Negara-Negara Termiskin di Dunia Hadapi Dilema Utang Rp3 Kuadriliun

Senin, 18/12/2023 19:14 WIB
Bank Dunia (Foto: CIO)

Bank Dunia (Foto: CIO)

Jakarta, law-justice.co - Negara-negara termiskin di dunia kini kini dihadapkan dengan utang senilai US$200 miliar dalam bentuk obligasi dan pinjaman lainnya pada 2024, setara Rp3 kuadriliun.  

Mengutip Bloomberg, Senin 18 Desember 2023, negara-negara yang dikenal oleh para investor kaya di dunia sebagai “pasar-pasar perbatasan” kini perlu menghadapi utang tersebut pada tahun depan.

Adapun, obligasi yang diterbitkan oleh Bolivia, Ethiopia, Tunisia, dan 12 negara lainnya sudah mengalami gagal bayar atau diperdagangkan pada tingkat yang menunjukkan potensi gagal bayar kepada investor. Kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve yang mempertahankan suku bunganya lebih tinggi dalam waktu lebih lama, membuat penyaluran pinjaman-pinjaman tersebut kini mulai surut, sehingga sulit bagi mereka untuk meminjam lebih banyak dan menambah risiko terkait suku bunga pada 2024.

Selain itu, guncangan dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina memberikan tekanan tambahan pada negara-negara miskin yang harus meminjam agar perekonomian mereka dapat tetap berjalan Termasuk dengan pinjaman pemerintah, korporasi dan rumah tangga, utang 42 negara yang diklasifikasikan oleh Institute of International Finance sebagai pasar terdepan mencapai rekor tertinggi US$3,5 triliun pada 2023, naik sekitar dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu. 

Bahkan, untuk tetap likuid, banyak pemerintahan negara tersebut memangkas pengeluaran karena pembayaran utang menghabiskan anggaran mereka. Ekonom senior di badan perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) UNCTAD Penelope Hawkins mengungkapkan bahwa jika kondisi tersebut terjadi di negara maju, maka kondisi tersebut sudah disebut sebagai krisis utang.

“Bagaimanapun banyak negara yang akhirnya mengalami gagal bayar (default) dalam arti formal adalah hal yang tidak relevan: Saat ini, negara-negara berkembang sedang mengalihkan sumber daya yang diperlukan untuk pembangunan guna membayar utang mereka,” jelasnya. Adapun, para investor di negara-negara terdepan bersiap untuk menghadapi dampak buruk akan utang dan ekuitasnya. Beberapa pemegang dana terbesar adalah dana yang dikelola oleh BlackRock, Franklin Templeton, dan T. Rowe Price Group. 

Kemudian, berbeda dengan AS dan negara-negara lain yang menerbitkan utang dalam mata uang mereka sendiri, negara-negara perbatasan tidak dapat meringankan beban mereka melalui inflasi dengan mencetak uang, dan sering menerbitkan utang dalam mata uang negara lain melalui eurobonds.  

Mitra dan kepala investasi di Tundra Fonder AB Swedia, yang mengelola dana ekuitas yang didedikasikan untuk pasar-pasar perbatasan, menuturkan bahwa kondisi ini merupakan krisis terburuk dalam 30 tahun terakhir bagi negara-negara ini "Pasar-pasar ini tidak dibangun dengan cara yang dapat mengelola penerbitan eurobond dalam siklus seperti ini,” ucapnya.  

Contohnya di salah satu negara, baru-baru ini, menteri Keuangan Nigeria, Adebayo Olawale Edun, berbicara di hadapan para bankir Wall Street dalam upaya untuk meredakan kekhawatiran mereka terkait krisis utang yang melanda negaranya. 

Dalam pertemuan yang disponsori oleh Citigroup, salah satu penjamin emisi obligasi internasional terbesar di dunia, menjanjikan pemotongan pengeluaran dan meningkatkan pajak untuk membayar utang kepada investor asing. Edun sendiri kemudian menuturkan salah satu tantangannya, yakni pembayaran utang Nigeria pada tahun 2022, setara dengan US$7,5 miliar, melampaui pendapatannya sebesar US$900 juta, yang dengan kata lain Nigeria terpaksa meminjam lebih banyak untuk membayar utangnya.***

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar