belum clear, apakah dijadwalkan sesuai APBN atau ada akrobat tersendiri. “Sebab, dalam APBN kan mestinya sampai tahapan pembagiannya juga telah disebutkan. Nah, kalau tia-tiba ditumpuk di awal tahun begini, apakah sudah sesuai mekanismenya?” ujarnya.

Infografik: Anggaran bansos di tahun Pemilu. (Indef)

Menurutnya, untuk mengubah APBN diperlukan persetujuan DPR. Presiden tidak boleh secara sepihak melakukan refocusing ataupun reschedulling anggaran. “kalau ini yang terjadi, jelas ilegal. Melanggar hukum” tegasnya. Selain penganggaran, dia juga menyoroti soal pengadaan barang yang disalurkan untuk Bansos. “Apakah sudah memenuhi kaidah pengadaan barang dan jasa. Mengingat, ini masih awal tahun,” katanya.

Dia menambahkan, jika dugaan penyinmpangan bansos kali ini tersebar dari sisi pengangaran, pengadaan hingga pembagian. “ini seperti hilirisasi penyimpangan. Penganggaran rawan penyimpangan, pengadaan pun rawan dikorupsi, eh pembagiannya ditengarai tidak menggunakan data yang valid. Ditambah lagi modus pembagiannya yang rawan penyalahgunaan,” ujarnya.

 

Pengawasan Bansos

Ekonom senior INDEF Faisal Basri mengkritisi bantuan sosial (bansos) beras yang dibagikan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan bantuan sosial (bansos) pangan berupa 10 kilogram (kg) beras kepada 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) berlanjut hingga Juni 2024. Nantinya, setiap keluarga akan menerima bansos 10 kg beras setiap bulan.

Bansos ini adalah kelanjutan dari bansos beras yang dibagikan pada tahun 2023. Bantuan ini diberikan sebanyak 2 tahap, yaitu untuk periode Maret-Mei 2023 dan September-Desember 2023. Menurut Faisal, bansos yang disalurkan seharusnya berbentuk uang tunai.

"Secara teoritis ekonomi sampai pemenang nobel ada konsensus bahwa bantuan masyarakat itu tunai," kata Faisal, pada diskusi INDEF, Senin (5/2/2024) sebagaimana dilansir CNBC. Namun, lanjut Faisal, pemerintah saat ini malah memberikan bansos berupa beras sebanyak 10 kilogram. Padahal menurutnya bansos beras rentang terhadap penyelewengan hingga korupsi.

"Rata-rata sembako itu 30% hilang. jadi hak rakyat 100% kalau tunai dapat 100%, gara-gara sembako 70%. 30% dikorupsi panitia pengadaan, pengepakan transportasi jadi kedunguan ini dipelihara terus," jelasnya.

Korupsi di sektor Bansos telah menjado langganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak tangung-tanggung, KPK pernah memberangus Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam kasus Bansos. Juliari menjalani pidana penjara selama 12 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan. Dalam putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.JKT.PST tanggal 23 Agustus 2021, Juliari juga dijatuhi denda Rp 500 juta dengan ketentuan apabila tersebut denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 14,5 miliar. Denda harus dibayarkan paling lama satu bulan setelah perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas putusan ini, Juliari menyatakan tidak melakukan banding.

Ilustrasi: Eks Menteri Sosial Juliari Batubara menjalani sidang perkara korupsi bansos. (Beritasatu)

Menanggapi hal tersebut Anthony Budiawan meminta penegak hukum terutama KPK untuk sigap bergerak mengawasi pembagian bansos jelang pemilu. “Dugaan penyimpangannya sudah terang benderang, penegak hukum terutama KPK hasrus igap,” ujarnya.

Menurutnya, arahan atau instruksi Presiden Joko Widodo untuk memblokir anggaran kementerian dan lembaga melanggar UU anti KKN, dan penyalahgunaan kekuasaan presiden.

“Sulit dibantah, keputusan Joko Widodo memperpanjang bantuan sosial secara mendadak ini bermotif politik, dan nepotisme, untuk mendongkrak elektabilitas dan memenangi Gibran. Bantuan sosial dadakan tersebut sama sekali bukan untuk kepentingan masyarakat,” ujar salah seorang inisiator Petisi 100 ini.

Dia menambahkan, karena itu, Joko Widodo terindikasi kuat juga melanggar Pasal 5 ayat (4) UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN: “setiap penyelenggara negara wajib untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Menurut definisi Pasal 1 angka 5, Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

“Pemberian bantuan sosial dadakan Joko Widodo termasuk perbuatan melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya, anaknya, dan kroninya. Jokowi juga diduga keras melakukan penyalahgunaan wewenang kekuasaannya, dengan memaksakan memberi bantuan sosial sampai Juni 2024 tanpa ada mata anggaran di dalam APBN 2024,” uari Anthony.

Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Anthony menambahkan, pemberian bantuan sosial oleh Presiden dan Menteri lainnya, tanpa melibatkan kementerian sosial, melanggar tugas pokok kementerian, dan termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Karena, pemberian bantuan sosial dadakan tersebut dapat dipastikan tidak tepat sasaran, karena dibagikan di tengah kerumunan massa, tanpa ada data penerima bantuan. Karena data tersebut berada di Kementerian Sosial.

Melihat dugaan pelanggaran yang serius ini, DPR harus panggil Sri Mulyani untuk menyelidiki dari mana anggaran bantuan sosial dadakan arahan dari Presiden Joko Widodo tersebut diperoleh, berapa besar, siapa penyelenggara negara yang menyalurkan bantuan sosial, dan siapa penerima bantuan sosial tersebut.

Senada, Ahmad dari Narasi Instutue pun meminta DPR mesti bersikap. Sebab, DPR pun bertanggungjawab atas persetujuan anggaran APBN di 2024 untuk keperluan bansos. Diprediksi tata kelola APBN yang sarat politisasi untuk bansos menimbulkan efek ekonomi. Investor-investor bisa berpotensi menarik modal investasinya dari Indonesia jika melihat dalam pengelolaan APBN secara serampangan. Sehingga bisa membahayakan iklim investasi yang berakibat menekan nilai tukar rupiah dan parahnya adalah ancaman krisis ekonomi secara fiskal dan moneter.

“Menurut saya, kalau DPR-nya sehat, ini bisa dipanggil hak angket. Penggunaan APBN ini memang hak eksekutif presiden, tapi kan ada mekanisme tata kelolanya. Ini bisa ditanyakan DPR terkait alokasi anggaran bansos yang bisa membahayakan keuangan di masa depan,” kata Achmad.

Gelontoran dana bansos yang dilakukan jelang Pmeilu tak syak lagi mengundang curiga, ada kongkalikong bansos untuk kampanye. Meski pihak terkait menyangkal, namun bau itu tak bisa dihindarkan. Apalagi, sejumlah bansos tersbeut, sedianya akan di bagikan jauh hari setelah Pemilu. urgensi apa sehingga harus ditumpuk dirugikan sebelum Pemilu?

DPR sebagai wakil rakyat dan juga pihak yang turut menyusun APBN mestinya turut bertanggunggung jawab atas dugaan penyimpangan ini. Apalagi, jika ternyata terjadi pengalihan APOBN leh pemerintah secara sepihak. Kewibawaan DPR menjadi taruhan. Apakah DPR akan bersikapo tegas dengan memanggil Presiden dan para pembantunya untuk mejelaskan bansos jelang Pemilu ini ataukan DPR hanya akan diam dan berpura-pura tidak ada persoalan?

Dugaan penyimpangan yang marak disertai potensi kerugian negara tentunya harus diselesaikan secara hukum. KPK mestinya bisa tampil trengginas, tanpa perlu menunggu laporan untuk segera mengusut dugaan penyimpangan dan korupsi di bagi-bagi bansos jelang Pemilu. Sudah menjadi tanggung jawab dan kewenangan KPK untuk melakukan pencegahan dan penindakan korupsi. Apalagi, dalam program Bansos jelang Pemilu ini sejumlah indikasi dan parameter pelanggaran korupsi telah mengemuka dan disuarakan oleh sejumlah pihak. Pemerintahan bersih dan Pemilu yang adil adalah harga mati bagi masa depan republik ini. {Penyalahgunaan bansos untuk pemilu, tentunya akan mengancam masa depan republik. Penegak hukum dan DPR mesti bergerak. 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar